Suistanable Tourism, benarkah membawa kesejahteraan?





Oleh : Zahra Riyanti (Mahasiswa Pascasrajana UGM)


Indonesia telah resmi menjadi tuan rumah World Tourism Day yang akan digelar 22 September 2022 mendatang. Keputusan tersebut telah disahkan pada Sidang Majelis Umum ke-24 Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) pada 30 November sampai 3 Desember 2021 di Madrid. Sidang tersebut dilaksanakan dua tahun sekali untuk membahas kebijakan pariwisata dunia. Pada acara tersebut para anggota sepakat bahwa pariwisata adalah pilar pembangunan yang membuka lapangan pekerjaan. Sehingga, percepatan pemulihan pariwisata pascapandemi harus terus dilakukan, salah satunya dengan pemerataan pemberian vaksin. Indonesiapun memiliki kepentingan memajukan pariwisata yang dimiliki. Selain itu Desa Lapasi atau Lako Akelamo yang berada di Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara resmi masuk dalam 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022 yang diberikan pengakuan atas sumber daya dan budayanya serta tindakan dan komitmen inovatif-transformatif terhadap pengembangan yang sejalan dengan SDGs. 

Kedua berita tersebut tentu menjadi dua kabar gembira terhadap dunia pariwisata di Indonesia. Salah satunya bisa meningkatkan occupacy rate para wisatawan.  Hal ini sejalan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyambut berbagai event Internasional di daerah lain di masa adaptasi baru pasca pandemi ini. Contohnya di kawasan Nusa Dua yang menerapkan arahan pemerintah dalam mengelola wisata berbasis protokol kesehatan yaitu dengan menerapkan sertifikasi Cleanliness, Health, Safety, and Enviromental Sustainability bagi lokasi tenant dan menyelesaikan program vaksinasi bagi seluruh pekerja.  

Adanya penghargaan dan event Internasional di bidang pariwisata sangat berharga untuk Indonesia karena Indonesia menjadikan pariwisata sebagai salah satu dari leading sector perekonomian. Hal ini terlihat dari dijadikannya pariwisata sebagai core perekonomian sejak tahun 2016. Jokowi menyebutkan bahwa pariwisata menjadi core ekonomi dengan 3 catatan yaitu pariwisata menjadi pnghasil devisa terbesar, pariwisata Indonesia menjadi yang terbaik, dan pariwisata memenangkan persaingan dengan yang lain. 

Selain itu, target devisa paiwisata sekitar 6% dari PDB Global meskipun di era pandemi tahun lalu diturunkan menjadi sekitar 4%. Sandiaga Uno selaku Kemenparekraf menyampaikan bahwa ada target perubahan dan penyesuaian target devisa dari 4,8 – 8,5 milyar US dollar menjadi sekitar 300-410 juta US dollar. Pariwisata menjadi sektor yang seksi di mata investor. Hal ini terlihat dari realisasi investasi di tahun 2018 kuartal I mencapai 21,67% atau sekitar 433,5 juta US dollar. Maka wajar jika di era Jokowi sektor pariwisata terus digenjot pembangunannya. Bahkan untuk membangun kembali sektor pariwisata pascapandemi pemerintah telah menganggarkan dana sebesar 14,4 T dalam APBN 2021. Anggaran ini difokuskan untuk melanjutkan destinasi wisata seperti Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likuan Kupang. Selain itu, pemerintah berupaya mengembangkan aspek atraksi, aksesibilitas, dan amenitas serta meningkatkan promosi agar menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk datang. 

Pariwisata Berkelanjutan: Ilusi Kesejahteraan Ala Kapitalisme 

Keseriusan pemerintah dalam mengelola pariwisata terlihat pula dalam visi RPJMN 2019-2024 milik Kemenparekraf. Visinya yaitu pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia yang maju, berdaya saing, berkelanjutan, serta mengedepankan kearifan lokal dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Dalam visi Kemenparekraf tersebut terdapat satu poin yang sejalan dengan perencanaan UNWTO (United Nation World Tourism Organization) yaitu pariwisata dan ekonomi kreatif yang berkelanjutan.  Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung industri, lingkungan setempat serta dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktivitas pariwisata. Pariwisata berkelanjutan ini memiliki 3 tahapan yaitu destinasi pariwisata berkelanjutan, observatorium pariwisata berkelanjutan, sertifikasi pariwisata berkelanjutan. Destinasi pariwisata berkelanjutan artinya tahapan sosialisasi dan pengembangan dari aspek ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Observatorium pariwisata berkelanjutan artinya tahap rekomendasi, penelitian, monitoring kemudian mulai direkomendasikan ke UNWTO agar menjadi bagian pengembangan UNWTO. Sertifikasi pariwisata berkelanjutan yaitu adanya pengkajian untuk mendapatkan sertifikat. 

UNWTO sebagai penggagas pariwisata berkelanjutan bahkan memasukkannya ke dalam agenda 2030. Adanya pariwisata berkelanjutan diharapkan mampu mewujudkan beberapa tujuan. Pertama, no poverty. Sektor pariwisata dianggap menjadi sektor ekonomi yang paling besar dan cepat berkembang serta dapat berdampak pada perekonomian masyarakat. Pengembangan pariwisata dapat diselaraskan dengan keinginan negara dalam mereduksi kemiskinan melalui pembukaan lapangan pekerjaan bidang pariwisata. Kedua, zero hunger. Hal ini dapat dilakukan ketika pariwisata menjadi ladang untuk mempromosikan produk pertanian masyarakat, penggunaan, dan penjualan produksi lokal.  Ketiga, good health and well being. Kontribusi sektor pariwisata akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Devisa dan pajak pariwisata daat dinvestasikan untuk kemajuan sistem kesehatan. Keempat, quality education. Sektor pariwisata diharapkan mampu memberikan insentif pada bidang pendidikan. Tujuan lainnya yaitu gender equality, clean water and sanitation, affordable and clean energy, decent work and economic growth, dan industry innovation. Sebagai negara kedua di Asia yang menerapkan pariwisata berkelanjutan, Indonesia telah menargetkan nilai devisa sektor pariwisata sekitar 3,3-4,8 milyar US dollar di tahun 2020 dan menjadi 21,5 -22,9 miyar US dollar di tahun 2024. Di tahun 2022, Sandiaga Uno bahkan menargetkan sekitar 1,8 – 3,6 juta wisatawan asing datang ke destinasi wisata Indonesia dikarenakan banyaknya event Internasional yang diselenggarakan. Untuk menyukseskan agenda pariwisata berkelanjutan, kemenparekraf sendiri telah menargetkan sebanyak 244 desa wisata tersertifikasi menjadi desa wisata mandiri di tahun 2024.  Meski program pariwisata berkelanjutan bukanlah program yang terbilang baru serta memiliki sejumlah tujuan mulia, namun apakah realisasinya seindah harapan yang ada? Rancangan pariwisata berkelanjutan yang terlihat memukau ternyata menyisakan beberapa kemungkinan negatif yang justru membuka peluang kerugian dan kerusakan. Diantaranya : 

Pertama, enclave tourism atau kebobolan pariwisata. Hal ini terjadi ketika pariwisata hanya menjadi tempat persinggahan sementara. Contohnya para wisatawan yang datang tanpa menginap di hotel/penginapan yang telah dibangun. Atau adapula wisatawan asing yang berwisata menggunakan maskapai negara mereka dan memilih tinggal di hotel yang berkaitan dengan negara mereka. 

Kedua, pembiayaan infrastruktur. Pembangunan pariwisata pasti akan disertai adanya peningkatan kualitas bandara, jalan raya, serta infrastruktur pendukung lainnya. Tentu hal ini membutuhkan biaya besar yang dibebankan pada pungutan pajak atau bahkan realokasi dana dari keperluan lain. Probabilitas lain adalah membuka keran investasi dari asing. Nilai investasi pariwisata di Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 2017 lalu. Berdasarkan catatan Penanaman Modal Asing (PMA) sepanjang periode Januari – Desember 2018, setidaknya Indonesia mendapat investasi pariwisata untuk hotel bintang senilai US$525,18 juta. Lokasi persebaran investasi pariwisata tersebar sebanyak 20% di Kepulauan Riau, 30% di ibu kota Jakarta, dan yang terbesar yaitu 40% di Pulau Bali. 

Ketiga, peningkatan harga. Peningkatan permintaan barang dan jasa dari para wisatawan akan memberikan dampak pada peningkatan harga dan menyebabkan masyarakat yang tidak mengalami peningkatan pendapatan secara signifikan tentu akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Selain itu, adanya berbagai pembangunan pada destinasi wisata akan meningkatkan harga tanah, sewa tempat, dll yang akan menyebabkan masyarakat sekitar tidak dapat mengakses.  

Keempat, ketergantungan ekonomi. Negara berkembang biasa menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber perekonomiannya. Hal ini akan menjadi berbahaya apabila dijadikan sebagai satu-satunya sumber perekomian karena ketahanan perekonomiannya akan mengkhawatirkan. 

Kelima, masalah musiman. Dalam dunia pariwisata biasa dikenal adanya high and low season. High season terjadi ketika jumlah pengunjung tinggi, hunian kamar hampir maksimal, dan berdampak pada pendapatan yang meningkat. Sedangkan, low season adalah kondisi sebaliknya. Pada kondisi low season seperti ini para pekerja seperti tukang pijat tradisional, pedagang asongan, sopir taksi akan menghadapi kondisi yang tidak pasti. Kelima, kebocoran pada pariwisata (leakages in tourism). Kebocoran pada pariwisata terjadi pada kejadian impor dan ekspor. Kebocoran impor terjadi ketika pembangunan tempat pariwisata membutuhkan barang dan peralatan berstandard Internasional serta bahan-bahan makanan yang tidak dapat disediakan oleh penduduk lokal. Sedangkan kebocoran ekspor sering terjadi pada negara berkembang yang minim modal dalam membangun pariwisata. Hal ini menyebabkan adanya pembukaan investasi asing dan membuat keuntungan pariwisata dinikmati investor tanpa bisa dihindari. Iklim kebebasan berinvestasi di era kapitalisme jelas semakin membuka keran masuknya investor asing ke Indonesia, sehingga kemungkinan kecil Indonesia dapat terbebas dari jeratan penguasaan asing di sektor pariwisata. Selain dampak negatif di bidang ekonomi, pembangunan pariwisata dengan ruh sekuler juga berpengaruh pada aspek sosial masyarakat. Memang betul jika ada dampak ekonomi yang positif untuk masyarakat sekitar destinasi wisata, namun masuknya wisatawan asing ke Indonesia dengan membawa budaya merekapun tak dapat dicegah dalam mempengaruhi struktur sosial dan tradisi ketimuran masyarakat. Contohnya di Desa Songgoriti, Batu, Jawa Timur yang terkenal dengan adanya penginapan "esek-esek" akibat dibukanya pengembangan pariwisata di sana. Di desa ini marak dibangun villavilla/penginapan dari para warga yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan sex tourism. Masyarakat yang awalnya merasa asing dengan adanya kebiasaan pasangan yang belum menikah membooking penginapan lama-lama menjadi terbiasa bahkan ada sebagian warga yang menyewakan rumahnya sebagai tempat penginapan.  

Terbukanya kesempatan investasi dari asingpun semakin membuka peluang privatisasi tempat pariwisata sebagai ruang publik menjadi ruang privat yang tidak mudah diakses oleh semua orang. Privatisasi ini marak terjadi di beberapa tempat pariwisata di Indonesia misalnya seperti pantai-pantai di Bali, Pulau Pari di Kepulauan Seribu, atau Pantai Ngrawe di Kabupaten Gunung Kidul, termasuk beberapa pulau wisata di Morotai. Adanya pembelian lahan pada tempat pariwisata tersebut telah membatasi para warga yang berprofesi sebagai nelayan untuk mencari nafkah dengan alasan pantai yang dijadikan tempat persinggahan nelayan adalah milik orang/perusahaan tertentu. Sehingga, dapat diketahui bahwa pariwisata berkelanjutan yang hendak dijadikan sarana mendongkrak perekonomian negara justru malah menjadi ilusi semata. 

Kalaupun pariwisata bisa mendrongkrak perekonomian masyarakat maka tidaklah sebesar keuntungan yang diambil oleh para kapitalis kelas kakap dan tidak sebanding pula dengan berbagai macam kerusakan yang ditimbulkan dari pengembangan pariwisata berbasis pada ekonomi semata.

Sektor Pariwisata dalam Pandangan Islam dan mekanismenya dalam Khilafah 

Pengelolaan sektor pariwisata di dalam Islam tentu berbeda dengan pengelolaan sektor pariwisata di era pemerintahan sekuler saat ini. Pariwisata tidak dijadikan sebagai leading sector perekonomian. Selain itu, sektor pariwisatapun harus tetap dikelola berdasarkan syariat Islam. Pengelolaan sektor pariwisata di dalam Islam tidak membuka peluang datangnya asing untuk melakukan privatisasi wilayah di dalam Islam pun pelaksanaannya tidak boleh melanggar syariat atau menjadi peluang tersebarnya kemaksiatan. Motivasi seorang muslim ketika berwisata tidak hanya ditujukan mencari kesenangan semata. Seperti Ketika ada seseorang datang kepada Nabi saw. meminta izin untuk berwisata dengan makna kerahiban atau hendak menyiksa diri, Nabi saw. memberi petunjuk dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Daud). Nabi saw. mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia. 

Islam pun mengaitkan wisata atau perjalanan dengan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, seperti haji atau umrah misalnya. Terkait dengan hiburan, Islam pun telah mengaturnya. Islam tidak mengharamkan hiburan atau permainan selama tidak menyalahi hukum syariat dan sekadarnya saja.  Dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, ada perjalanan yang sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib al-Bagdady menulis kitab yang terkenal berjudul ArRihlah fi Thalabil Hadits. Di dalamnya, beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadis saja. Selanjutnya, maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi. Firman-Nya: 

“Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS Al-An’am: 11). 

Al-Qasimi rahimahullah berkata, “Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasihat, pelajaran, dan manfaat lainnya.” (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225). 

Terakhir, wisata dalam Islam adalah perjalanan untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’ala, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiban. 

Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Ankabut: 20) 

Oleh karna itu Khilafah akan menerapkan seluruh hukum Islam, baik di dalam dan ke luar negeri. Dengan begitu, Khilafah telah menegakkan kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran di tengah-tengah masyarakat. Prinsip dakwah ini mengharuskan Khilafah untuk tidak membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara, termasuk melalui pariwisata. Hanya saja, objek wisatanya tentu tidak sembarangan. Objek wisata yang berhubungan dengan potensi keindahan alam, yang notabene bersifat natural dan anugerah dari Allah Swt seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun, dan sebagainya atau peninggalan bersejarah dari peradaban Islam misalnya yang sarat dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Islam bisa dipertahankan dan dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut.  Dengan begitu, maka bagi wisatawan muslim, objek-objek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengukuhkan keyakinan dan ketaqwaan mereka kepada Allah, Islam, dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan nonmuslim, baik kafir mu’ahad maupun kafir musta’man, objek objek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam, dan peradabannya. Karena itu, objek wisata seperti ini bisa menjadi sarana dakwah (propaganda).  Selain itu, sektor pariwisata tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. 

Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap. Perbedaan tujuan utama dipertahankannya bidang ini oleh Khilafah dan yang lain, mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam kebijakan masing-masing terhadap bidang ini. Dengan dijadikannya bidang ini sebagai sarana dakwah dan propaganda oleh Khilafah, maka Khilafah tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Tentu berbeda jika negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apa pun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis, meski untuk itu harus menolelir berbagai praktik kemaksiatan. Demikianlah pandangan Islam tentang pariwisata dan bagaimana Negara Islam mengaturnya yang jelas berbeda dengan pengaturan kapitalisme kapitalisme sekulerisme. Wallahu 'alam bis shawwab 

Posting Komentar untuk "Suistanable Tourism, benarkah membawa kesejahteraan? "