Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Darurat Perzinahan, Salah Siapa?


Oleh: Liza Burhan

VIRAL! Ratusan pelajar hamil di luar nikah ditemukan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Kenapa kasus seperti ini tahun ketahun bukannya hilang tapi justru semakin menggelinding membesar seperti bola es? Setidaknya ada tiga faktor pemicu meledaknya kasus perzinaan dan hamil luar nikah di kalangan pelajar. 

Pertama, sistem pergaulan alam sekuler hari ini semakin menjauhkan generasi kita dari aturan hidup, khususnya aturan Islam. Sebagai negeri yang penduduknya bermayoritaskan Islam, idealnya kita mengerti adanya aturan-aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan (nidzamu al-ijtima’iy). Hal tersebut dapat ditanamkan di rumah, di sekolah dan di kehidupan masyarakat, ketiga tempat yang seharusnya menjadi tempat strategis dalam menanamkan nilai-nilai Islam tersebut kepada generasi kita.

Penanaman nilai-nilai akidah dan aturan Islam sejak dini dan dalam segala aspek ini akan membentuk ketakwaan individu, khususnya dalam hal ini bagi generasi/remaja. Remaja yang memiliki ketakwaan tinggi akan bisa menjaga kehormatan diri dan pergaulannya. Termasuk menjauhi zina, maka ia akan mampu terhindar dari perbuatan zina dan dapat mengakibatkan hamil di luar nikah. 

Kedua, sesat pikir dan minimnya kontrol masyarakat dalam kasus perzinaan. Remaja sendiri merupakan bagian dari masyarakat, dan sebagian waktunya dilewatkan di tengah masyarakat. Sementara keadaan masyarakat kita hari ini dibentuk oleh berkembangnya nilai-nilai yang tidak jelas yang berasal dari nilai di luar Islam . Sehingga tidak heran ketika terjadi perzinaan, yang muncul adalah sikap menggampangkan "yang sudah tinggal nikahkan saja" begitulah pemikiran yang terpatri baik dari orang tuanya sendiri hingga masyarakat di sekitarnya, alih-alih kontrol dan kecaman terhadap kasus perzinaan dengan amar makruf nahi mungkar, padahal amar makruf nahi mungkar seharusnya menjadi bagian yang paling esensial dalam masyarakat mayoritas Muslim. Inilah yang membedakannya dengan masyarakat lain.

Walhasil, perbuatan maksiat seperti halnya zina tidak lagi dipandangan sebagai perbuatan keji dan mungkar, semakin hari semakin marak dilakukan dan secara terang-terangan. Baik pada remaja maupun di kalangan masyarakat lainnya yang dengan ringan melakukan perbuatan maksiat karena menganggap hal itu sudah biasa. Sudahlah jauh dari ketakwaan individu, masyarakatnya pun kian terkontaminasi pemikiran sekuler liberalis sehigga tidak lagi memiliki kepekaan yang tajam terhadap penyimpangan-penyimpangan aturan Islam bagi seorang Muslim.

Ketiga, tidak adanya penerapan hukum yang jelas oleh negara. Dalam sistem sekuler pelaku perzinaan di bawah usia tujuh belas tahun, dikategorikan sebagai pelaku anak-anak di bawah umur, sehingga bisa lolos dari tindak pidana. Padahal dalam kacamata Islam, tolok ukur dan pembeda anak-anak dan dewasa adalah ketika dia sudah baligh. Ketika dia sudah baligh maka artinya dia sudah bukan anak-anak lagi dan otomatis terktaklib dengan hukum/syari'at Islam, jadi apapun pelanggaran syari'at Islam yang dia lakukan maka serta merta ia akan terkena sistem sanksi yang digariskan Islam.

Sanksi perzinaan dalam Islam Hukuman pezina muhshan(pelaku yang statusnya telah menikah) adalah rajam sampai mati, dan untuk selain muhshan (belum menikah) adalah dijilid seratus kali dera. Sistem sanksi seperti inilah yang akan memunculkan efek jera, sehingga akan melahirkkan sikap untuk berpikir berulang kali bagi siapa pun untuk melakukan perbuatan zina, saking begitu berat sanksinya.

Adapun dalam sistem demokrasi, hukuman maksimal 1 tahun penjara bagi pelanggaran pasal zina, dan 6 bulan penjara bagi pelaku kumpul kebo, maka tentu saja hal tersebut tidak akan memberikan efek jera. Di sisi lain, negara juga abai terhadap fasilitas-fasilitas umum tempat-tempat yang berpeluang mempermudah terjadinya kemaksiatan perzinaan, seperti: club malam, lokalisasi/pelacuran, keberadaan

hotel-hotel yang membebaskan setiap orang untuk check-in kamar tanpa persyaratan yang ketat entah berstatus suami istri ataupun bukan, dan tempat-tempat lainnya.

Begitu juga media-media yang ada, sangat lemah dari pengontrolan tegas oleh negara, masih bebasnya tayangan-tayangan yang dapat memancing syahwat pria dan wanita. Baik dari televisi maupun dari media internet yang sangat mudah diakses oleh masyarakat luas dan putra-putri kita. Walhasil tidaklah heran jika kasus perzinaan ini justru kian marak tak terkendali alih-alih diatasi secara tuntas, hingga meledaknya kasus perzinaan di kalangan pelajar.

Padahal Rasulullah SAW telah dengan tegas memperingatkan:

“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung/negeri maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Wa iyya'udzu billah.. [] 

Posting Komentar untuk "Indonesia Darurat Perzinahan, Salah Siapa?"

close