Road to 2024 (30): Sandiwara dan Sandera dalam Bahasa Simbolik Politik Seperti di Meja Makan Siang
Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik-Media)
Hidup sudah capek-capeknya dan sudah gigih membela calon yang didamba. Tiba-tiba calon itu berkumpul dalam satu meja menikmati jamuan makan bersama kepala negara. Seketika cara berfikir politik dibuat nge-hang memaknai pertemuan sambil makan siang. Politik Indonesia terkadang unik. Ketika memanas tiba-tiba cooling down. Lagi asyik berseteru ujungnya bersatu.
Komunikasi politik yang dimainkan oleh politisi Indonesia terkadang dalam bentuk simbolik. Ada juga yang berupa verbal dan tindakan nyata dalam pemilihan keputusannya. Menuju pemilu 2024, publik dibuat fokus pada pendaftar capres-cawapres. Sementara itu, pilihan-pilihan sulit untuk menentukan siapa yang nanti akan meneruskan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Politik dalam sistem demokrasi memainkan dua peranan penting: sandiwara dan sandera. Sandiwara biasanya dalam gimmick di depan kamera dan publik. Sandera biasanya dalam ancaman hukum ketika tidak sejalan atau karpet merah masuk kekuasaan ketika memberi dukungan. Hal ini mengonfirmasi seolah politik hanya berputar di kalangan elit dan itu-itu saja. Rakyat yang sejatinya wajib diurusi kehidupannya terlewat begitu saja. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok, daripada mewujudkan rakyat yang sejahterah sesungguhnya.
Simbolik Komunikasi Politik
Simbol termasuk bagian dari komunikasi. Terkadang simbol sudah mewakili beribu makna dengan intrepretasi yang berbeda-beda. Publik hanya bisa menduga tapi tidak tahu niat dan maksud dari pelaku sebenarnya. Secara simbolik antar elit politik Indonesia kerap diwujudkan dalam nuansa santai. Misalnya, makan siang, santai bersama, semobil, hingga memasang baliho bersama. Simbol ini menjadi legitimasi sebuah dukungan akan arti penting dari modal politik.
Bisa jadi publik pertanya untuk apa komunikasi dalam bahasa simbolik. Bukankah lebih baik terus terang agar terang benderang. Daripada abu-abu dan ujungnya tak jelas selalu. Ketika memaknai simbol dalam komunikasi politik oleh politisi bisa dianalisis sebagai berikut:
Pertama, politik Indonesia ingin menghindarkan sikap otoriter secara faktual. Kondisi ini berkaca pada rezim orde baru yang otoriter dan pendekatan militer. Dipilihlah bahasa simbolik sebagai bentuk lobi-lobi politik. Politik yang tampak sejatinya bukan makna sebenarnya, karena ada kesepakatan yang tidak disampaikan ke publik.
Kedua, bahasa simbolik dalam politik terlihat tidak langsung menusuk secara fisik, tapi memberikan pesan menusuk. Terdapat pilihan-pilihan yang dipilih untuk kelanjutan. Apakah bersama dalam koalisi atau tetap menjadi oposisi dengan segala konsekuensi?
Ketiga, bahasa simbolik dalam politik kerap dimainkan politisi yang dikesankan jauh dari polemik. Sikap yang seolah merangkul terkesan jauh dari sikap memukul. Hal ini dipandang cukup efektif sebagai daya tarik untuk meraih simpati dan dukungan publik. Mitra politik pun sopan dan lawan politik pun segan.
Keempat, pembacaan bahasa simbolik tidak bisa dimaknai secara literal. Perlu ada sisi lain untuk memahami maksud dan tujuan. Khususnya langkah setelah bahasa simbolik kira-kira apa tak-tik yang akan diambil.
Alhasil, membaca bahasa simbolik dalam politik menjadi penting bagi publik. Tujuannya publik tidak mudah terkecoh dengan manuver politisi yang sebenarnya untuk mengelabui. Publik bisa menebak arah tujuannya, apalagi menjelang suksesi kepemimpinan di Indonesia. Siapa sih yang tak ingin berakhir baik dalam pemerintahan? Bukan malah berakhir dalam jeruji besi karena penuh skandal.
Politisi Bukan Simbolik
Siapapun yang duduk di kursi kekuasaan kecenderungan ingin selamanya hingga ajal menjemputnya. Kalau tujuan berkuasa hanya mencari dunia maka akan membinasakan. Ketika sistem politik demokrasi menjadi pilihan, maka tidak mengenal apakah cara itu legal atau ilegal? Apapun akan dilakukan dari yang wujudnya simbolik hingga kebijakan yang membuat pelik.
Seorang politisi bukan sekedar simbolik. Politisi juga wajib hadir bersama rakyatnya dalam suka dan duka. Tidak hanya hadir ketika pemilu akan tiba. Rakyat inilah obyek yang wajib diurusi kehidupannya. Bukan obyek pesakitan karena kebijakan yang terus membuat sakit hati dan hidup tak berarti.
Politisi Islam memiliki ciri yang unik dan berbeda dari politisi demokrasi yang penuh simbolik. Hal ini karena politisi Islam menjalankan aktifitas politik berlandaskan aqidah dan syariah Islam. Ketika berkuasa pun ingat bahwa ini tugas mulia untuk menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sistem dan aturan yang diambil pun bersumber dari quran, sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas.
Simbolik politisi Islam bukan kaleng-kaleng. Wujud aktifitas politiknya betul-betul mengurusi rakyat. Ketakutannya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena ada pertanggungjawaban kelak di akhirat. Bukan malah bertindak culas dan tunduk pada kepentingan oligarki. Apalagi sampai menjadi kacung dan antek penjajah. Na’udzubillah min dzalik. Politisi Islam luar dalamnya sama. Bukan seperti buah semangka. Sejatinya politisi bukan mengejar kedudukan dan jabatan duniawi, tapi mengejar ridho Allah agar hari kiamat dilindungi.
Kalau dalam demokrasi, bahasa politik bisa jadi sandiwara seolah berseteru, padahal mereka bersatu. Bisa jadi saling sandera, padahal mereka saling berebut kuasa. Oleh karena itu, inilah yang membedakan politik Islam dengan politik selain Islam. Bahasa simbolik politisi Islam digunakan untuk memberikan kegentaran kepada musuh. Bukan basa-basi meninabobokan rakyat agar tidak mengritik penguasanya. Lebih dari itu tugas politisi Islam bukanlah simbolik, tapi pada praktik. []
Posting Komentar untuk "Road to 2024 (30): Sandiwara dan Sandera dalam Bahasa Simbolik Politik Seperti di Meja Makan Siang"