RUU DKJ Sebagai Exit Strategy??


Oleh : AB. LATIF

Kembali rakyat diberikan drama politik yang akan mengamputasi hak memilih gubernur dan wakil gubernur. Hal ini tertuang secara jelas dalam draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Dalam RUU Daerah Khusus Jakarta, gubernur dan wakil gubernur akan ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul DPRD. Draf ini merupakan hasil pembahasan dalam rapat pleno Baleg DPR penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta pada Senin (4/12) kemarin. Dalam draf RUU Daerah Khusus Jakarta, selain meniadakan pilkada juga menyatakan bahwa Jakarta akan ditetapkan menjadi pusat perekonomian nasioanal dan Kawasan aglomerasi.

RUU DKJ merupakan bagian dari amanah UU IKN yaitu Ibu kota negara dipindahkan ke Ibu Kota Nusantara (IKN) melalaui Undang-Undang Nomer 3 Tahun 2022. Sehingga Jakarta tidak lagi mejadi Daerah Khusus Ibu kota karena Ibu Kota Negara telah berpindah. Lalu benarkah RUU DKJ ini murni untuk kemaslahatam umat dan bukan politik kepentingan atau exit strategi ?

Berdasarkan pasal 18 ayat 4 UUD 1945 amandemen ke 5, draf Rancangan Undang-Undang DKJ jelas bertentangan secara konstitusi. Dalam UUD 1945 pasal 18 ayat ke 4 secara tegas ter tulis “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Klausul ”gubernur dipilih secara demokratis” ini memiliki dua tafsir. Pertama, gubernur dipilih oleh DPRD seperti masa sebelum Reformasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah. Kedua, gubernur dipilih langsung oleh rakyat seperti masa pasca-Reformasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya tidak ada ruang bahwa gubernur ditunjuk dan diangkat oleh presiden. 

Menurut juru bicara F-PKB, Ibnu Multazam RUU DKJ harus segera dibahas dan disahkan agar tidak terjadi kekosongan status administrasi kota Jakarta sebab UU IKN no. 3/2022 secara resmi berlaku mulai 15 Februari 2024. Dan kita semua faham bahwa masa akhir Persiden Jokowi adalah Oktober 2024. Artinya dengan disahkannya UU DKJ Februari 2024 masih ada sekitar 10 bulan Presiden Jokowi untuk merampungkang agenda politiknya. 

Setelah gagal dengan ide masa jabatan 3 periode, juga gagal dengan ide tidak ada pemilu, maka bagaimana bisa mengamankan proyek-proyek strategis dan berbagai perkara yang belum sempat terselesaikan. Proyek IKN misalnya, yang katanya tidak memakai dana APBN ternyata juga menguras APBN dikarena belum adanya investasi yang masuk. Bahkan proyek IKN mendapat kritikan pedas dari pasangan Anies-Amin. Keberhasilan Anies mengagalkan proyek reklamasi 17 pulau, proyek maikerta akan menjadi pertimbangan Jokowi saat tidak menjabat lagi. Bukankah Anies pernah menyampaikan bahwa proyek IKN bisa digagalkan dengan Perppu saat menjabat presiden ?

Kegagalan proyek rekalamasi, maikerta dan lainnya mengakibatkan kerugian besar terhadap para investor. Untuk menggantikan kerugian itu muncullah proyek IKN. Yang ternyata sampai hari ini kesulitan mencari investator dikarenakan para investor ditakutkan kalua-kalau saat pilpres nanti dimenangkan pasangan Anies-Amin. Karena Anies telah berjanji akan mengkaji ulang proyek IKN jika dirinya terpilih. Inilah yang dikhawatirkan rezim dan para investor hari ini. 

Selain ketakukan akan Nasib IKN saat purna tugas, rezim juga berusaha menyelamatkan aset Jakarta yang senialai Rp. 1.400 trilliyun. Itu adalah aset Barang Milik Negara (BMN) pemerintahan pusat. Saat IKN berjalan berarti Jakarta bukan lagi Ibukota negara karena ibukota telah pindah. Maka rezim berfikir bagaimana aset sebanyak itu bisa diperuntukan Pembangunan proyek IKN. 

Belum terselesaikannya kasus dugaan Korupsi Ketua KPK Firli Bahuri juga menambah rasa kekhawatiran rezim setelah habis masa jabatannya nanti. Ditambah lagi potensi kasus kecurangan Pemilu akibat 52 DPS bermasalah berikut 337 juta data Dukcapil yg menunggu hasil audit investigasi. Dengan inilah mengharuskan rezim untuk mencari jalan dalam menyelamatkan kepentingannya. Ketika 3 periode tidak bisa berjalan, menggagalkan pemilu juga tidak berhasil, maka jalan terakhir adalah ada sosok calon presiden yang siap melanjutkan dan mengamankan kepentingan politiknya. 

Berharap kepada salah satu calon juga belum menunjukan gambaran yang jelas, maka harus ada plan lain. Apa itu ? yaitu kekuasaan DKI yang siap mengamankan aset Jakarta untuk melanjutkan proyek IKN. Jadi jelaslah UU DKJ adalah konspirasi untuk mengamankan kepentingan politik pasca purna jabatannya. Itulah scenario politik yang kita kenal dengan istilah exit strategy. exit strategy adalah rencana yang dibuat oleh penguasa untuk mengalihkan kekuasaanya kepada orang lain. 

Itulah fakta politik demokrasi yang penuh trik dan konspirasi demi mengamankan kepentingan dirinya, kelompoknya, dan para oligarki yang telah menyongkong pencalonan. Politik yang penuh kedustaan dan kerakusan kekuasaan. Masihkah sistem ini kita pertahankan ? tidakkah kita menginginkan sistem yang lebih adil dan mensejahterkan ? sistem itu adalah sistem islam. Sistem yang adil dan melindungi warganya serta mensejahterkan. Fakta sejarah telah menunjukan yang demikian. Masihkah kita meragukannya? []

Posting Komentar untuk "RUU DKJ Sebagai Exit Strategy??"