Kemenangan Trump dan Dunia Islam yang Makin Terjajah
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Donald Trump, calon dari Partai Republik menjadi pemenang dalam perhelatan Pemilu AS 2024. Trump meraih 50,9 persen popular vote dan 295 electoral vote lebih unggul dari Kemala Harris. Harris hanya meraih 226 electoral vote. Padahal untuk dinyatakan menang harus mengantongi 270 electoral vote dari total electoral vote.
Di samping ketidaksiapan publik Amerika dengan kepemimpinan perempuan. Apalagi Kemala Harris sendiri calon perempuan yang berkulit hitam. Berkaca pada pemilu 2016, Hillary Clinton yang berkulit putih lebih unggul 3 juta suara di popular vote daripada Trump, akhirnya harus kalah di electoral vote. Padahal Hillary disebut sebagai kubu globalis yang mayoritas di internal Partai Demokrat.
Belum lagi di dalam internal Partai Demokrat ada dilematis. Kemala Harris lebih dikenal sebagai sosok radikalis sebagaimana Joe Biden. Tentunya sentimen anti kubu Radikalis Partai Demokrat memaksa mayoritas kubu globalis liberal untuk abstain dalam Pemilu barusan.
Ditambah juga dengan reputasi dari Partai Demokrat pengusung Biden yang cukup merosot secara signifikan. Partai Demokrat distereotipkan membiarkan dalam 4 tahun pemerintahan Biden terlalu besar menggelontorkan dana bantuan bagi Ukraina. Yang terbaru sekitar Rp 900 trilyun lebih yang mengakibatkan AS sebagai pemasok utama dana dalam Perang Rusia-Ukraina. Sedangkan terkait krisis Palestina-Israel, Demokrat dipandang membiarkan pembantaian perempuan dan anak-anak Gaza di masa Biden. Sentimen nasionalis dan proteksionisnya Trump melalui gerakan politik MAGA (Make America Great Again) menyebut dana Amerika dihamburkan dalam perang yang tidak perlu.
Pertanyaannya, apakah ada harapan Trump akan mengakhiri peperangan yang terjadi demi untuk terwujudnya perdamaian dunia? Secara khusus, apakah Trump akan menghentikan serangan-serangan Israel atas Palestina, khususnya Gaza?
Memang arah kebijakan politik Trump akan berpusat pada kepentingan nasionalsme Amerika. Oleh karena itu stabilitas keamanan mutlak harus diwujudkan secara global, tentu di bawah nilai-nilai Amerika. Di sinilah wacana Islamophobia menjadi jualan yang paling laku menggaet suara dari warga muslim Amerika.
Massad Houlos, seorang pengusaha Libanon di AS sangat getol mengkampanyekan Trump di muslim Amerika. Houlos berusaha meyakinkan bahwa Trump sangat komitmen dengan perdamaian di Timur Tengah. Sentimen yang dipakai bahwa di masa pemerintahannya yang lalu, Trump tidak pernah memulai perang di Timur Tengah termasuk di Palestina. Bahkan Trump menarik pasukannya dari Afghanistan setelah 20 tahun.
Apalagi pasca terpilihnya Trump, hampir semua pemimpin negeri muslim mengucapkan selamat dan menaruh harapan positif terhadap Trump terutama terkait krisis Palestina-Israel. Meskipun Iran abstain dari mengucapkan selamat dan menekankan kebijakan politiknya tidak berubah, tentu beralasan. Satu sisi masih ada traumatik atas kematian Sulaimeni oleh AS di bawah Trump. Sisi yang lain, Iran masih tetap anak tiri AS. Konflik Iran-Israel tentu akan tetap ada sebagai bumbu penyedap basa-basi perdamaian dunia. Basa basi Trump tidak ingin terjadinya perang dunia ke-3.
Sejatinya Trump itu menganut politik konsevatif. Artinya apa yang dilakukannya di masa lalu akan dilanjutkan di masa berikutnya. Di masa pemerintahannya yang lalu, Trump telah menginisiasi normalisasi hubungan dunia Islam dengan Israel. UEA, Sudan, Bahrain dan Maroko telah menormalisasi hubungannya dengan Israel. Ini adalah startegi Trump untuk mengembalikan performa AS sebagai polisi dunia. Bahkan disebut-sebut bila Trump berkeinginan kuat untuk memaksa Arab Saudi menormalisasi hubungannya dengan Israel. Meskipun ada harga yang harus dibayarnya berupa pengakuan hak palestina sebagai negara berdaulat di samping Israel. Sepertinya ini tidak terlalu berat bagi Trump. Bukankah AS memang menginisiasi solusi 2 negara di PBB. Hanya saja Trump tentu tidak begitu saja, perlu sedikit mengulur waktu. Artinya dunia Islam dipaksa untuk moderat dalam memandang krisis Israel-Palestina. Menormalisasi hubungan dengan Israel tentunya bentuk penjajahan yang paling brutal dan memalukan wajah dunia Islam bukan?!
Pada saat yang sama, langkah yang telah dimulainya dengan menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel tidak pernah dicabutnya. Tentu sambil meredam gejolak resistensi, goal tersebut akan menjadi pusat perhatiannya. Proteksionismenya sangat kentara. Karena AS sendiri memandang tidak perlu mengeluarkan dana dan sumber daya yang besar hanya untuk melayani perang yang tidak perlu di kawasan.
Maka Langkah kebijakan moderat akan dijalankan meskipun dengan agresif. Dalam kehidupan beragama di dunia Islam, arus moderasi begitu kental dan kuat diarus-utamakan. Moderasi Beragama menjadi program unggulan guna menciptakan pertahanan dan keamanan. Sepertinya kebijakan politik Prabowo sejalan dengan AS hari ini.
Padahal Moderasi Beragama tidak mendatangkan hal yang positif bagi umat Islam. Justru mereka secara signifikan diminta menjauhi nilai-nilai agamanya sendiri terutama yang terkait politik dan pengaturan kehidupan publik. Akhirnya umat Islam akan memandang AS dan nilainya menjadi hal yang menjadi pengatur kehidupan global umat manusia. Tentunya ini bencana bagi umat Islam itu sendiri.
Belum lagi dominasi dollar masih dipertahankan oleh Trump. Melalui kebijakan menaikkan suku bunga perdagangan internasional di sektor impor maka akan disertai larinya dana keluar negeri. Penjajahan ekonomi strategis masih akan membelit dunia Islam. Dollar merajai dan mata uang dunia Islam makin merosot tajam.
Oleh karena itu, umat Islam harus memiliki kemandirian politik dan ideologi. Secara simultan, umat Islam harus melek politik Islam. Dengan demikian umat Islam akan mengetahui arah dan goal setting kebijakan politik dan ekonomi negara penjajah layaknya AS.
Pada saat yang bersamaan, umat Islam harus dibimbing dan beriringan membangun sinergi dalam kepemimpinan yang menyatukan seluruh potensi dunia Islam. Selama umat Islam masih tersekat-sekat dalam negara bangsa, maka mereka tidak akan berani mengambil sikap yang tegas dan mandiri. Sikap yang tegas dan mandiri yang bersumber dari kesadaran politik dan ideologis umat harus senantiasa dibangun. Khilafah sebagai satu-satunya entitas politik dan ideologis yang genuine milik umat Islam harus menjadi mainstream atmosfer pemikiran dan perasaan umat. Dengan demikian akan muncul keberanian pada diri umat untuk menuntut kembalinya entitas pemersatu umat tersebut. Jika sudah demikian, tentunya tidak akan ada kekuatan apapun yang mampu membendung gerakan politik umat. []
Posting Komentar untuk "Kemenangan Trump dan Dunia Islam yang Makin Terjajah"