Ketika Alam Berbicara: Renungan atas Bencana yang Tak Berkesudahan

Oleh : Nahla Faqiha

Apakah alam mulai bosan melihat tingkah kita? Sepenggal bait lagu karya Ebiet G. Ade yang kini menjadi kalimat tanya untuk bencana alam yang tak henti berdatangan. Belum lama ini di Cianjur, Jawa Barat, terjadi bencana pergerakan tanah yang semakin meluas di 15 kecamatan dan kemungkinan masih bertambah (cnnindonesia.com, 7/12/2024).

Belum lagi berbagai jenis bencana hidrometeorologi terjadi pada Selasa (3/12/2024) dan Rabu (4/12/2024) yang memorak-porandakan sejumlah daerah di Kabupaten Sukabumi yakni banjir, tanah longsor, pergerakan tanah, dan angin kencang (tirto.id, 5/12/2024)

Bencana yang terus terjadi menunjukkan adanya pola interaksi manusia dengan lingkungan yang belum sepenuhnya harmonis. Pada satu sisi, bencana hidrometeorologi dan pergerakan tanah adalah fenomena alam yang kerap diperburuk oleh aktivitas manusia, seperti deforestasi, pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, serta pengelolaan tata ruang yang tidak optimal. Hal ini menggambarkan lemahnya kesadaran kolektif dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Tidak hanya berdampak pada keseimbangan lingkungan, pola interaksi manusia dengan alam juga memengaruhi dinamika ekonomi yang sering kali berbenturan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Dari perspektif ekonomi, eksploitasi alam yang sering kali menjadi pemicu bencana memiliki akar pada pendekatan pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Industrialisasi, ekspansi sektor pertambangan, dan pembangunan infrastruktur sering dilakukan tanpa analisis dampak lingkungan yang memadai. Hal ini mencerminkan prioritas yang lebih condong pada keuntungan jangka pendek daripada keberlanjutan jangka panjang. Di sisi politik, kebijakan yang berorientasi pada lingkungan sering kali kurang mendapat perhatian karena pengaruh kuat kepentingan kelompok tertentu. Regulasi lingkungan yang lemah dan implementasi yang kurang tegas memperburuk situasi. Untuk mengatasi ini, diperlukan komitmen politik yang lebih besar dan kolaborasi antara individu, masyarakat beserta negara.

Selain itu, pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan juga memainkan peran besar. Banyak orang tidak menyadari betapa besar dampak perilaku mereka terhadap lingkungan. Padahal, tindakan kecil sehari-hari bisa memberikan perubahan besar. Kurangnya pendidikan lingkungan sejak dini membuat kesadaran ekologis tidak terbentuk dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan edukasi yang inklusif dan berkesinambungan, yang tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal tetapi juga melalui program-program komunitas dan organisasi publik. Pendekatan ini akan membantu membangun pola pikir yang lebih bertanggung jawab terhadap alam, sehingga setiap individu merasa terlibat dalam upaya kolektif menjaga kelestarian lingkungan.

Selama ini bencana hanya selalu dicari cara penanganannya saja. Namun, pernahkah kita merenung sejenak, kenapa semua ini bisa terjadi? Sebab, tentu tidak akan ada asap jika tidak ada api. Karenanya semua hal yang terjadi pasti ada penyebabnya. Bedanya ada yang menyadari dan tidak. Sebenarnya kita masih diberi kesempatan untuk menata kembali kehidupan yang lebih baik. Ada baiknya setiap yang terjadi menjadi bahan introspeksi (muhasabah). Sebab penyebab bencana bukanlah sekedar faktor alam, tapi juga karena ulah tangan manusia. Banyaknya pelanggaran syariat karena kehidupan tidak diatur dengan syariat yang benar (Islam), termasuk eksploitasi alam atas nama pembangunan. Telah disinggung dalam Kalamullah, sebuah ayat yang cukup terkenal, yaitu:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١

Artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar-Rum:41).

Seharusnya ini menjadi sebuah petunjuk bagi manusia, ketika terjadi banyak kerusakan alam di muka bumi, akibat dari tangan manusia itu sendiri yang enggan peduli terhadap alam tempat mereka tinggal di dunia ini. Seharusnya pembangunan material adalah dalam konteks untuk melaksanakan amanah Allah, untuk kepentingan bersama, dan untuk dinikmati dengan rasa syukur dan penuh terima kasih kepada pihak yang mengaruniakan materi tersebut, yakni Allah SWT (Jurnal UIN, 2012).

Sudah saatnya kita sebagai manusia segera muhasabah dan bertaubat atas perilaku dan pengelolaan yang berlepas diri dari pertimbangan kelestarian alam jangka panjang. Jangan hanya sekedar memikirkan program selama menjabat saja, atau keuntungan saja, atau bahkan kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Karena itu, haruslah kita berupaya agar syariat yang benar segera tegak di bawah kepemimpinan Islam.

Melalui kepemimpinan Islamlah, akan terwujud pembangunan dengan visi ketaatan pada Allah SWT. Sebagaimana dalam sejarah peradaban Islam yang telah terbukti riil berfungsi untuk mengatur urusan umat. Tidak hanya itu, pembangunan yang dibuat pun menunjang visi penghambaan kepada Allah Ta'ala. Sehingga rakyat hidup sejahtera dan penuh berkah. Mari kita renungkan dan ubah perilaku kita, karena menjaga alam bukan hanya tanggung jawab, tetapi juga ibadah yang membawa keberkahan bagi kehidupan kita dan generasi mendatang. Wallahu a'lam bishshowab. []

Posting Komentar untuk " Ketika Alam Berbicara: Renungan atas Bencana yang Tak Berkesudahan"