Pemerintah Denmark Terus Menggunakan "Hak-Hak Perempuan" untuk Menyembunyikan Kebijakan Anti-Islamnya
Siaran Pers
Pada 29 Januari 2025, pemerintah Denmark mengajukan (kesepakatan politik luas mengenai pengetatan Undang-Undang komunitas keagamaan dan memperkuat upaya melawan praktik pernikahan yang bermasalah).
Tak lama sebelum itu, Komisi Perjuangan Perempuan yang Terlupakan, yang terdiri dari orang-orang yang dikenal karena permusuhan mereka terhadap Islam, mengajukan rekomendasi mereka untuk memerangi apa yang disebut sebagai "budaya kehormatan", yang diklaim berasal dari negara-negara Timur Tengah, Afrika Utara, dan Pakistan. Sebelumnya, komisi ini juga merekomendasikan larangan jilbab di sekolah dasar.
Baik kesepakatan politik pemerintah maupun rekomendasi komisi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kontrol pemerintah dan menerapkan peraturan yang lebih ketat yang menargetkan komunitas Muslim dan masjid. Tujuannya adalah untuk mempersulit pendirian kelompok Islam di Denmark serta membatasi hak-hak umat Islam.
Undang-undang komunitas keagamaan sebenarnya telah diperketat sebelumnya, sehingga semakin sulit bagi Muslim untuk mengelola masjid dan mengorganisir komunitas mereka. Proposal dan kebijakan represif ini ditutupi dengan dalih "perjuangan demi hak-hak perempuan", seolah-olah politisi Denmark yang berpura-pura bermoral ini berusaha menyelamatkan perempuan Muslim yang malang dari "laki-laki Muslim gelap".
Adalah suatu kebodohan jika percaya bahwa pemerintah yang mengundang seorang diktator tanpa belas kasihan—yang bertanggung jawab atas penyiksaan ribuan perempuan tak bersalah di Mesir—ke jamuan resmi di Istana Christiansborg, benar-benar peduli dengan kesejahteraan perempuan Muslim. Pemerintah ini adalah pemerintah yang sama yang telah mendukung dan memasok rezim Zionis selama 470 hari dalam operasi mereka untuk memusnahkan perempuan dan anak-anak di Gaza.
Politisi Denmark, yang diam membisu terhadap ratusan perempuan yang dieksploitasi secara brutal melalui perdagangan seks di Denmark, justru membuat kegaduhan besar ketika sebuah surat kabar konservatif yang cenderung anti-Islam tiba-tiba menerbitkan dokumen perceraian Islam yang sumbernya berasal dari organisasi anti-Islam, yang sebelumnya dituduh memalsukan dokumen, mengancam polisi, peneliti, dan anggotanya sendiri.
Skandal gerakan #MeToo dalam partai politik Denmark, serta peran media dan bagian lain dari masyarakat, menunjukkan dengan jelas bahwa ada masalah serius terkait penghormatan terhadap perempuan. Namun, masalah ini bukan berasal dari negara-negara Timur Tengah, Afrika Utara, dan Pakistan. Menurut laporan Uni Eropa tahun 2014, pria Denmark adalah yang paling misoginis di Uni Eropa, dengan 52% perempuan Denmark mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Hal ini bukan karena adanya "budaya kehormatan", melainkan akibat dari cara pandang Barat yang menyimpang terhadap perempuan.
Perempuan di Barat terjebak dalam model kehidupan yang menuntut mereka secara tidak adil untuk menjalani karier yang melelahkan, mengurus rumah tangga, dan pada saat yang sama memenuhi standar kecantikan yang absurd yang dipaksakan oleh industri mode, kecantikan, dan hiburan yang bersifat patriarkal. Statistik pelecehan seksual dengan jelas menunjukkan bahwa perempuan di Barat tidak mendapatkan penghormatan dan perlindungan; sebaliknya, mereka diperlakukan sebagai barang dagangan dan menghadapi penindasan serta kontrol sosial.
Satu-satunya solusi bagi cara pandang Barat yang misoginis dan budaya tradisional non-Islam yang menindas perempuan adalah pandangan Islam terhadap perempuan. Penghormatan, martabat, dan pengakuan terhadap kodrat perempuan dalam masyarakat hanya dapat dicapai melalui nilai-nilai Islam dan cara hidupnya. Ribuan perempuan Barat yang masuk Islam setiap tahun menjadi saksi bahwa mereka menemukan kebebasan sejati dalam Islam.
Kantor Media Hizbut Tahrir di Denmark
Posting Komentar untuk "Pemerintah Denmark Terus Menggunakan "Hak-Hak Perempuan" untuk Menyembunyikan Kebijakan Anti-Islamnya"