Setelah Pertamax Oplosan, Terbitlah Minyakita Oplosan

 



Oleh: Sri Mulyati (Komunitas Muslimah Coblong Bandung) 

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, terutama saat bulan Ramadhan ketika konsumsi makanan meningkat. Namun, masyarakat kini dikejutkan dengan temuan ketidaksesuaian takaran pada minyak goreng kemasan bermerek Minyakita yang beredar di pasaran.  

Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri saat melakukan inspeksi di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, menemukan bahwa minyak goreng kemasan tersebut tidak memiliki isi sesuai dengan takaran yang tercantum di label. Ketua Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol. Helfi Assegaf, menyatakan bahwa hasil pengukuran menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Beberapa kemasan yang seharusnya berisi 1 liter ternyata hanya berisi sekitar 700 hingga 900 mililiter. (Antara, 09/03/2025)  

Menanggapi temuan ini, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa jika terbukti ada pelanggaran, maka produsen yang terlibat harus diberikan sanksi tegas. Bahkan, ia meminta agar tiga perusahaan yang terlibat, yakni PT Artha Eka Global Asia (Depok, Jawa Barat), Koperasi Produsen UMKM Kelompok Terpadu Nusantara (Kudus, Jawa Tengah), dan PT Tunas Agro Indolestari (Tangerang, Banten), disegel dan ditutup jika terbukti bersalah. Menurutnya, praktik ini merupakan bentuk kecurangan yang sangat merugikan masyarakat, terutama di saat kebutuhan bahan pokok sedang meningkat. (Tirto.id, 09/03/2025)  

Penyelidikan lebih lanjut masih berlangsung untuk memastikan apakah ada unsur kesengajaan dari produsen dalam praktik ini. Jika benar terbukti adanya pelanggaran, tentu ini bukan hanya masalah ketidaksesuaian takaran, tetapi juga menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap produsen minyak goreng bersubsidi. (Antara, 09/03/2025)  

Mengapa Kecurangan Ini Bisa Terjadi?

Kasus minyak goreng Minyakita yang tak sesuai takaran ini bukan sekadar kelalaian produsen semata, tetapi mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam sistem distribusi pangan di Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana negara gagal mengontrol pasar dan membiarkan kepentingan korporasi mendominasi sektor kebutuhan pokok masyarakat.  

Dalam sistem ekonomi saat ini, distribusi bahan pangan, termasuk minyak goreng, berada di tangan perusahaan-perusahaan besar yang berorientasi pada keuntungan. Negara hanya berperan sebagai regulator yang menetapkan aturan tanpa mampu memastikan kepatuhan dari para pemain bisnis ini. Akibatnya, ketika terjadi kecurangan, yang dirugikan adalah masyarakat sebagai konsumen. Namun, produsen yang terbukti melakukan pelanggaran sering kali hanya mendapat sanksi ringan yang tidak memberikan efek jera. (Tirto.id, 09/03/2025)  

Bahkan, dalam kasus ini, Menteri Pertanian hanya mengancam akan menutup perusahaan jika terbukti bersalah. Padahal, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang tetap bisa beroperasi setelah membayar denda atau mendapatkan dispensasi hukum. Ini membuktikan bahwa regulasi yang ada masih longgar dan lebih mengutamakan kepentingan bisnis dibandingkan melindungi hak konsumen.  

Kapitalisme: Karpet Merah untuk Korporasi, Ancaman bagi Konsumen

Fenomena ini tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi fondasi kebijakan di banyak negara, termasuk Indonesia. Kapitalisme dengan asas liberalismenya memberikan ruang luas bagi korporasi untuk menguasai sektor pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga penjualan. Negara hanya berfungsi sebagai fasilitator yang memastikan iklim usaha tetap kondusif bagi para pemilik modal.  

Dalam sistem ini, korporasi diberikan keleluasaan untuk menetapkan harga, mengatur stok, bahkan mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan—termasuk melalui praktik curang seperti mengurangi isi minyak goreng dalam kemasan. Negara, yang seharusnya menjadi pengawas dan pelindung kepentingan rakyat, justru sering kali bersikap pasif atau bahkan melindungi kepentingan korporasi atas nama stabilitas ekonomi.  

Ketimpangan ini semakin nyata ketika melihat bagaimana kebijakan pemerintah lebih sering berpihak pada pengusaha dibandingkan rakyat. Saat harga minyak goreng melonjak, solusi yang ditawarkan adalah subsidi yang justru menguntungkan produsen. Sementara itu, ketika terjadi kecurangan seperti dalam kasus Minyakita, tindakan tegas dari negara sering kali hanya berupa peringatan atau ancaman yang jarang benar-benar ditegakkan.  

Sistem kapitalisme telah menjadikan negara lebih peduli pada pertumbuhan ekonomi berbasis keuntungan ketimbang kesejahteraan rakyat. Inilah sebabnya mengapa kasus seperti ini terus berulang, tanpa ada perbaikan nyata dalam pengelolaan distribusi pangan di Indonesia.

Negara sebagai Pengurus, Bukan Sekadar Regulator 

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang membiarkan korporasi menguasai sektor pangan, Islam menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok rakyat adalah tanggung jawab negara. Pemimpin dalam Islam adalah *raa’in* (pengurus rakyat), bukan sekadar fasilitator bisnis. Rasulullah ﷺ bersabda: 

"Imam (pemimpin) adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari dan Muslim)  

Dalam Islam, kebutuhan pokok seperti pangan harus dikelola langsung oleh negara, bukan diserahkan kepada korporasi yang berorientasi profit. Negara wajib memastikan harga tetap stabil, pasokan terjamin, dan distribusi berjalan adil tanpa permainan curang dari para pelaku usaha.  

Mekanisme Islam dalam Menjaga Keamanan Pangan

Islam memiliki mekanisme yang jelas dalam mengatur ekonomi dan pasar agar tidak terjadi kecurangan seperti kasus Minyakita ini. Salah satunya adalah peran *Qadhi Hisbah*, seorang pengawas pasar yang bertugas memastikan perdagangan berlangsung jujur dan sesuai syariat. Jika ditemukan praktik penipuan dalam takaran atau kualitas barang, pelaku dapat dikenai sanksi tegas, bahkan hingga larangan berusaha.  

Dalam sistem ekonomi Islam, negara juga wajib mengontrol distribusi barang dan mencegah segala bentuk distorsi pasar, seperti penimbunan (ihtikar) dan spekulasi harga yang merugikan masyarakat. Dengan demikian, ketersediaan bahan pokok seperti minyak goreng akan tetap stabil, tanpa permainan curang dari para pengusaha yang mencari keuntungan semata.  

Saatnya Meninggalkan Kapitalisme, Beralih ke Sistem Islam

Kasus Minyakita ini sekali lagi membuktikan bahwa kapitalisme bukan sistem yang mampu melindungi rakyat. Sistem ini justru memberikan karpet merah bagi korporasi untuk mendominasi pasar dan meraup keuntungan tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat.  

Sebaliknya, Islam telah menetapkan aturan yang jelas untuk menjaga keadilan dalam ekonomi, dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok dikelola oleh negara, bukan oleh korporasi. Jika aturan ini diterapkan, maka kecurangan dalam rantai distribusi pangan dapat dicegah, dan rakyat akan mendapatkan hak mereka tanpa harus menjadi korban praktik bisnis yang tidak adil.  

Maka, solusi sejati dari permasalahan ini bukanlah sekadar regulasi lebih ketat dalam sistem yang sudah rusak, tetapi perubahan sistem secara keseluruhan menuju penerapan ekonomi Islam yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama.

Posting Komentar untuk "Setelah Pertamax Oplosan, Terbitlah Minyakita Oplosan"