Mengkritisi Klaim Istana Tentang Kemiskinan
Pada situs resmi kepresidenan (www.presidenri.go.id,
25/6), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kuncinya pada
pembukaan Kantor Wilayah Regional Abdul Latif Jameel Poverty Lab (J-Pal)
menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia selama 5 tahun
terakhir mengalami penurunan, yaitu dari 16,58 persen di tahun 2007
menjadi 11,66 persen pada 2012.
Selama ini saya selalu meragukan akurasi data kemiskinan yang dilansir pemerintah yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kritik terhadap akurasi data kemiskinan BPS tersebut bisa terkait teknis maupun non-teknis. Aspek teknis berhubungan dengan teknik sampling Susenas yang menjadi instrumen pendataan penduduk miskin. Sedangkan aspek non-teknis terkait dengan konsep/kriteria dan kebijakan pendataan serta pemecahan problem kemiskinan.
Kelemahan Teknis
Kelemahan secara teknis adalah terlalu kecilnya jumlah sampel Susenas yaitu 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia. Artinya hanya menggunakan sampel sekitar 0,1 persen untuk menggambarkan tingkat kemiskinan masyarakat. Padahal kondisi tingkat kemiskinan (tingkat pendapatan) tersebut sangat heterogen baik di dalam satu daerah maupun antar daerah.
Secara statistika, semakin heterogen suatu populasi maka semakin besar pula sampel yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan populasi tersebut secara representatif. Karena itu, menurut hitungan saya, semestinya diperlukan sampel berkisar antara 10 hingga 15 persen sampel rumah tangga untuk menggambarkan tingkat pendapatan atau tingkat kemiskinan tersebut.
Namun apabila BPS menambah jumlah sampel maka data kemiskinan akurasinya pun belum bisa dipercaya. Karena itu baru menyangkut aspek teknis sampling. Hal yang lebih krusial sebenarnya adalah persoalan non-teknis yang menyangkut konsep dan kebijakan pendataan kemiskinan itu. Artinya meskipun secara teknis sampling diperbaiki namun persoalannya tidak akan selesai apabila konsep dan kebijakannya tidak berubah.
Kelemahan Non Teknis
Konsep dan kebijakan yang dimaksud paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan pendataan penduduk miskin melalui Susenas BPS tersebut pada dasarnya tidak terkait langsung dengan upaya penyelesaian problem kemiskinan itu sendiri.
Sebab jika serius mau menyelesaikan problem kemiskinan maka mestinya pendataan penduduk miskin harus bersifat individu per individu berdasarkan by name – by address. Sehingga bisa diketahui siapa dan di mana mereka yang terkategori miskin tersebut, tidak sekedar jumlahnya. Jika tidak, maka pendataan kemiskinan lebih bersifat proyek dan kepentingan pencitraan politik tanpa menyentuh persoalan utamanya yakni pengentasan kemiskinan.
Kedua, kriteria kemiskinan yang digunakan BPS tidak sesuai dengan realita. Garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini sekitar Rp 8 ribu per orang per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara layak dengan uang Rp 9 ribu.
Kriteria BPS itu sangat jauh di bawah standar yang dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari. Apabila menggunakan standar Bank Dunia ini maka penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa.
Ketiga, program dan kebijakan pemerintah untuk menurunkan kemiskinan justru mengarah pada pemiskinan. Jadi, data penurunan persentase warga miskin versi BPS itu bersifat paradoksal dengan kebijakan pemerintah yang pro pasar (kapitalisme) dan tidak berpihak pada rakyat. Sehingga penurunan tersebut menjadi tidak logis karena beberapa kebijakan pemerintah justru mengarah pada pemiskinan masyarakat.
Misalnya kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi sejak 22 Juni lalu. Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi pada tahun ini bisa melonjak hingga 7,9 persen akibat dampak kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. Itu artinya harga-harga barang akan naik sementara pendapatan tidak berubah, sehingga daya beli masyarakat akan turun. Kebijakan semacam ini jelas akan meningkatkan kemiskinan bukan menurunkan.
Angka Kemiskinan Naik
Klaim pemerintah bahwa masalah itu bisa diatasi dengan diluncurkannya BLSM sungguh naif. Karena saya yakin bahwa para ahli ekonomi memahami bahwa program BLSM yang hanya 4 bulan tersebut tidak akan mampu membendung dampak inflasi yang diakibatkan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. Apalagi jumlahnya hanya Rp 150 ribu per bulan untuk tiap rumah tangga sasaran.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, jumlah orang miskin pada tahun ini akan naik dari 10,5 persen menjadi 12,1 persen. Artinya ada kenaikan angka kemiskinan sebesar 1,6 persen (sekitar 4 juta jiwa) sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Jadi, sangat jelas bahwa BLSM itu hanya sebagai penghibur sesaat agar di masyarakat tidak terlalu bergejolak. Meskipun begitu, saya yakin bahwa pada tahun 2014 nanti BPS sebagaimana biasa akan kembali merilis data bahwa tingkat kemiskinan menurun dibandingkan tahun 2013, apalagi tahun 2014 merupakan tahun politik.
Perlu pula dicatat, bahwa problem kemiskinan tersebut tidak hanya melilit Indonesia, namun juga merata melilit masyarakat di dunia yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Penjaga utama sistem ini, yakni AS dan Eropa, kini masyarakatnya masuk pada kubangan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyak koran di Eropa kini mengabarkan keluhan sekolah dan guru tentang murid yang tidak bisa berkonsentrasi karena lapar.
Bahkan di Yunani, salah satu negara Eropa yang paling terpukul oleh krisis, diberitakan telah terjadi beberapa kasus pembuangan bayi dan anak akibat ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Bukti kegagalan kapitalisme yang semakin telanjang itu akan semakin meningkatkan kepercayaan kita Kaum Muslim untuk mendakwahkan syariah dan khilafah sebagai satu-satunya solusi. Tidak hanya solusi bagi problem kemiskinan, namun juga pada seluruh persoalan ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Wallahua’lam.[Kusman Sadik (Dosen Pascasarjana Statistika IPB)]
Selama ini saya selalu meragukan akurasi data kemiskinan yang dilansir pemerintah yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kritik terhadap akurasi data kemiskinan BPS tersebut bisa terkait teknis maupun non-teknis. Aspek teknis berhubungan dengan teknik sampling Susenas yang menjadi instrumen pendataan penduduk miskin. Sedangkan aspek non-teknis terkait dengan konsep/kriteria dan kebijakan pendataan serta pemecahan problem kemiskinan.
Kelemahan Teknis
Kelemahan secara teknis adalah terlalu kecilnya jumlah sampel Susenas yaitu 68.000 rumah tangga dari sekitar 61 juta rumah tangga di Indonesia. Artinya hanya menggunakan sampel sekitar 0,1 persen untuk menggambarkan tingkat kemiskinan masyarakat. Padahal kondisi tingkat kemiskinan (tingkat pendapatan) tersebut sangat heterogen baik di dalam satu daerah maupun antar daerah.
Secara statistika, semakin heterogen suatu populasi maka semakin besar pula sampel yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan populasi tersebut secara representatif. Karena itu, menurut hitungan saya, semestinya diperlukan sampel berkisar antara 10 hingga 15 persen sampel rumah tangga untuk menggambarkan tingkat pendapatan atau tingkat kemiskinan tersebut.
Namun apabila BPS menambah jumlah sampel maka data kemiskinan akurasinya pun belum bisa dipercaya. Karena itu baru menyangkut aspek teknis sampling. Hal yang lebih krusial sebenarnya adalah persoalan non-teknis yang menyangkut konsep dan kebijakan pendataan kemiskinan itu. Artinya meskipun secara teknis sampling diperbaiki namun persoalannya tidak akan selesai apabila konsep dan kebijakannya tidak berubah.
Kelemahan Non Teknis
Konsep dan kebijakan yang dimaksud paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tujuan pendataan penduduk miskin melalui Susenas BPS tersebut pada dasarnya tidak terkait langsung dengan upaya penyelesaian problem kemiskinan itu sendiri.
Sebab jika serius mau menyelesaikan problem kemiskinan maka mestinya pendataan penduduk miskin harus bersifat individu per individu berdasarkan by name – by address. Sehingga bisa diketahui siapa dan di mana mereka yang terkategori miskin tersebut, tidak sekedar jumlahnya. Jika tidak, maka pendataan kemiskinan lebih bersifat proyek dan kepentingan pencitraan politik tanpa menyentuh persoalan utamanya yakni pengentasan kemiskinan.
Kedua, kriteria kemiskinan yang digunakan BPS tidak sesuai dengan realita. Garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini sekitar Rp 8 ribu per orang per hari atau Rp 240 ribu per orang per bulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya per hari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya per hari secara layak dengan uang Rp 9 ribu.
Kriteria BPS itu sangat jauh di bawah standar yang dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari. Apabila menggunakan standar Bank Dunia ini maka penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa.
Ketiga, program dan kebijakan pemerintah untuk menurunkan kemiskinan justru mengarah pada pemiskinan. Jadi, data penurunan persentase warga miskin versi BPS itu bersifat paradoksal dengan kebijakan pemerintah yang pro pasar (kapitalisme) dan tidak berpihak pada rakyat. Sehingga penurunan tersebut menjadi tidak logis karena beberapa kebijakan pemerintah justru mengarah pada pemiskinan masyarakat.
Misalnya kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi sejak 22 Juni lalu. Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi pada tahun ini bisa melonjak hingga 7,9 persen akibat dampak kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. Itu artinya harga-harga barang akan naik sementara pendapatan tidak berubah, sehingga daya beli masyarakat akan turun. Kebijakan semacam ini jelas akan meningkatkan kemiskinan bukan menurunkan.
Angka Kemiskinan Naik
Klaim pemerintah bahwa masalah itu bisa diatasi dengan diluncurkannya BLSM sungguh naif. Karena saya yakin bahwa para ahli ekonomi memahami bahwa program BLSM yang hanya 4 bulan tersebut tidak akan mampu membendung dampak inflasi yang diakibatkan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. Apalagi jumlahnya hanya Rp 150 ribu per bulan untuk tiap rumah tangga sasaran.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, jumlah orang miskin pada tahun ini akan naik dari 10,5 persen menjadi 12,1 persen. Artinya ada kenaikan angka kemiskinan sebesar 1,6 persen (sekitar 4 juta jiwa) sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Jadi, sangat jelas bahwa BLSM itu hanya sebagai penghibur sesaat agar di masyarakat tidak terlalu bergejolak. Meskipun begitu, saya yakin bahwa pada tahun 2014 nanti BPS sebagaimana biasa akan kembali merilis data bahwa tingkat kemiskinan menurun dibandingkan tahun 2013, apalagi tahun 2014 merupakan tahun politik.
Perlu pula dicatat, bahwa problem kemiskinan tersebut tidak hanya melilit Indonesia, namun juga merata melilit masyarakat di dunia yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Penjaga utama sistem ini, yakni AS dan Eropa, kini masyarakatnya masuk pada kubangan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyak koran di Eropa kini mengabarkan keluhan sekolah dan guru tentang murid yang tidak bisa berkonsentrasi karena lapar.
Bahkan di Yunani, salah satu negara Eropa yang paling terpukul oleh krisis, diberitakan telah terjadi beberapa kasus pembuangan bayi dan anak akibat ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Bukti kegagalan kapitalisme yang semakin telanjang itu akan semakin meningkatkan kepercayaan kita Kaum Muslim untuk mendakwahkan syariah dan khilafah sebagai satu-satunya solusi. Tidak hanya solusi bagi problem kemiskinan, namun juga pada seluruh persoalan ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Wallahua’lam.[Kusman Sadik (Dosen Pascasarjana Statistika IPB)]
Posting Komentar untuk "Mengkritisi Klaim Istana Tentang Kemiskinan"