Bagaimana Metode Menegakkan Khilafah Islam ?
Jika
dakwah adalah metode untuk menegakkan khilafah Islam. Lantas, apakah
prosesinya juga akan selalu berjalan mulus atau normal? Ataukah ada
kemungkinan bisa terjadi kudeta militer?
PERTAMA, harus dipahami bahwa politik adalah fanul mumkin, yaitu seni atau teknik untuk meraih sesuatu yang mungkin terjadi. Artinya, politik itu selalu dipenuhi dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Bahkan kadang-kadang kemungkinan-kemungkinan itu tidak terduga. Termasuk di dalamnya adalah kemugkinan digunakannya jalan kekerasan dalam istilamul hukmi (penyerahan kekuasaan).
Berkaitan dengan prosesi pengambilalihan kekuasaan, bisa dilakukan dengan cara-cara yang biasa atau tidak biasa. Langkah menuju berdirinya negara khilafah mirip dengan kasus seorang ibu yang hamil sembilan bulan dan mau melahirkan. Tinggal bagaimana proses kelahiran itu akan dilalui. Apakah dengan cara normal ataukah dengan cara yang lain (di luar cara normal seperti sesar atau dipaksa)? Jika dilalui dengan cara yang tidak normal, bisa jadi justru hal itu akan membahayakan si ibu sendiri dan bayinya. Untuk itulah, sebelum bayi itu lahir, si ibu harus memiliki kondisi yang sehat, cukup asupan gizi, dan lain-lain agar proses kelahiran anak berlangsung normal dan lancar, serta anak yang lahir kelak juga menjadi anak yang sehat.
Demikian pula negara khilafah. Sebuah negara khilafah yang normal, tentu rakyatnya harus memiliki mafahim (pemahaman/konsepsi), maqayis (standar halal-haram), dan qanaat (keyakinan) yang berangkat dari ideologi Islam. Sebab, ketiga unsur itulah yang ada dalam setiap otak manusia (rakyat). Jika rakyat tidak pernah dipahamkan dan dipersiapkan semaksimal mungkin menuju tegaknya negara khilafah maka Islam tidak akan menjadi mafaahim, maqayis, dan qanaat masyarakat yang akan terbentuk. Oleh karena itu, negara khilafah yang kelak berdiri juga bisa tegak dengan cara normal, yaitu ketika rakyat sudah menjadikan Islam sebagai mafaahim, maqayis, dan qanaat dalam kehidupan mereka. Jika rakyat sudah seperti itu, maka rakyat segera memberikan kekuasaan kepada kaum muslimin untuk menegakkan ideologi Islam. Sebab, hakikatnya kekuasaan itu berada di tangan umat. Jadi, umat harus benar-benar dipersiapkan untuk tegaknya sebuah negara khilafah, secara normal. Sebab, layaknya analogi di atas, jika tegaknya negara khilafah tidak dengan cara yang normal maka hal itu berbahaya, baik bagi umat maupun bagi negara khilafah itu sendiri.
Ingat, unsur mendasar sebuah negara bukanlah bentuk pemerintahannya, struktur negaranya, atau istana negaranya. Tetapi unsur terpenting dari sebuah negara adalah rakyat. Dan rakyat adalah orang yang mengemban suatu pemahaman tertentu di dalam otaknya. Inilah yang harus diurusi. Maka jika ingin menegakkan negara Islam, tidak lain adalah dengan proses penyadaran masyarakat (dakwah), dengan mengubah pemahaman masyarakat, yang sebelumnya tidak Islami menjadi pemahaman yang Islami. Jadi, menegakkan negara Islam itu tidak dengan jalan menghancurkan organ-organ fisik negara seperti menghancurkan/menduduki istana negara, membunuh presiden, memerangi lembaga-lembaga kenegaraan. Ini namanya mengabaikan masalah pokok dalam bernegara.
Namun demikian, sebagai sebuah uslub, diperbolehkan melakukan operasi sesar kepada si ibu, dalam rangka menyelamatkan bayi yang akan dilahirkannya. Artinya, jika memang ada permasalahan-permasalahan yang mengancam keselamatan sang bayi, dan tidak ada cara lain selain sesar, maka sesar harus ditempuh. Dalam konteks politik, diperbolehkan para ahlul quwwah (pemilik kekuatan) melakukan operasi sesar, yaitu dengan “memaksa” rezim lama untuk turun, dengan kekuatan militer. Hal ini bisa dilakukan, yaitu ketika ahlul quwwah merasa bahwa “sebaiknya dilakukan operasi sesar”.
Jadi, adanya perosesi revolusi militer atau tidak, itu melihat situasi dan kondisi. Ahlul quwwah yang mengawal istilamul hukmi diperbolehkan menempuh jalan kekerasan jika memang kondisi menuntut demikian. Hal ini telah diperbolehkan oleh syara’.
Ketika ahlul quwwah dari Madinah yang telah membaiat Nabi saw. di Bukit ‘Aqabah menyatakan kesiapannya untuk mengangkat senjata, dengan tegas Nabi saw. menolaknya. ‘Abbas bin ‘Ubadah berkata:
“Demi Zat Yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, jika Anda berkenan, kami pasti besok akan berangkat menemui penduduk Mina dengan menghunus pedang-pedang kami.” Nabi saw. bersabda, “Kita belum diperintahkan untuk itu. Kembalilah kalian ke tunggangan kalian.”
Hadis di atas menjelaskan makna bahwa penggunaan aktivitas militer, tetap bisa dilakukan jika memang kondisinya menuntut untuk itu. Bahkan kaum Anshar sendirilah yang menawarkan untuk mengawal istilamul hukmi itu dengan kekerasa. Tetapi Rasulullah saw. menolak dengan alasan, “Kita belum diperintahkan untuk itu.”
Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah konteks hadits ini terkait dengan jihad, dan hukum jihad pada waktu itu memang belum diturunkan, tetapi sekarang berbeda, karena hukum jihad sudah diturunkan?” Memang benar, saat ini hukum jihad sudah diturunkan dan lengkap, tetapi jihad adalah berperang melawan kaum kafir dalam rangka menjunjung tinggi kalimah Allah. Adapun para penguasa yang berkuasa di negeri Islam saat ini yang hendak mereka perangi jelas-jelas adalah Muslim, terlepas dari statusnya zalim atau fasik. Karena itu, hukum jihad (dalam arti perang) melawan penguasa ini jelas tidak relevan.
Oleh karena itu, negara Islam tidak lain akan tegak dengan jalan dakwah. Inilah satu-satunya jalan membentuk masyarakat Islam. Bukan dengan jalan kekerasan atau jalan jihad.
Wallahu a’lam. (krsk/visimuslim.com) [Agus Trisa]
PERTAMA, harus dipahami bahwa politik adalah fanul mumkin, yaitu seni atau teknik untuk meraih sesuatu yang mungkin terjadi. Artinya, politik itu selalu dipenuhi dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Bahkan kadang-kadang kemungkinan-kemungkinan itu tidak terduga. Termasuk di dalamnya adalah kemugkinan digunakannya jalan kekerasan dalam istilamul hukmi (penyerahan kekuasaan).
Berkaitan dengan prosesi pengambilalihan kekuasaan, bisa dilakukan dengan cara-cara yang biasa atau tidak biasa. Langkah menuju berdirinya negara khilafah mirip dengan kasus seorang ibu yang hamil sembilan bulan dan mau melahirkan. Tinggal bagaimana proses kelahiran itu akan dilalui. Apakah dengan cara normal ataukah dengan cara yang lain (di luar cara normal seperti sesar atau dipaksa)? Jika dilalui dengan cara yang tidak normal, bisa jadi justru hal itu akan membahayakan si ibu sendiri dan bayinya. Untuk itulah, sebelum bayi itu lahir, si ibu harus memiliki kondisi yang sehat, cukup asupan gizi, dan lain-lain agar proses kelahiran anak berlangsung normal dan lancar, serta anak yang lahir kelak juga menjadi anak yang sehat.
Demikian pula negara khilafah. Sebuah negara khilafah yang normal, tentu rakyatnya harus memiliki mafahim (pemahaman/konsepsi), maqayis (standar halal-haram), dan qanaat (keyakinan) yang berangkat dari ideologi Islam. Sebab, ketiga unsur itulah yang ada dalam setiap otak manusia (rakyat). Jika rakyat tidak pernah dipahamkan dan dipersiapkan semaksimal mungkin menuju tegaknya negara khilafah maka Islam tidak akan menjadi mafaahim, maqayis, dan qanaat masyarakat yang akan terbentuk. Oleh karena itu, negara khilafah yang kelak berdiri juga bisa tegak dengan cara normal, yaitu ketika rakyat sudah menjadikan Islam sebagai mafaahim, maqayis, dan qanaat dalam kehidupan mereka. Jika rakyat sudah seperti itu, maka rakyat segera memberikan kekuasaan kepada kaum muslimin untuk menegakkan ideologi Islam. Sebab, hakikatnya kekuasaan itu berada di tangan umat. Jadi, umat harus benar-benar dipersiapkan untuk tegaknya sebuah negara khilafah, secara normal. Sebab, layaknya analogi di atas, jika tegaknya negara khilafah tidak dengan cara yang normal maka hal itu berbahaya, baik bagi umat maupun bagi negara khilafah itu sendiri.
Ingat, unsur mendasar sebuah negara bukanlah bentuk pemerintahannya, struktur negaranya, atau istana negaranya. Tetapi unsur terpenting dari sebuah negara adalah rakyat. Dan rakyat adalah orang yang mengemban suatu pemahaman tertentu di dalam otaknya. Inilah yang harus diurusi. Maka jika ingin menegakkan negara Islam, tidak lain adalah dengan proses penyadaran masyarakat (dakwah), dengan mengubah pemahaman masyarakat, yang sebelumnya tidak Islami menjadi pemahaman yang Islami. Jadi, menegakkan negara Islam itu tidak dengan jalan menghancurkan organ-organ fisik negara seperti menghancurkan/menduduki istana negara, membunuh presiden, memerangi lembaga-lembaga kenegaraan. Ini namanya mengabaikan masalah pokok dalam bernegara.
Namun demikian, sebagai sebuah uslub, diperbolehkan melakukan operasi sesar kepada si ibu, dalam rangka menyelamatkan bayi yang akan dilahirkannya. Artinya, jika memang ada permasalahan-permasalahan yang mengancam keselamatan sang bayi, dan tidak ada cara lain selain sesar, maka sesar harus ditempuh. Dalam konteks politik, diperbolehkan para ahlul quwwah (pemilik kekuatan) melakukan operasi sesar, yaitu dengan “memaksa” rezim lama untuk turun, dengan kekuatan militer. Hal ini bisa dilakukan, yaitu ketika ahlul quwwah merasa bahwa “sebaiknya dilakukan operasi sesar”.
Jadi, adanya perosesi revolusi militer atau tidak, itu melihat situasi dan kondisi. Ahlul quwwah yang mengawal istilamul hukmi diperbolehkan menempuh jalan kekerasan jika memang kondisi menuntut demikian. Hal ini telah diperbolehkan oleh syara’.
Ketika ahlul quwwah dari Madinah yang telah membaiat Nabi saw. di Bukit ‘Aqabah menyatakan kesiapannya untuk mengangkat senjata, dengan tegas Nabi saw. menolaknya. ‘Abbas bin ‘Ubadah berkata:
“Demi Zat Yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, jika Anda berkenan, kami pasti besok akan berangkat menemui penduduk Mina dengan menghunus pedang-pedang kami.” Nabi saw. bersabda, “Kita belum diperintahkan untuk itu. Kembalilah kalian ke tunggangan kalian.”
Hadis di atas menjelaskan makna bahwa penggunaan aktivitas militer, tetap bisa dilakukan jika memang kondisinya menuntut untuk itu. Bahkan kaum Anshar sendirilah yang menawarkan untuk mengawal istilamul hukmi itu dengan kekerasa. Tetapi Rasulullah saw. menolak dengan alasan, “Kita belum diperintahkan untuk itu.”
Mungkin ada yang bertanya, “Bukankah konteks hadits ini terkait dengan jihad, dan hukum jihad pada waktu itu memang belum diturunkan, tetapi sekarang berbeda, karena hukum jihad sudah diturunkan?” Memang benar, saat ini hukum jihad sudah diturunkan dan lengkap, tetapi jihad adalah berperang melawan kaum kafir dalam rangka menjunjung tinggi kalimah Allah. Adapun para penguasa yang berkuasa di negeri Islam saat ini yang hendak mereka perangi jelas-jelas adalah Muslim, terlepas dari statusnya zalim atau fasik. Karena itu, hukum jihad (dalam arti perang) melawan penguasa ini jelas tidak relevan.
Oleh karena itu, negara Islam tidak lain akan tegak dengan jalan dakwah. Inilah satu-satunya jalan membentuk masyarakat Islam. Bukan dengan jalan kekerasan atau jalan jihad.
Wallahu a’lam. (krsk/visimuslim.com) [Agus Trisa]
2 komentar untuk "Bagaimana Metode Menegakkan Khilafah Islam ?"
TOLONG DIPERJELAS DULU
1.apa status penguasa negeri muslim hari ini?
2. apa akibat yang ditimbulkan bagi mereka [yang mengaku beriman] tapi meninggalkan jihad menurut nash syar'i?