BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-9: UBAH PERSEPSI
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan
nasib tanpa mereka mengubah dulu persepsinya tentang berbagai hal.
Persepsi
adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu serapan. Persepsi
ini dihasilkan dari informasi yang masuk ke pancaindera seseorang,
kemudian oleh otaknya dihubungkan dengan berbagai informasi yang telah
ada sebelumnya, baik informasi yang masih mengambang, maupun yang sudah
mantap atau dianggap referensi.
Namun kualitas persepsi
juga tergantung kecepatan orang berpikir dan berapa banyak otaknya
dilatih. Otak manusia memiliki keunikan, yakni makin sering dipakai,
makin cepat dia berpikir dan makin banyak yang bisa disimpannya. Tetapi
kualitas latihan ini juga tergantung jenis informasi yang dimasukkan.
Ada informasi-informasi yang memperkuat otak, tetapi ada juga yang
justru melemahkannya. Membaca Qur'an, memecahkan persoalan matematika
atau menganalisis berita politik, adalah termasuk informasi yang
memperkuat otak. Sedang pornografi, opera sabun atau gossip murahan,
adalah informasi yang melemahkan. Otak melemah karena banyak sel-sel di
otak yang terlena atau non aktif, kecepatan berpikir jadi berkurang,
dan akibatnya persepsi yang dihasilkannyapun tidak optimal.
Di
dunia bisnis, banyak analis ekonomi atau perencana keuangan yang
berlatar belakang sains/teknik, karena konon otak mereka lebih terlatih
memecahkan persoalan yang lebih rumit, sehingga terasa ringan dan lebih
cepat ketika menghadapi persoalan bisnis atau finansial. Itulah kenapa,
para ilmuwan zaman dulu selalu melalui masa kanak-kanak sebagai
penghafal Qur'an, atau ulama fiqih juga belajar matematika. Di sisi
lain, setiap orang yang sedang menghafal Qur'an wajib menghindari
maksiat. Bahkan menonton dangdut dengan biduanita yang mengumbar aurat
bisa menghilangkan 1-2 juz dari memory.
Adapun
persepsi itu sendiri bisa bermacam-macam. Ada persepsi tentang diri
sendiri. Ada persepsi tentang orang lain. Juga persepsi tentang alam
semesta, masyarakat, negara, dan sebagainya. Semuanya akan menentukan
apa yang akan dilakukan orang itu kemudian.
Orang yang
mempersepsikan dirinya hanya sebagai korban yang malang dari sistem yang
rusak, relatif akan lebih sering mengeluh dan menyalahkan pihak lain,
tentunya paling banyak menyalahkan pemerintah, tetapi bisa juga
menyalahkan konspirasi asing, bahkan dajjal. Sebaliknya orang yang
mempersepsikan dirinya sebagai sosok pilihan, penyelamat korban dari
sistem rusak, tentunya akan sibuk mencari solusi yang bisa dilakukan,
agar korban selanjutnya tidak perlu berjatuhan lagi. Mereka berprinsip
"tidak perlu mengutuk kegelapan, tetapi nyalakan lilin atau bangun
pembangkit listrik yang akan menerangi semuanya".
Orang
yang memiliki persepsi bahwa dunia ini penuh dengan konspirasi, akan
relatif menjadi pencuriga. Semua hal yang dihadapi dinilai dari kaca
mata hitam konspirasi. Bahkan andaikata anaknya yang malas belajar
dapat rapor merah, atau rumahnya yang tidak memiliki penangkal petir
kena musibah (yakni kesambar petir), respon pertamanya adalah "ada
konspirasi yang tertuju pada keluarga atau rumahnya".
Kadang-kadang batas antara curiga akibat memiliki persepsi konspiratif, dengan waspada
karena memiliki persepsi yang ideologis, itu tipis. Dari sisi
"kecepatan berpikir" keduanya hampir sama. Yang membedakannya adalah
"kualitas berpikir". Persepsi ideologis itu akurat, sistemik,
konstruktif dan siap divalidasi dengan pisau analisis apapun, sedang
persepsi konspiratif itu cenderung sebaliknya.
Tentu
saja, persepsi ideologis inipun masih tergantung ideologi apa yang
mendasarinya. Ideologi sosialis, kapitalis, ataukah ideologi islam?
Peristiwa politik atau ekonomi yang sama akan dipersepsikan dengan amat
berbeda. Di sinilah kembali diperlukan sesuatu yang lebih mendasar
lagi: aksioma, asumsi dasar yang dianggap benar, atau dalam istilah Arab
disebut: AQIDAH.
Aqidah ini akan meletakkan cara
pandang terhadap dunia. Apakah dunia ada dengan sendirinya melalui
proses evolusi ? Ataukah dunia itu diciptakan oleh sosok Tuhan kemudian
Tuhan meletakkan manusia di dalamnya untuk mengatur dirinya sendiri ?
Ataukah dunia ini diciptakan Tuhan dan sudah dilengkapi dengan satu set
manual untuk menguji manusia siapa yang lebih baik amalnya ?
Maka
ternyata, bagaimana kita akan merubah nasib kita di masa depan, sangat
tergantung dari aqidah apa yang kita pilih untuk mendasari persepsi yang
kita gunakan dalam memahami dunia. Orang yang menolak keberadaan
Tuhan, sama sekali tidak akan menyertakan Tuhan dalam analisnya,
sekalipun hanya untuk mengambil hikmah. Orang yang menerima keberadaan
Tuhan tetapi menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan, tidak akan
menengok ajaran Tuhan untuk ikut memberikan solusi atas kejadian apapun.
Sementara itu, seorang muslim, akan melihat setiap kejadian, yang
menyenangkan ataupun menyusahkan, sebagai ujian dari Allah untuk menguji
siapa yang paling baik amalnya. Kalau ada bencana, dan dia adalah
salah satu korbannya, maka itu untuk menguji kesabarannya dan
introspeksi pada amalnya selama ini; sedang kalau dia bukan salah satu
korbannya, maka itu untuk menguji sejauh mana dia berkontribusi
meringankan beban korban bencana, baik secara sporadis maupun
sistematis, baik yang sifatnya teknis maupun non teknis.
Contoh:
Kalau banjir itu cuma insidental, maka itu persoalan teknis belaka.
Tetapi kalau banjir itu selalu terjadi, berulang, dan makin lama makin
parah, maka itu pasti persoalan sistemik. Kalau banjir sistemik itu
dapat selesai dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru dll, maka
itu sistemik-teknis. Namun, kalau itu menyangkut tata ruang yang tidak
dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai,
keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran yang
tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat yang tidak
kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dsb, maka itu sudah
terkait dengan sistem-non teknis. Dan sistem non teknis ini kalau saling
terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar
diserahkan kepada mekanisme pasar dan proses demokratis yang cuma
bervisi 5 tahun, maka persoalannya sudah ideologis.
Kalau
persepsi kita melihat bahwa akar masalahnya hanya sebatas teknis, maka
cukuplah upaya-upaya teknis. Tetapi jika sudah akar masalahnya sampai
ideologis, maka jalan keluarnyapun harus ideologis, yakni dengan
mengganti ideologi kapitalisme-sekuler dengan ideologi Islam.
Mestinya
Ramadhan adalah bulan untuk merubah persepsi kita. Mudah-mudahan, pada
hari ke-9 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah persepsi kita
memandang kehidupan, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-9: UBAH PERSEPSI"