Mesir: Kemunafikan Kaum Liberal Bukan Masalah Ejekan
Bassem Youssef
Komedian Bassem Youssef adalah seorang Mesir dimana kaum liberal di
Barat bisa dikaitkan dengannya. Setelah keluar surat penangkapan
terhadap dirinya di bulan Maret, dia merayakan kebebasan berbicara di
media Barat sebagai penyebab di tengah berbagai tuntutan terhadapnya
oleh anggota masyarakat (awalnya dari salah seorang rekan kerja sendiri)
yang berpuncak pada tuduhan bahwa dia menghina presiden dan Islam pada
program televisi populernya “El Bernameg” – yang merupakan edisi Jon
Stewart Daily Show, versi Mesir. Pertunjukan terakhirnya itu difilmkan
dan disiarkan sebelum terjadi demonstrasi besar di Mesir yang
mengakibatkan kudeta militer pada tanggal 3 Juli yang hampir seluruhnya
merupakan perayaan ejekan atas mantan Presiden Morsi dan para
pendukungnya, dengan sedikit kritik terhadap oposisi. Sebagai salah
seorang yang masuk daftar 100 tokoh berpengaruh di Dunia oleh Majalah
Time pada awal tahun ini, dia telah diberi penghargaan sebagai orang
yang membantu opini publik untuk menentang Ikhwanul Muslimin dan para
sekutu mereka.
Setelah kudeta yang melengserkan Morsi, sejumlah saluran media segera
ditutup dengan justifikasi bahwa mereka menghasut kekerasan, termasuk
Al-Jazeera cabang Mesir bersama dengan berbagai stasiun satelit yang
terkait dengan gerakan-gerakan dan pribadi-pribadi muslim tertentu.
Mengingat riwayat dan politik liberalnya, adalah mengejutkan bahwa
Youssef mendukung tindakan keras terhadap Media termasuk penangkapan
beberapa karyawan dari berbagai stasiun, meskipun itu dilakukan oleh
militer tanpa proses hukum.
Pernyataan publiknya di Twitter (di mana dia memiliki lebih dari 1,7
juta follower) sejak 3 Juli termasuk yang menyatakan bahwa “Rezim Ikhwan
hendak menutup saluran TV dan menargetkan media dan para politisi”
(perlu dicatat bahwa sebagian besar saluran satelit independen Mesir
didanai oleh kelompok oposisi sekuler dan liberal), “Daripada menulis
banyak tweet, inilah satu hal untuk meringkas semuanya bahwa Ikhwan
adalah bentuk baru Nazi, mengerti? Saya mengatakan itu di acara televisi
itu dan mengatakannya sekarang” dan pada tanggal 5 Juli bahwa ”
kepemimpinan Ikhwan mengirimkan para pemudanya untuk mati di depan Mabes
Angkatan Darat untuk mengorbankan diri terhadap dunia. Darah untuk
publisitas. Murahan. # not_a_coup. ” Setelah terlibat dalam apologism
dan menyalahkan para korban, dia tidak berkomentar selain mengatakan
“Kifaya” (cukup) setelah terjadinya pembunuhan atas lebih dari 50
pemrotes di depan markas Garda Republik yang ditembak mati oleh tentara
pada pagi hari tanggal 7 Juli .
Sementara Youssef sangat vokal terhadap apa yang ia dianggap sebagai
upaya membungkamnya oleh presiden Morsi serta beberapa retorika
inflamasi yang berasal dari kubu pro-Morsi, dia tampaknya tidak memiliki
sikap terhadap tindakan keras baik media independen atau pembunuhan
terhadap para pengunjuk rasa. Kemunafikan liberal yang dikemas oleh
Youssef adalah salah satu fitur yang paling jelas dari peristiwa politik
di Mesir saat ini, baik dari dalam maupun dari luar.
Pertama dan terutama di antara orang-orang munafik liberal adalah
Mohammad el-Baradei, pemenang hadiah Nobel mantan inspektur IAEA. Dalam
sebuah wawancara dengan CNN pada tanggal 4 Juli, dia mengklaim bahwa
pelengseran presiden oleh militer bukanlah kudeta melainkan sama dengan
penarikan kembali-recall (dimana para kandidat ditarik kembali dan
rekan-rekan dekat ditahan tanpa komunikasi oleh militer), mendukung
penutupan media independen sebagai langkah penting untuk masa depan, dan
tidak berkomentar selain “kekerasan melahirkan kekerasan” setelah
pembunuhan terhadap mereka yang memprotes penahanan dari kandidat mereka
yang “di-recall”. Mengingat sebelumnya dia menyatakan bahwa dia
“menekankan kepada seluruh otoritas keamanan di sini bahwa segala
sesuatu harus dilakukan dalam proses hukum,” dan bahwa “Saya akan
menjadi orang pertama yang berteriak keras dan jelas jika melihat
tanda-tanda regresi dalam hal demokrasi,” jawabannya dapat digambarkan
membingungkan.
Partai politiknya, National Salvation Front, mengeluarkan pernyataan
setelah pembantaian itu yang mengutuk “semua tindakan kekerasan,”
termasuk serangan terhadap barak-barak militer dan para perwira militer –
suatu persetujuan atas narasi militer bahwa pembunuhan itu sebenarnya
adalah akibat dari “kelompok teroris” yang mencoba menyerbu gedung
(sebuah pernyataan yang tidak didukung oleh keterangan para saksi,
tetapi diterima pada konperensi pers di era Mubarak dengan gaya yang
menakutkan). Ini setidaknya adalah respon yang agak lebih baik daripada
respon dari mantan kandidat Presiden sayap kiri Hamdeen Sabahi yang
menyatakan bahwa satu-satunya penerima manfaat dari acara ini adalah
mereka yang ingin mendorong negara ini ke dalam perang saudara, dan –
Ikhwanul Muslimin.
Sementara kemunafikan ini telah menjadi semakin jelas saat
peristiwa-peristiwa di Mesir terungkap, langkah mundur menemukan bahwa
gerakan untuk melawan mantan presiden tampaknya didasarkan pada
ketidakjujuran yang sama. Kampanye Tamarrud yang membangun dukungan
rakyat berdasarkan pada petisi yang mengeluhkan tentang memburuknya
kondisi keamanan dan ekonomi, bersama dengan keluhan yang menonjol bahwa
negara itu “mengemis” kepada IMF untuk mendapatkan pinjaman dan terus
“mengikuti jejak” Amerika.
Meskipun ada ruang untuk perdebatan mengenai seberapa besar tanggung
jawab pemerintah Morsi mengingat kurangnya kontrol nyata atas
lembaga-lembaga negara dan mabuk kekuasaan setelah lebih dari enam puluh
tahun kediktatoran, semua ini adalah keluhan yang sah yang merupakan
pembenaran atas ketidakpuasan dan demonstrasi yang meluas. Hal-hal yang
sama terus-menerus diajukan oleh juru bicara kampanye, seorang aktivis
Nasiri muda bernama Mahmoud Badry, yang secara konsisten mengeluhkan
bagaimana negara itu berada dalam “tahanan” IMF, sebuah organisasi yang
hanya ingin Negara sakit, dan menuntut Mesir yang independen- Mantan
Presiden Mesir Abdul Nasser (adalah kiasan untuk mengingat bahwa dia
adalah diktator Mesir pertama yang dengan tegas dan keras berubah
menentang Ikhwanul Muslimin pada awal 1950-an).
Namun, calon Tamarrud untuk Perdana Menteri itu tak lain adalah
el-Baradei, seorang pendukung perusahaan-perusahaan swasta dan orang
yang percaya pada penghematan yang harus diterapkan Mesir untuk membayar
pinjaman dari IMF, posisi yang secara konsisten ia pertahankan. Dia
juga merupakan sosok yang akan mengambil Mesir dari posisinya sebagai
sekutu dekat AS, orang yang menghabiskan waktunya di telepon bersama
dengan Menteri Luar Negeri John Kerry pada hari sebelum kudeta terjadi,
tampaknya untuk meyakinkan tentang pentingnya hal itu. Seorang pria
dengan dukungan jalanan di Mesir, ketika dia disurvei saat pemilihan
presiden, dan secara luas dipandang sebagai favorit media Barat. Apakah
el-Baradei memanipulasi Tamarrud, atau Tamarrud memanipulasi el-Baradei,
atau keduanya memanipulasi publik, adalah hal yang bisa didiskusikan,
namun yang jelas adalah bahwa keluhan dan tuntutan yang mengumpulkan
orang-orang di alun-alun Tahrir tampaknya tidak ada hubungannya dengan
intrik yang berlangsung.
Kemunafikan tidak terbatas pada kaum liberal Mesir, dengan
pernyataan-pernyataan dari Uni Eropa, Inggris dan Amerika Serikat ketika
kudeta secara efektif diterima peristiwa tanpa banyak masalah.
Pemerintahan Obama menolak menggunakan kata “kudeta” karena implikasi
bantuan keuangan yang terlibat adalah kesaksian lebih lanjut atas
kurangnya prinsip-prinsip pada semua sisi. Semua detailnya sejak muncul
di New York Times pada tingkat pengetahuan pemerintah dan dukungan dari
tentara Mesir pada minggu-minggu menuju pelengseran formal Morsi – dan
sementara baik yang pro-maupun yang anti-Morsi bersatu dalam sikap
mereka yang tidak suka Amerika dan ingin melihat Mesir mengambil jalur
independen, kepemimpinan politik seolah-olah mewakili kedua belah pihak
yang jelas mengandalkan perlindungan dari Amerika Serikat, suatu bukti
atas berlanjutnya hegemoni keduanya atas politik negara dan bahwa tidak
ada politik formal partai-partai politik yang bersedia atau mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Yang menarik adalah artikel terbaru oleh Eman Makey yang mengklaim
bahwa peninjauan puluhan dokumen federal pemerintah AS menunjukkan jejak
uang Amerika bagi kelompok-kelompok Mesir yang ditekan untuk
menyingkirkan presiden. Salah satu contoh yang menonjol adalah Ibnu
Khaldun Center di Kairo, salah satu penerima terbesar dana Amerika.
Pendirinya Saaddin Ibrahim baru-baru ini menyatakan bahwa “Kami
diberitahu oleh Amerika bahwa jika kita melihat adanya protes jalanan
besar yang terjadi selama seminggu, mereka akan mempertimbangkan kembali
semua kebijakan AS saat ini terhadap rezim Ikhwanul Muslimin.” Direktur
Pusat Khaldun Ibnu, Dalia Ziada, secara konsisten telah mendukung
militer dan melabeli Ikhwanul Muslimin sebagai teroris publik, dimana
akun twitternya penuh pernyataan liar seperti misalnya anggota Ikhwanul
Muslimin menolak untuk mendonorkan darahnya untuk membantu korban
pembantaian Pengawal Republik, dan hal itu sendiri yang menurutnya
adalah rencana sinis untuk memenangkan dukungan internasional. Dalam
salah satu tweetnya yang paling jelas yang membenarkan tindakan militer
adalah bahwa “Dalam perang melawan teror, AS membunuh dan menyiksa
ratusan orang. # Mesir kini terlibat dalam perang melawan teror yang
sama.” Ibnu Khaldun Center dan asosiasi-asosianya adalah salah satu
lembaga yang didukung Amerika di Mesir yang aktif secara politis, yang
lain adalah para anggota partai el-Baradei dan beberapa orang lainnya.
Hal ini jelas terlihat segera setelah peristiwa dimana militer dan
sisa-sisa lain dari rezim sebelumnya telah menjadi paling diuntungkan
dari peristiwa itu, dimana militer sendiri menjadi sekutu terdekat
Amerika di Mesir. Adly Mansour, presiden saat ini yang dipasang oleh
militer sebelumnya adalah kepala mahkamah konstitusi, dan memimpin
sidang konstitusi tahun 2012 yang membatalkan “isolasi politik” atas
hukum, yang melarang anggota rezim lama untuk ikut pemilu. Jaksa Agung
yang diangkat lagi Jaksa Agung Abdel Meguid Mahmoud yang dipecat oleh
Morsi setelah pembebasan mereka yang dituduh sebagai “unta pertempuran”
dari kasus yang berkaitan ketika Tahrir Square diserbu oleh gerombolan
orang bersenjata selama revolusi pada 25 Januari. Sejak dia diangkat
lagi, dia menawarkan pengunduran dirinya yang menyatakan bahwa dia ingin
“semua keputusan penuntutan publik harus bebas dari keraguan atau
kecurigaan,” tetapi tidak berlaku sebelum dia mengeluarkan lebih dari
200 surat perintah penangkapan dan larangan perjalanan bagi para anggota
Ikhwanul Muslimin.
Seiring dengan para pendukung rezim Mubarak sebelumnya, kepolisian
yang dibenci juga telah mengambil kesempatan untuk membangun kembali
citranya sebagai “pelindung rakyat,” suatu penemuan kembali cerita pada
institusi yang secara meluas dikenal melakukan penyiksaan dan
penganiayaan yang menjadi salah satu utama keluhan yang mengarah kepada
pemberontakan melawan rezim Mubarak pada tahun 2011. Laporan Guardian
menunjukkan bahwa orang-orang Aman al-dawlah (keamanan-negara) yang
berpakaian preman cukup percaya diri untuk muncul kembali di jalanan
kota-kota Mesir untuk pertama kali sejak revolusi tahun 2011.
Saat Mesir tergelincir kembali ke era Mubarak, yang sebelumnya adalah
salah satu sekutu terdekat dari Barat dan dipandang sebagai satu
benteng kuat melawan gerakan-gerakan Islam, unsur-unsur liberal
menghiburnya dari pinggir lapangan. Tidak dapat memenangkan pemilu
terbuka, pemilihan presiden, parlemen atau sebaliknya, mereka sekarang
naik ke pemerintahan dari arah bagian belakang tank yang diteriaki oleh
para demonstran yang berkumpul pada platform mereka sendiri namun tidak
setuju sepenuh hati namun senang untuk berkooptasi dan mengobarkan
kemarahan, didukung oleh bantuan asing.
Berbagai cara untuk bertepuk tangan dan menyetujui aturan tindakan
keras pada saat penentangan mereka, sebagaimana yang diakui Bassem
Youssef secara terus terang dalam sepotong pendapatnya sendiri yang
ditulis sebelumnya pada bulan Juni – kaum liberal dan sekuler Mesir
“semuanya menjadi fasis.” Sementara dia berpendapat (dalam acara
apologisme yang cukup menakjubkan) bahwa hal ini terjadi sebagai reaksi
terhadap Presiden Morsi, peristiwa beberapa hari terakhir menunjukkan
bahwa masalahnya terletak jauh lebih dalam, dan menunjukkan bahwa
beberapa unsur liberal dan unsur sekuler dari masyarakat tampaknya
bersedia untuk kembali ke aliansi bersejarah mereka dengan mantan
diktator.[Reza Pankhurst]
-----------------////------------------
Reza Pankhurst (Twitter: @ rezapankhurst) adalah seorang cendekiawan
politik dan sejarawan, yang mengkhususkan diri pada masalah Timur Tengah
dan gerakan-gerakan Islam. Buku terakhirnya, “The Inevitable Khilafah?”
Adalah sejarah Perjuangan Persatuan Islam Global, dari tahun 1924
hingga sekarang, yang diterbitkan oleh Hurst dan tersedia. Dia adalah
mantan tahanan politik pada rezim Mubarak.
Sumber : http://www.middleeastmonitor.com
Posting Komentar untuk "Mesir: Kemunafikan Kaum Liberal Bukan Masalah Ejekan"