Demokrasi Menjadikan Akal Sebagai Sumber Hukum, Bukan Sang Pembuat Akal Sebagai Sumber Hukum
Demokrasi adalah salah satu konsep politik yang berasal dari jaman
Yunani Kuno, lima abad sebelum masehi. Kira-kira 2500 tahun konsep ini
hidup dan menjadi konsep politik yang mendominasi bentuk pemerintahan di
dunia saat ini.
Konsep ini sering dikaitkan dengan jargon,“Vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan.” [Alcuin of York/Alexander Pope].
Artinya bahwa tidak ada ketentuan Tuhan mengatur rakyat dalam
kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu sendirilah yang harus
diakui sebagai pencerminan “suara Tuhan”.
Walaupun secara fakta kelahiran demokrasi adalah 5 abad sebelum
masehi, namun kemudian ide bathil ini tidak bertahan lama karena
kemudian dalam sejarah, Demokrasi itu tidak bisa bertahan lama setelah
kelahirannya. Ini dibuktikan bahwa setelah negara kota Athena, tidak
ditemukan lagi satu negarapun yang menerapkan sistem ini, kecuali bangsa
Romawi yang meniru konsep ini sejak tahun 510 SM namun berakhir pada 27
SM, Sebagai gantinya, muncullah pemerintahan monarki yang berkolaborasi
dengan Gereja, yang disebut dengan Teokrasi atau yang juga disebut
dengan negara agama.
Konsep Theokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dimana orang yang
berkuasa sebagai raja atau kepala negara/kepala pemerintahan itu
merupakan perpanjangan dari tuhan. Apa yang dititahkan oleh kepala
negara adalah merupakan titah dari tuhan. Para raja dan bangsawan
tersebut menggunakan kalangan gerejawan untuk “mendakwahkah” kepada
masyarakat bahwa mereka (para raja) adalah wakil-wakil tuhan di muka
bumi. Artinya bahwa raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi. Artinya,
kata-kata , keputusan, kebijakan, dan aturan yang ditetapkan oleh Raja
adalah otomatis merupakan kata-kata Tuhan. Karena kata-kata Tuhan , maka
keputusan raja tidak pernah keliru. Muncul-lah slogan yang populer pada
saat itu “King can do no wrong” , Raja tidak pernah keliru. Hal tentu
saja menutup pintu kritik karena raja selalu menganggap dirinya benar.
Ketiadaan kritik inilah yang kemudian membuat raja berpeluang besar
menjadi tirani, karena kebijakan yang dia ambil selalu dianggap benar.
Konsep negara dengan sistem Theokrasi atau negara agama ini kemudian
pada abad pertengahan yakni sekitar abad ke 14 masehi mulai menimbulkan
dampak perlawanan oleh masyarakat.
Pada abad ke 14 mulai berkembang Gerakan Renaissance dan Gerakan
Rasionalisme. Gerakan renaissance (1350-1600) adalah aliran yang
menghidupkan kembali minat pada kesusasteraan dan kebudayaan Yunani
Kuno. Gerakan reformasi, menuntut melepaskan diri dari penguasaan
gereja, baik di bidang spiritual, dogma, maupun di bidang sosial
politik. Gerakan reformasi menuntut pemisahan gereja dan negara.
Sedangkan Gerakan Rasionalisme (1650-1800) di Eropa, mendorong
pentingnya penggunaan rasio atau akal dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta mendesak agar adanya
pembatasan kekuasaan raja dan agama dalam pengaturan kehidupan sosial
politik masyarakat. Gerakan Rasionalisme menekankan pentingnya hak-hak
asasi manusia.
Masyarakat menganggap bahwa para raja atau bangsawan tersebut telah
memperalat para gerejawan untuk kekuasaan tirani mereka. Gerakan
penolakan masyarakat ini juga di dukung oleh para ilmuwan dan para
filosof. Dimana para ilmuwan dan filosof memiliki banyak pertentangan
dengan doktrin gereja. Sebut saja ilmuwan galileo yang mengajarkan
tentang teori heliosentris dan menolak paham geosentris yang saat itu
diterima oleh masyarakat luas, termasuk Gereja. Karena menolak doktrin
gereja katolik tersebut maka ia dibunuh. Dan sejarah mencatat selama
dominasi gereja, telah 300 ribu ilmuwan yang dibunuh, bahkan 32 ribu
ilmuwan dibakar hidup-hidup karena tidak sesuai dengan doktrin gereja.
Atas peristiwa ini, kemudian terbagilah perpecahan menjadi dua kubu.
Kubu pertama membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi
(kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan Tuhan” dan
konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya.
Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan
tahun tidak digugat.
Sebaliknya, kubu kedua mengusulkan teori sekularisme menyatakan bahwa
rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik.
Dari ide sekulerisme ini kemudian mereka menawarkan 3 ide lagi yakni
Liberalisme yang menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya
terserah rakyat sendiri. Kemudian yang kedua yakni ide Kapitalisme yang
menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya
rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi,
dan pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja. Sedangkan yang
ketiga adalah ide Demokrasi menegaskan teori “kedaulatan rakyat” sebagai
lawan dari teori ”kedaulatan Tuhan”. Demokrasi menegaskan Vox Populi
Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Tidak ada ketentuan Tuhan
mengatur rakyat dalam kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu
sendirilah yang harus diakui sebagai pencerminan “suara Tuhan”.
Ide ketiga yakni demokrasi, diambil atau lebih tepatnya dipilih
kembali karena mereka merasa konsep sistem pemerintahan yang pas untuk
ide sekulerisme adalah demokrasi, bukan sistem lain yang juga pernah ada
seperti sistem Monarki, Oligarki atau Tirani. Kemudian pada abad ke 18
dan 19 masehi mereka bersepakat atas ide sekulerisme dengan konsep
sistem pemerintahan (yang) demokratis.
Wakil Rakyat?
“Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” [Abraham Lincoln].
Itu adalah juga slogan lain dari demokrasi. Bahwa rakyatlah
sebenarnya yang menjadi “pejabat” di pemerintahan tersebut. Namun karena
tidak mungkin semua rakyat duduk di dalam parlemen, maka kemudian
dipilihlah orang-orang yang kemudian akan duduk di kursi-kursi parlemen
tersebut sebagai orang-orang yang membawa aspirasi rakyat, walaupun
fakta menunjukkan bahwa mereka yang mengaku wakil rakyat tersebut
sebenarnya bukanlah mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan
kelompok dan golongan, ini terbukti dengan kebijakan-kebijakan yang
dibuat tidaklah berpihak kepada rakyat, melainkan semakin membuat
penghidupan rakyat semakin susah dan terdzalimi.
Akal Sebagai Sumber Hukum
Di dalam ide kufur demokrasi, prinsip dasar yang tidak bisa
dilepaskan adalah kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat
(as-siyadah wa as-sulthan li al-ummah, yang dimana kekuasaan di tangan
rakyat tersebut diberikan oleh rakyat kepada wakil-wakilnya di parlemen
sehingga mereka berdaulat guna membuat hukum-hukum sesuai dengan
keinginan mereka.
Hukum-hukum yang dibuat dalam demokrasi berasal dari hawa akal
mereka, tidak menjadikan sang pembuat akal mereka yakni Allah SWT
sebagai sumber hukum. Mereka melakukan musyawarah atas sebuah hukum,
jika musyawarah tidak tercapai maka diambillah voting untuk mencapai
kesepakatan final.
Di dalam Islam memang ada syura’ (musyawarah) namun tidak semua
persoalan di dalam Islam bisa dimusyawarahkan, semisal hukum seputar
keharaman miras yang sudah syarih (jelas) dalilnya
maka tidak perlu lagi dimusyawarahkan apalagi di voting apakah
diterapkan apakah tidak, karena hukum tersebut jelas sudah final
keharamannya.
Padahal di dalam Islam, hak untuk membuat hukum bukanlah berasal dari
akal manusia yang serba lemah dan terbatas, melainkan hak untuk membuat
hukum menjadi hak semata Allah SWT, Dia yang membuat akal manusia, Dia
yang maha tahu akan kelemahan dan keterbatasan akal manusia dalam
menentukan mana yang maslahat dan mana yang akan membuat mudharat.
Allah swt berfirman yang artinya :
“Menetapkan hukum/peraturan itu hanyalah merupakan hak Allah.” (TQS Al An’am:57)
Begitu pula firmannya:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah” (TQS Al A’raaf:54)
Yang dimaksud dengan Al Amru (perintah) dalam ayat ini meliputi
perintah Allah SWT untuk mengatur alam semesta dan perintah Allah SWT
dalam menetapkan hukum bagi kehidupan manusia. Berarti hanya Allah
sajalah yang bertindah selaku Musyarri’ (Yang menetapkan hukum). Dialah
satu-satunya Dzat yang berhak memerintah. Tidak ada lagi seorangpun di
kalangan makhluq-Nya yang layak menya- mai-Nya dalam penciptaan,
sebagaimana halnya juga tidak ada yang layak menyamainya dalam
memerintah, atau dalam menetapkan hukum.
Allah SWT telah mencela orang-orang yang mengaku dirinya beriman, padahal mereka berhukum kepada ‘thaghut’, yaitu hukum selain hukum Allah SWT. Firman Allah SWT:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut
itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. Dan jika dikatakan kepada mereka ‘Marilah kamu (tunduk)
kepada hukum yang diturunkan Allah dan kepada hukum Rasul.’ Niscaya kamu
melihat orang-orang munafiq akan menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari mendekati kamu.” (TQS An Nisaa’:60).
Berdasarkan ayat ini, tidak dibenarkan berhukum kepada thaghut, yaitu setiap hukum yang bukan berdasarkan hukum Allah SWT. Bagi seorang muslim, tidak ada pilihan lain kecuali menaati dan tunduk pada apa yang diberikan Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagaimana friman-Nya :
“(Dan) tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu keputusan, akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka.” (TQS al Ahzab:36).
Tidak cukup dengan itu saja, malah setiap kecenderungan seorang
muslim hendaknya tunduk pada Islam, tunduk pada hukum syara’. Sabda
Rasulullah SAW:
“Tidak beriman seseorang diantara kalian, sehingga hawa nafsunya
(keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu
hukum syari’at Islam).” (Fathul Baari, jld XIII, hal.289).
Setiap sistem ataupun peraturan buatan manusia, yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW adalah sistem thaghut, yang harus disingkirkan. Selain itu, upaya tadi harus dilanjutkan dengan menempatkan Islam sebagai penggantinya. Seorang muslim tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang akan mengokohkan sistem-sistem thaghut itu. Sebab perbuatan itu –jika dilakukan– berarti telah menjauhkan Islam sebagai hukum Allah SWT yang haq dari penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin hukum dan peraturan produk manusia akan menyamai apa lagi mengungguli, atau bahkan lebih benar dari pada hukum Allah SWT:
“Maka, apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum)
siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah, bagi orang-orang yang
yakin?” (TQS Al Maidah:50).
Oleh karena itu, yang berkuasa di tengah-tengah ummat maupun individu serta yang menangani dan yang mengendalikan aspirasi ummat dan individu itu adalah apa yang berasal dari Allah SWT dan yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ummat dan individu harus tunduk kepada syara’. Maka di dalam Islam Kedaulatan itu adalah milik syara’ (hukum Islam) (Nizhamul Hukmi fil Islam, kar. Taqiyuddin an Nabhani, hal 39).
Kedaulatan Di Dalam Islam
Di dalam Islam Kedaulatan berada di tangan musyari’ yakni Allah swt
(kedaulatan berada di tangan syara’ (as-siyadah li as syar’i), sedangkan
kekuasaan berada di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah) hampir sama
dengan demokrasi namun perbedaannya adalah kalau dalam demokrasi
kekuasaan tersebut diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk membuat
hukum (bukan menjalankan hukum dari Allah SWT), sedangkan di dalam
Islam, kekuasaan tersebut diberikan oleh rakyat kepada penguasa dalam
hal ini adalah Khalifah, bukan untuk membuat hukum/UU namun untuk
menjalankan hukum-hukum Allah SWT yakni hukum syariah Islam yang
bersumber dari al qur’an, as sunnah, ijma’ sahabat serta qiyas syar’i,
serta hasil ijtihad yang berpijak kepada al qur’an dan as sunnah serta
yang ditunjuk oleh keduanya yakni ijma’ sahabat dan qiyas syar’i.
Dan orang yang diberikan kekuasaan untuk menjalankan hukum syariah
tersebut oleh para ‘ulama disebut sebagai khalifah,Imam atau amirul
mukminin, semua penyebutan istilah tersebut bermakna sama yakni pemimpin
bagi kaum mukmin. Mereka menjalankan roda pemerintahan berdasarkan
berpijak kepada aqidah Islam serta syariah Islam. Bukan berpijak kepada
kepentingan kelompok atau golongan.
Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ (
فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ
الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ
وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ
الْمُنْكَر…
…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah
fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga
kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian
hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar…. [Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 21 hal. 61].
Intinya adalah di dalam demokrasi, hukum yang dibuat untuk mengurusi
rakyat adalah bersumber dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas,
akal yang tidak bisa mengetahui apa kebutuhan manusia yang lain,
sedangkan di dalam Islam, sumber hukum yang dijadikan sarana untuk
mengatur persoalan setiap sendi kehidupan manusia adalah berasal dari
dzat yang menciptakan akal manusia itu sendiri, Dialah Allah SWT, yang
tidak hanya menciptakan alam semesta,manusia dan kehidupan, sehingga
selayaknya hanya dzat yang maha tahu saja yang tahu apa yang dibutuhkan
oleh manusia itu sendiri. Dan Allah SWT telah menurunkan syariah Islam
untuk mengatur semua persoalan tersebut.
Firman Allah SWT:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (TQS. An-Nahl [16]: 89). Wallahu a’lam bisshowab. [Adi Victoria]
Posting Komentar untuk "Demokrasi Menjadikan Akal Sebagai Sumber Hukum, Bukan Sang Pembuat Akal Sebagai Sumber Hukum"