Meski Ribuan Twitter Kau Kirim
Apa
yang bisa kita lakukan untuk saudara-saudara kita di Mesir, Suriah,
Myanmar, dsb.? Sebagai rakyat biasa ada beberapa hal yang bisa kita
lakukan. Paling minimal adalah berdoa kepada Allah memohon keselamatan
bagi mereka yang masih hidup, dan memintakan ganjaran syahid bagi mereka
yang sudah berpulang ke pangkuanNya. Bukankah doa seseorang untuk saudaranya yang ghaib adalah mustajabah (akan dikabulkan oleh Allah)?
Kedua, kita bisa mengingatkan kepada kaum muslimin yang lain agar peduli dengan nasib sesama. Menghimbau mereka agar menghilangkan sekat-sekat nasionalisme yang sudah melumpuhkan dan menghapuskan ikatan ukhuwah Islamiyyah. Ini amat penting karena tidak sedikit muslim yang berpikir ‘emang ngaruh buat, elo?’. Iya apa pengaruhnya memikirkan dan peduli pada orang Timur Tengah yang ‘suka menyiksa TKW asal negeri kita’?
Di sinilah kita melihat paham nasionalisme itu telah meruntuhkan ukhuwah Islamiyyah. Padahal Islam sudah lama menghapuskan paham ini karena tidak manusiawi, membeda-bedakan orang berdasarkan keturunan dan suku bangsa padahal status mereka sama di hadapan Allah. Paham ini bertentangan dengan ajaran Islam yang justru mengikat manusia berdasarkan akidah atau kalimat tauhid.
Banyak cara bisa dilakukan untuk menyadarkan saudara-saudara kita yang belum pentingnya persoalan ini. Bisa dengan membuat tulisan di blog, nge-tweet, kirim sms, turun ke jalan untuk melakukan orasi, menyebar spanduk, leaflet, dsb. Malah kalau bisa datanglah ke kedubes negara bersangkutan untuk menyampaikan aspirasi.
Tapi apakah sama tanggung jawab kita sebagai rakyat biasa dengan seorang kepala negara? Pastinya tidak. Seorang kepala negara punya mesin politik dan militer yang tidak dipunyai rakyat biasa. Seorang kepala negara bisa menggerakkan pasukan dan tim medis. Dengan kekuatan politiknya seorang kepala negara bisa melakukan tekanan politik yang memaksa pihak yang bertikai untuk menghentikan konfrontasi. Mereka bisa melakukan dengan pas apa yang diperintahkan Nabi saw.:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim ataupun yang terzalimi!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami dapat menolong orang yang terzalimi, tapi bagaimana kami menolong orang yang berbuat zalim?” Rasulullah saw. menjawab;
تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Engkau mencegahnya dari berbuat kezaliman, itulah pertolongan baginya!”(HR. Bukhari).
Mencegah kezaliman dalam skala besar tidak mungkin bisa dilakukan rakyat biasa, tapi seorang kepala negara bisa. Maka bukan pada tempatnya bila seorang kepala negara muslim hanya melakukan orasi atau mengirim twitter keprihatinan. Karena ia bisa melakukan lebih dari itu.
Lagipula tindakan seperti itu tidak akan menggugurkan kewajiban mereka di hadapan Allah. Ketika seorang muslim bisa mencegah kezaliman dengan fisik , tapi ia malah melakukan himbauan yang tidak menghentikan kezaliman itu, maka ia berdosa. Meski ribuan twitter ia kirim, kewajiban itu tetap belum tergugurkan. Karena ia seharusnya bisa mengirimkan pasukan dan bukan kalimat bernada keprihatinan.
Sayang, semua kepala negara di dunia Islam sudah merasa puas dan senang hanya dengan mengirim kutukan, kecaman, baik secara langsung maupun lewat jejaring sosial. Itu karena terbelenggu rasa mental nasionalisme mereka yang sudah memutuskan jalinan ukhuwah Islamiyyah. Juga untuk memuaskan para majikan mereka, yaitu Barat yang telah menyokong kekuasaan mereka. Karena konflik di Suriah ataupun Mesir memang desain mereka di dunia Islam untuk melanggengkan kepentingan mereka di sana.
Karenanya, logika mana yang bisa membenarkan bahwa twitter setara dengan pengiriman pasukan militer untuk menyelesaikan konflik? Tidak ada! Padahal perintah Allah dalam al-Quran telah jelas:
“(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.”(QS. al-Anfal [8]: 72). [Iwan Januar]
Kedua, kita bisa mengingatkan kepada kaum muslimin yang lain agar peduli dengan nasib sesama. Menghimbau mereka agar menghilangkan sekat-sekat nasionalisme yang sudah melumpuhkan dan menghapuskan ikatan ukhuwah Islamiyyah. Ini amat penting karena tidak sedikit muslim yang berpikir ‘emang ngaruh buat, elo?’. Iya apa pengaruhnya memikirkan dan peduli pada orang Timur Tengah yang ‘suka menyiksa TKW asal negeri kita’?
Di sinilah kita melihat paham nasionalisme itu telah meruntuhkan ukhuwah Islamiyyah. Padahal Islam sudah lama menghapuskan paham ini karena tidak manusiawi, membeda-bedakan orang berdasarkan keturunan dan suku bangsa padahal status mereka sama di hadapan Allah. Paham ini bertentangan dengan ajaran Islam yang justru mengikat manusia berdasarkan akidah atau kalimat tauhid.
Banyak cara bisa dilakukan untuk menyadarkan saudara-saudara kita yang belum pentingnya persoalan ini. Bisa dengan membuat tulisan di blog, nge-tweet, kirim sms, turun ke jalan untuk melakukan orasi, menyebar spanduk, leaflet, dsb. Malah kalau bisa datanglah ke kedubes negara bersangkutan untuk menyampaikan aspirasi.
Tapi apakah sama tanggung jawab kita sebagai rakyat biasa dengan seorang kepala negara? Pastinya tidak. Seorang kepala negara punya mesin politik dan militer yang tidak dipunyai rakyat biasa. Seorang kepala negara bisa menggerakkan pasukan dan tim medis. Dengan kekuatan politiknya seorang kepala negara bisa melakukan tekanan politik yang memaksa pihak yang bertikai untuk menghentikan konfrontasi. Mereka bisa melakukan dengan pas apa yang diperintahkan Nabi saw.:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim ataupun yang terzalimi!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami dapat menolong orang yang terzalimi, tapi bagaimana kami menolong orang yang berbuat zalim?” Rasulullah saw. menjawab;
تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
“Engkau mencegahnya dari berbuat kezaliman, itulah pertolongan baginya!”(HR. Bukhari).
Mencegah kezaliman dalam skala besar tidak mungkin bisa dilakukan rakyat biasa, tapi seorang kepala negara bisa. Maka bukan pada tempatnya bila seorang kepala negara muslim hanya melakukan orasi atau mengirim twitter keprihatinan. Karena ia bisa melakukan lebih dari itu.
Lagipula tindakan seperti itu tidak akan menggugurkan kewajiban mereka di hadapan Allah. Ketika seorang muslim bisa mencegah kezaliman dengan fisik , tapi ia malah melakukan himbauan yang tidak menghentikan kezaliman itu, maka ia berdosa. Meski ribuan twitter ia kirim, kewajiban itu tetap belum tergugurkan. Karena ia seharusnya bisa mengirimkan pasukan dan bukan kalimat bernada keprihatinan.
Sayang, semua kepala negara di dunia Islam sudah merasa puas dan senang hanya dengan mengirim kutukan, kecaman, baik secara langsung maupun lewat jejaring sosial. Itu karena terbelenggu rasa mental nasionalisme mereka yang sudah memutuskan jalinan ukhuwah Islamiyyah. Juga untuk memuaskan para majikan mereka, yaitu Barat yang telah menyokong kekuasaan mereka. Karena konflik di Suriah ataupun Mesir memang desain mereka di dunia Islam untuk melanggengkan kepentingan mereka di sana.
Karenanya, logika mana yang bisa membenarkan bahwa twitter setara dengan pengiriman pasukan militer untuk menyelesaikan konflik? Tidak ada! Padahal perintah Allah dalam al-Quran telah jelas:
“(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.”(QS. al-Anfal [8]: 72). [Iwan Januar]
Posting Komentar untuk "Meski Ribuan Twitter Kau Kirim"