Petaka Mudik Yang Terus Berulang
Mudik jelang lebaran telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia yang berlangsung setiap tahun. Pada musim mudik tahun 2013 ini, Kementerian Perhubungan mencatat total jumlah pemudik tahun 2013 mencapai 30 juta orang. Para pemudik ini dibagi ke dalam dua bagian yakni pengguna kendaraan pribadi dan pengguna kendaraan umum.
Meskipun mudik telah menjadi ritual bertahun-tahun, tradisi mudik masih saja menyisakan masalah, mulai infrastruktur yang tidak siap hingga jatuhnya korban jiwa karena kecelakaan. Tahun 2013 ini Korps Lalu Lintas Polri mencatat Hingga H+2 Idul Fitri 1434 Hijriyah, setidaknya 384 nyawa melayang selama arus mudik Lebaran. Meskipun, angka korban tewas dalam kecelakaan arus mudik menurun 23 persen dibandingkan tahun 2012, angka ini sangat besar bila dibandingkan dengan korban bencana.
Berdasarkan data, korban meninggal selama mudik lebaran pada tahun 2010 ada 632 orang. Lalu pada 2011 terdapat 587 orang dan tahun 2012, korban meninggal makin mengerikan dengan jumlah korban mencapai 908 orang. Bandingkan dengan data korban bencana BNPB yang mencatat korban bencana tahun 2012 tercatat 641 orang meninggal dan 226 orang hilang atau keseluruhan 867 orang. Ini adalah korban bencana selama satu tahun dari 13 jenis bencana yang ada. Sedangkan korban tewas saat mudik Lebaran, yang mencapai 908 orang, terjadi hanya selama 20 hari.
Pembunuhan Massal
Sejatinya penguasa hadir sebagai pengayom dan pelindung rakyat, terutama menjadi pelindung atas keselamatan nyawa rakyatnya. Namun, penguasa negeri ini tidak sungguh-sungguh menjaga nyawa rakyatnya bila menyaksikan banyaknya korban kecelakaan mudik yang hampir berlangsung setiap tahun. Meskipun sudah dipastikan kecelakaan akan meningkat dalam mudik lebaran, pemerintah seolah tidak melakukan tindakan yang nyata untuk menghentikan “pembunuhan massal” ini.
Berkaitan dengan masalah transportasi maka aspek yang terpenting ialah keselamatan. Namun, aspek inilah yang justru terjadi banyak pengabaian. Mudik yang sudah menjadi rutinitas tetap saja menjadi masalah pelik karena infrastruktur dan moda trasportasi yang tidak disiapkan dengan sebaik-baiknya. Angkutan mudik tidak dirancang dan disiapkan secara utuh dan terpadu. Perbaikan infastruktur transportasi dilakukan saat jelang mudik dan fatalnya lagi dijadikan ajang mencari keuntungan sebesar-besarnya oleh pejabat korup.
Meskipun menurut Mabes Polri dari beberapa faktor penyebab kecelakaan di jalan raya, sebagian besar akibat kelalaian manusia, seharusnya pemerintah lebih serius lagi untuk menghentikan “pembunuhan masal” ini. Faktor manusia meskipun dominan tidak bisa dipisahkan dari tekanan ekonomi yang semakin berat. Naiknya biaya transportasi mudik lebaran membuat banyak masyarakat yang ‘terpaksa’ memilih transportasi yang murah meskipun berbahaya seperti sepeda motor.
Hal ini tentu bisa dicegah kalau pemerintah menyediakan transportasi massal yang terjangkau,nyaman dan aman. Sesuatu yang tidak sulit dilakukan pemerintah kalau sedikit mau berkorban untuk membahagiakan rakyatnya di hari lebaran. Sayang, sudah teramat sering kita menggugat buruknya transportasi publik di negeri ini namun seolah negara tak juga peduli dan serius. Anehnya, semua daerah seakan kompak memulai perbaikan jalan ada beberapa minggu menjelang Lebaran. Wajar hasilnya tidak maksimal karena waktu yang sangat mepet dengan pekerjaan yang terkesan asal jadi. Demikian juga uji kir kendaraan, perbaikan atau pembangunan jalan kerap dilakukan justru ketika momen mudik sudah sangat dekat.
Pelajaran Khalifah
Seyogyanya penguasa negeri perlu merenungi pernyataan khalifah Umar bin Khaththab: ”Sekiranya ada seekor keledai jatuh tergelincir di suatu jalan di Iraq, aku khawatir Allah akan meminta pertanggung jawabanku di hari akhir, kenapa aku tidak menyediakan jalan yang rata”. Para penguasa patut pula merenungkan sabda Baginda Rasulullah saw., “Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan akhirnya adalah azab pada Hari Kiamat (HR Ath-Thabrani).
Dengan kesadaran inilah sehingga menjadikan para Khilafah adalah pelayan rakyat terbaik sepanjang sejarahnya. Di masa Khilafah Umayah dan Abbasiyah misalnya, di sepanjang rute para pelancong dari Irak dan negeri-negeri Syamke Hijaz (kawasan Makkah) telah dibangun banyak pondokan gratis yang dilengkapi dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal sehari-hari untuk mempermudah perjalanan bagi mereka. Khilafah Utsmaniyah juga melakukan kewajiban ini. Dalam hal kemudahan alat transportasi untuk rakyat, khususnya para peziarah ke Makkah, Khilafah membangun jalan kereta Istanbul-Madinah yang dikenal dengan nama “Hijaz” pada masa Sultan Abdul Hamid II. Khilafah Usmani pun menawarkan jasa transportasi kepada orang-orang secara gratis (Khilafah.com).
Namun, penerapan sekulerisme di negeri ini telah mengikis ketakwaan dan rasa takut kepada Allah yang menjadi kontrol internal. Ketika kontrol internal itu menipis, jadilah ibarat kendaraan remnya blong. Kapitalisme menjadikan orang berpikir, yang penting untung dengan biaya seminimal mungkin. Penerapan kapitalisme neo liberal menjadikan beban ekonomi bagi masyarakat makin berat. Pengemudi pun dipaksa memperoleh penghasilan sebesar mungkin, apalagi yang bekerja dengan sistem setoran. Akibatnya, saling serobot, saling salip, ngebut bahkan cenderung ugal-ugalan menjadi tabiat sebagian pengemudi.
Kapitalisme pula yang menyebabkan negara tidak punya biaya untuk membangun insfrastruktur transportasi yang memadai, termasuk sarana transportasi massal, karena kekayaan alam justru diserahkan kepada swasta bahkan asing dan negara hanya mengandalkan pajak, yang justru makin menambah beban bagi rakyat.Karena itu sudah saatnya kita segera meninggalkan sekulerisme, kapitalisme liberalisme. Sudah saatnya kita segera kembali merujuk kepada syariah Islam untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Wallahu ‘alam. [Bahrul ulum Ilham (Aktifis Hizbut Tahrir Sulawesi selatan)]
Posting Komentar untuk "Petaka Mudik Yang Terus Berulang"