Khilafah ‘Abbasiyyah Melestarikan Tempat Bai’at Aqabah
Jika ada peristiwa yang mengubah sejarah, maka peristiwa itu adalah
peristiwa Bai’at ‘Aqabah. Karena melalui bai’at ini, Nabi SAW
mendapatkan kekuasaan dari penduduk Yatsrib, dan mengantarkan terjadinya
revolusi Islam. Revolusi ini telah mengantarkan Nabi SAW ke tampuk
kekuasaan, dan menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi yang
berdaulat di muka bumi. Melalui peristiwa ini, Rasulullah SAW telah
membuktikan sabdanya, bahwa dengan Lailaha illa-Llah, seluruh bangsa Arab akan tunduk kepada umat Islam, dan bangsa non-Arab akan membayar jizyah kepada mereka.
Disebut Bai’at ‘Aqabah, karena memang peristiwa penting ini terjadi di Aqabah, jaraknya kira-kira 50 m dari tempat melempar Jumrah ‘Aqabah, di
tiang ‘Aqabah, tanggal 10 Dzulhijjah. Tempat yang digunakan Nabi untuk
mengambil bai’at dari penduduk Yatsrib itu kemudian diabadikan oleh
Khalifah ‘Abbasiyyah. Di tempat itu, dibagun masjid berukuran 7 x 10 m.
Masjid ini sangat mudah dikenali, selain karena tempatnya dekat dengan
tiang ‘Aqabah, juga karena bentuknya yang klasik.
Masjidnya dicat warna krem, tidak beratap, berukuran sekitar 7 X 10
meter, tapi tidak ada jamaah di dalamnya. Bagaimana mungkin ada jemaah,
pagar besi yang mengelilinginya selalu dikunci siang malam. Lagi pula
tak ada tempat berwudhu dan toilet sebagaimana lazimnya masjid. Meski
begitu, pengunjung bisa melihat dalamnya masjid. Sebab, pintu dari sayap
kanan terbuka. Inilah Masjid Baiat, masjid yang dibangun oleh Khilafah
Abbasiah untuk mengabadikan peristiwa bersejarah itu.
Masjid ini sempat terkubur tanah. Namun dalam proses pembangunan
besar-besaran Jamarat, buldozer yang melakukan pengerukan tanah terantuk
batu yang sangat keras. Setelah diteliti, ternyata batu keras tersebut
merupakan masjid. Maka, masjid itu dibiarkan seperti apa adanya. Meski
demikian, masjid ini tidak difungsikan sebagaimana masjid pada umumnya,
hanya sebagai tempat berziarah.
Meski demikian, bentuk masjid tetap dipelihara. Misalnya tempat imam
shalat diberi sajadah. Demikian pula dua saf di belakang imam. Semua
sajadah dibiarkan kotor dan berdebu, karena memang tidak digunakan. Di
tempat imam juga terdapat tempat meletakkan microphone, sehingga terkesan masjid ini aktif digunakan. Di beberapa sudut juga terdapat tempat al-Qur’an.
Karena masjid ini terbuka tanpa atap, maka ruang dalamnya tak ubahnya
pelataran. Tak ada keramik yang bagus apalagi marmer sebagaimana
Masjidil Haram. Tapi tempat ini mempunyai nilai sejarah yang sangat
penting dalam Islam. Karena begitu pentingnya tempat ini bagi umat
Islam, maka di luar musim haji, biasanya masyarakat Arab sering
mengunjungi masjid ini.
Di tempat inilah, penduduk Yatsrib (Madinah) melakukan baiat kepada
Rasulullah untuk taat dan tidak berbuat syirik. Ketika itu, Rasulullah
SAW ditemani pamannya ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib yang belum beriman.
Meski demikian, dia sangat memperhatikan keponakannya dan sangat menjaga
keselamatannya. Bai’at ‘Aqabah terjadi dua kali. Baiat pertama terjadi
tahun 621 M, yaitu perjanjian antara Rasulullah dengan 12 orang dari
Yatsrib yang kemudian mereka memeluk Islam. Baiat Aqabah ini terjadi
pada tahun kedua belas kenabiannya. Baiat ini berisi penyataan mereka
untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun. Mereka akan melaksanakan
apa yang Allah perintahkan. Ketiga, mereka akan meninggalkan larangan
Allah.
Setahun kemudian, tahun 622 M, Rasulullah kembali melakukan bai’at di
Aqabah. Kali ini perjanjian dilakukan Rasulullah terhadap 73 orang pria
dan 2 orang wanita dari Yatsrib. Wanita itu adalah Nusaibah bint Ka’ab
dan Asma’ bint ‘Amr bin ‘Adiy. Bai’at ini terjadi pada tahun ketiga
belas kenabian. Mush’ab bin ‘Umair yang menjadi utusan Nabi di Madinah
ikut bersama penduduk Yatsrib yang sudah terlebih dahulu masuk Islam,
datang ke tempat tersebut.
Isi baiat mereka adalah, bahwa mereka akan mendengar dan taat, baik
dalam perkara yang mereka sukai maupun yang mereka benci. Mereka akan
berinfak, baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Mereka akan beramar
ma’ruf dan nahi munkar. Mereka juga berjanji agar tidak terpengaruh
celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah. Mereka berjanji akan
melindungi Nabi Muhammad sebagaimana mereka melindungi para wanita dan
anak mereka sendiri. Mereka pun berjanji untuk siap mengorbankan
kehormatan mereka, dan berperang demi membela Nabi Muhammad SAW.
Inilah peristiwa bersejarah dan merupakan titik balik kemenangan
Islam dan kaum Muslim, yang banyak dilupakan. Bagaimana tidak, tanggal
10 Dzulhijjah, saat mereka di Mina hanya melempar Jumrah ‘Aqabah, seolah tempat dan peristiwa bersejerah itu pun tidak ada dalam ingatan mereka. Padahal, seharusnya dengan dikhususkannya Jumrah ‘Aqabah tanggal 10 Dzulhjjah itu bisa menggugah pertanyaan dalam benak mereka, ada apa dengan ‘Aqabah? Namun, nyatanya tidak. [HAR] Sumber: Mediaumat edisi 114
Posting Komentar untuk "Khilafah ‘Abbasiyyah Melestarikan Tempat Bai’at Aqabah"