[Jawab Soal] Hukum Vaksinasi (Vaksin) Dalam Islam
Berikut ini soal jawab tentang vaksin (vaksinasi), seputar fakta dan hukum syara'nya yang dijelaskan oleh Amir Hizbut Tahrir Asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil silahkan disimak :
Pertanyaan:
Assalaamu’alaykum,wr,wb
Dari saudara kalian seakidah –dari Kota Bolsevic- saya tujukan
hal-hal berikut ini kepada al-‘Alim al-Jalil ‘Atha bin Khalil Abu
Ar-Rasythah Amir Hizbut Tahrir –semoga Allah senantiasa menjaga dan
menaunginya-:
Saya adalah muslimah Chechnya, saya tinggal di Bolsevik sejak 14
tahun lalu semenjak banyaknya komunitas kaum wanita Chechnya. Pada
periode akhir-akhir ini terjadi banyak fenomena dan muncul beragam
pertanyaan seputar vaksinasi anak dalam Islam yakni vaksinasi untuk
menangkal penyakit campak, polio, infeksi luka, radang, penyakit TBC,
dan beragam jenis vaksin lainnya, dan muncul penentangan keras terhadap vaksinasi dan jenis pengobatan suntikan-suntikan lainnya, dan kelompok
ini menjustifikasi pandangannya dengan adanya beragam komplikasi yang
terjadi yang disebabkan oleh vaksin. Dan itu menyebabkan gangguan yang
kian meningkat.
Maka hal ini merupakan bahaya, tidak boleh menjerumuskan anak-anak
kita yang sehat ke dalam bahaya, dan karena sesungguhnya berobat itu
hukumnya bukan fardhu dan apa yang menghalangi kalian untuk melakukan
tindakan pencegahan (preventif) dan pencegahan bukanlah pengobatan tanpa
ada keraguan.
Dan telah sampai pernyataan: vaksinasi yakni memindahkan miroba ke
dalam tubuh anak dan ini diharamkan, misalnya vaksin-vaksin yang diambil
dari bagian binatang-binatang seperti kera, selesai pendapat mereka.
Dan pertanyaannya: bagaimana fakta vaksin sebenarnya, dan bagaimana
hukum syara’ atas vaksinasi? Dan apakah akan ada vaksinasi dengan
beragam jenisnya dalam daulah khilafah kelak? Seiring dengan adanya
pengetahuan bahwa setengah dari komunitas muslimah di negeri kami tidak memvaksinasi anak-anaknya, dan jumlah mereka kian meningkat, dan hukum
syara’ yang sudah jelas dan dilandasi argumentasi kuat tidak memberikan
peluang untuk menghindarinya, kami meminta perincian dan penjelasan
dengan segenap kemampuan anda untuk menjelaskan jawabannya, dan semoga
Allah membalas kebaikan anda pada kami dan kaum muslimin dengan
sebaik-baiknya balasan.
Wa’alaykumussalaam,wr,wb.
:الجواب
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
:التطعيم هو دواء، والتداوي هو مندوب وليس فرضاً، ودليل ذلك
١-روى البخاري من طريق أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم «مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
وروى مسلم عن جابر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «لِكُلِّ
دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ»، وروى أحمد في مسنده عن عبد الله بن مسعود «مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ
عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ».وهذه الأحاديث فيها إرشاد بأن لكل داء
دواءً يشفيه، ليكون ذلك حاثاً على السعي لحصول التداوي الذي يؤدي إلى شفاء
الداء بإذن الله سبحانه، وهذا إرشاد وليس إيجاباً
Jawaban:
Wa’alaykumussalaam,wr,wb.
Vaksin merupakan obat, dan berobat hukumnya sunnah bukan fardhu, dan dalilnya adalah:
Pertama, telah meriwayatkannya Imam al-Bukhari dari jalur Abu Hurayrah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah Allah turunkan suatu penyakit, melainkan Allah turunkan pula penawarnya.” (HR. Al-Bukhari)
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah dari Nabi SAW bersabda:
“Setiap penyakit itu ada obatnya, jika ditemukan suatu obat yang
tepat atas suatu penyakit maka akan sembuh dengan idzin Allah ‘Azza wa
Jalla.” (HR. Muslim)
Dan diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari ‘Abdullah bin Mas’ud:
“Tidaklah Allah turunkan penyakit, melainkan Allah turunkan pula
penawarnya, baik yang diketahui orang yang telah mengetahuinya, maupun
yang tidak diketahui orang yang tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad)
Hadits-hadits ini mengandung petunjuk bahwa setiap penyakit itu ada
obat yang menjadi penawarnya, hal ini menjadi dorongan untuk
mengupayakan pengobatan yang mengantarkan pada kesembuhan atas suatu
penyakit dengan idzin Allah SWT, dan ini merupakan suatu petunjuk bukan
perintah wajib.
٢- روى أحمد عن أنس قال: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ، خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»، وروى أبو داود عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمُ الطَّيْرُ، فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ، فَجَاءَ الْأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَتَدَاوَى؟ فَقَالَ: «تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ» أي “إلا الموت
Kedua, Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas yang berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit, Allah pun menciptakan obatnya, maka berobatlah.” (HR. Ahmad)
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata: “Saya
mengunjungi Nabi SAW dan para sahabatnya, dan di atas kepala mereka
seakan-akan ada burung, maka aku memberi salam lalu duduk, lalu
datanglah seorang Arab Badui dari arah ini dan arah ini, lalu mereka
berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami mesti berobat?” Rasulullah SAW
menjawab: “Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla tidaklah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula
obatnya, selain satu penyakit ketuaan, yakni kematian.”
ففي الحديث الأول أمر بالتداوي، وفي هذا الحديث إجابةٌ للأعراب بالتداوي، ومخاطبة للعباد بأن يتداووا، فإن الله ما وضع داءً إلاّ وضع له شفاءً. وقد جاءَت المخاطبة في الحديثين بصيغة الأمر، والأمر يفيد مطلق الطلب، ولا يفيد الوجوب إلاّ إذا كان أمراً جازماً، والجزم يحتاج إلى قرينة تدل عليه، ولا تُوجد في الحديثين أية قرينة تدل على الوجوب، إضافة إلى أنه وردت أحاديث تدل على جواز ترك التداوي، ما ينفي عن هذين الحديثين إفادة الوجوب
Maka dalam hadits pertama di atas, terdapat perintah untuk berobat,
karena dalam hadits ini terdapat perintah atas Arab Badui untuk berobat,
dan pernyataan bagi hamba-hamba Allah agar mereka berobat, karena
tidaklah Allah turunkan suatu penyakit melainkan Allah turunkan pula
penawarnya. Dan sungguh jelas pernyataan dalam dua hadits di atas berupa
lafazh perintah, dan suatu perintah mengandung faidah adanya tuntutan,
namun perintah ini tidak berfaidah wajib kecuali jika merupakan perintah
yang tegas, dan jazm (ketegasan) ini membutuhkan indikasi yang
menunjukkan pada hal itu (perintah tegas), dan tidak ditemukan dalam dua
hadits ini suatu petunjuk indikasi yang menunjukkan pada perintah
wajib, dengan adanya keterangan dalam hadits-hadits lainnya yang
menunjukkan bolehnya tidak berobat, yakni yang menafikan keterangan
wajib dari dua hadits ini.
فقد روى مسلم عن عمران بن حصين أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ» ، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»، والرقية والكي من التداوي. وروى البخاري عن ابْنُ عَبَّاسٍ: قَالَ: … هَذِهِ المَرْأَةُ السَّوْدَاءُ، أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…». فهذان الحديثان يدلان على جواز ترك التداوي
Dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushayn bahwa Nabi SAW bersabda:
“Akan masuk surga dari umatku sebanyak 70 ribu orang tanpa hisab.”
Lalu para sahabat berkata: “Siapa mereka wahai Rasulullah SAW?” Rasulullah SAW bersabda:
“Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan pengobatan kay,
tidak melakukan ruqyah, dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.” (HR. Muslim)
Ruqyah dan kay (pengobatan dengan besi panas) termasuk pengobatan,
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas r.a.: ia berkata:
“Wanita berkulit hitam ini, ia pernah menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sambil berkata: “Sesungguhnya aku menderita epilepsi
dan auratku sering tersingkap (ketika sedang kambuh), maka berdoalah
kepada Allah untukku.” Beliau SAW bersabda: “Jika kamu berkenan,
bersabarlah maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan, maka aku akan
berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.” Ia berkata: “Baiklah
aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi; “Namun berdoalah kepada
Allah agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka beliau mendoakan untuknya.”
Maka dua hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.
وكل ذلك يدل على أن الأمر الوارد “فتداووا”، “تداووا” ليس للوجوب، وإذن فالأمر هنا إما للإباحة وإما للندب، ولشدة حث الرسول صلى الله عليه وسلم على التداوي، يكون الأمر بالتداوي الوارد في الأحاديث للندب. وعليه فإن التطعيم حكمه الندب، لأن التطعيم دواء، والتداوي مندوب، إلا أنه إذا ثبت أن نوعاً معيناً من التطعيم ضار كأن تكون مواده فاسدة أو ضارة لسبب ما… فإن التطعيم في هذه الحالة بهذه المواد يكون حراماً وفق قاعدة الضرر من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أخرجه أحمد في مسنده عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ». غير أن هذه حالات نادرة
Dan semua ini menunjukkan bahwa perintah yang disebutkan dalam
ungkapan “maka berobatlah”, “berobatlah” bukan perintah wajib, dengan
demikian perintah di sini bisa jadi mubah atau sunnah, dan dengan adanya
dorongan kuat Rasulullah SAW untuk berobat, maka perintah berobat yang
disebutkan dalam hadits-hadits tersebut merupakan perintah sunnah. Maka
dengan demikian vaksinasi hukumnya sunnah, karena vaksinasi termasuk
pengobatan, dan berobat hukumnya sunnah, kecuali jika telah dipastikan
bahwa jenis tertentu dari vaksin tersebut memang berbahaya misalnya
terdapat bahan-bahan kandungan yang merusak atau berbahaya karena suatu
sebab… Maka vaksin dalam kasus ini dengan bahan-bahan kandungan seperti ini hukumnya menjadi haram berdasarkan kaidah tentang perkara dharar dari hadits Rasulullah SAW yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari Ibn ‘Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.”(HR. Ahmad)
Terlepas dari fakta bahwa kondisi-kondisi (vaksin) ini langka.
Vaksin dalam Daulah Khilafah
وأما في دولة الخلافة فسيكون هناك تطعيم ضد الأمراض التي تقتضي ذلك كالأمراض المعدية ونحوها، ويكون الدواء نقياً من كل شائبة وصافيا، والله سبحانه هو الشافي (وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ). والمعروف شرعاً أن الرعاية الصحية هي من الواجبات على الخليفة من باب رعاية الشئون عملاً بقول الرسول صلى الله عليه وسلم: «الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ» أخرجه البخاري عن عبد الله بن عمر
Dan adapun kebijakan dalam Dawlah Khilafah, maka akan ada vaksinasi
untuk mengatasi penyakit-penyakit yang membutuhkan hal itu, misalnya
penyakit-penyakit yang endemik (wabah) dan yang semisalnya, dan akan
tersedia obat untuk mengatasi penyakit kecacatan dan bersifat bersih,
dan Allah SWT adalah yang Maha Menyembuhkan:
“Dan jika aku sakit, Dialah Allah yang menyembuhkanku”
Dan telah diketahui secara syar’i bahwa pemeliharaan urusan kesehatan
termasuk kewajiban Khalifah dalam sisi pemeliharaan urusan-urusan
rakyatnya mengamalkan pesan Rasulullah SAW:
“Imam itu adalah penggembala dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya (rakyatnya)”(HR. al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar)
وهذا نص عام على مسؤولية الدولة عن الصحة والتطبيب لدخولهما في الرعاية الواجبة على الدولة. وهناك أدلة خاصة على الصحة والتطب
أخرج مسلم من طريق جابر قال: «بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ عَلَيْهِ». وأخرج الحاكم في المستدرك عن زيد بن أسلم عن أبيه قال: «مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ
فالرسول صلى الله عليه وسلم بوصفه حاكماً بعث طبيباً إلى أبيّ، وعمر رضي الله عنه الخليفة الراشد الثاني دعا بطبيب إلى أسلم ليداويه، وهما دليلان على أن الصحة والتطبيب من الحاجات الأساسية للرعية التي يجب على الدولة توفيرها مجاناً لمن يحتاجها من الرعية
Dan ini adalah nash umum atas tanggungjawab negara terhadap kesehatan
dan pengobatan, untuk memasukkan keduanya bagian dari urusan
pemeliharaan yang wajib bagi negara. Dan ada pula dalil-dalil khusus
atas kewajiban pengurusan kesehatan dan pengobatan:
Dikeluarkan oleh Imam Muslim dari jalur Thariq bin Jabir, ia berkata:
“Rasulullah SAW telah mengutus seorang dokter kepada ‘Ubay bin Ka’ab,
kemudian dokter ini memotong pembuluh darahnya kemudian membakarnya
dengan besi panas (pengobatan dengan kay).”
Dan dikeluarkan oleh Imam al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari
Zaid Bin Aslam dari bapaknya, ia berkata: “Saya menderita sakit dengan
rasa sakit yang sangat pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, lalu
‘Umar mengutus seorang dokter kepadaku, dan ia merawatku sehingga aku
menghisap biji-bijian sebagai bagian dari ketatnya aturan makan (diet).”
Maka Rasulullah SAW dengan sifatnya sebagai penguasa, mengutus dokter
kepada ‘Ubay bin Ka’ab, dan ‘Umar bin al-Khaththab r.a. adalah
al-khalifah ar-Raasyid yang kedua pun mengutus dokter kepada Aslam untuk
mengobatinya, dan keduanya adalah dalil bahwa kesehatan dan pengobatan
termasuk kebutuhan primer bagi rakyat, dimana wajib bagi negara untuk
menjaminnya secara cuma-cuma bagi rakyat yang membutuhkannya.
أخوكم عطاء بن خليل أبو الرشتة
15 من محرم 1435
الموافق
١٨ نوفمبر ٢٠١٣م
Saudaramu ‘Atha bin Khalil Abu Ar-Rasythah
Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Hukum Vaksinasi (Vaksin) Dalam Islam"