Amerika Musuh, Bukan Sahabat
Ketika kerusuhan Mei 1998 meletus, ada pengacakan sinyal di
Jakarta sehingga mengganggu komunikasi aparat keamanan. Dugaan kuat,
pengacak sinyal itu ada di Kedubes AS di Jakarta.
Jika Anda sangat mendewakan Amerika Serikat (AS), ada baiknya Anda
membuka halaman per halaman sejarah. Negeri Paman Sam itu ternyata
menorehkan jejak-jejak kejahatan di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia.
Di Nusantara, jejak kejahatan Amerika itu telah terlihat sejak awal
kemerdekaan. Aksi nyata mereka terlihat ketika Belanda ingin masuk lagi
ke Indonesia pascakemerdekaan. Amerika membonceng di belakang Belanda.
Saat itu AS berusaha mematahkan penyebaran komunis di dunia.
Keluarlah Truman Doctrine pada 1947, untuk mengepung komunis dan
kemudian disusul Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali
Eropa dari puing-puing akibat PD II.
“Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera
pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir
AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” (Gouda & Zaalberg:
Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan
Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS diyakini turut
membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18
Desember 1948.
Dalam rangka menjatuhkan pemerintah Soekarno, Amerika membantu
pemberontakan PRRI/ PERMESTA. AS menurunkan kekuatan besar. CIA
menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan,
dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak.
Pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke
memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump
menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat
ke Indonesia. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi
perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
AS memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan
amunisi dan aneka granat. Amerika juga mendrop sejumlah alat perang
berat seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep,
pesawat tempur dan pembom, dan sebagainya. Awalnya Amerika membantah
terlibat, namun sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh
oleh sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI). Pilot pesawat itu Allan Lawrence Pope berhasil ditangkap
hidup-hidup. Ia terbang atas perintah CIA.
Puncaknya ketika Amerika berada di balik pemberontakan G 30 S/PKI.
Banyak dokumen dan literatur membongkar keterlibatan CIA—yang merangkap
sebagai diplomat—di dalam peristiwa Oktober 1965 tersebut. Atas nama
pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama
kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan
kader PKI di Indonesia kepada Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh
bukannya 5.000 orang, Kol Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang
memimpin operasi pembersihan ini, terutama di Jawa Tengah dan Timur,
menyebut angka tiga juta orang yang berhasil dihabisi, termasuk orang
yang tak tahu apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan terbesar setelah era
Hitler.
Buku “Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim Weiner, wartawan The New York Times, mengungkap bagaimana para diplomat AS yang juga perwira CIA berhasil merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.
Tim Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah
bayangan, sebuah kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik,
Sultan yang memerintah di Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat
berpangkat mayor jenderal bernama Soeharto.
Lahirnya era reformasi tak lepas dari keinginan AS setelah Soeharto
tak mau lagi tunduk pada pemerintahan Washington. Berbagai jalan
dilakukan untuk menjatuhkannya termasuk menggunakan LSM. Terungkap ada
dana 26 juta dolar sejak 1995 kepada LSM tersebut dengan kedok mendukung
HAM dan kebebasan berekspresi.
Beberapa jam sebelum Soeharto lengser, Menlu AS ketika itu Madeline
Albright mengisyaratkan supaya Presiden Soeharto mundur agar krisis
terpecahkan. Bersamaan dengan itu, pemerintah AS mengumumkan telah
mengirimkan sebuah kapal induk Belleau Wood yang dilengkapi
dengan helikopter dan pesawat-pesawat jet tempur serta dua kapal
pendukung, lengkap dengan 2000 serdadu marinir ke Teluk Jakarta untuk
melakukan “evakuasi militer” (Kompas, 21/5/1998).
Menurut informasi yang berkembang, ketika kerusuhan Mei 1998 meletus,
ada pengacakan sinyal di Jakarta sehingga mengganggu komunikasi aparat
keamanan. Dugaan kuat, pengacak sinyal itu ada di Kedubes AS di Jakarta.
Dalam temuan Wikileaks terungkap pula betapa besar peran
para diplomat yang ada di Jakarta dalam menentukan kebijakan pemerintah
Amerika terhadap Indonesia. Secara berkala, para diplomat di Jakarta
mengirimkan pengamatannya ke Washington. Semua yang terjadi di Indonesia
menjadi bahan laporan.
Dunia Islam
Kejahatan Amerika itu juga tersebar luas di dunia Islam. Di Irak,
lebih dari 1 juta kaum Muslim menjadi korban serangan Amerika. Dengan
dalih demokrasi, Amerika menebar bom-bom kimia di Irak dan mengembargo
rakyatnya lebih dari 10 tahun.
Senjata AS tercatat sudah membunuh ribuan rakyat Palestina mulai
segala tingkatan, perempuan dan anak-anak. Senjata-senjata itu
dipergunakan oleh Israel, tanpa pernah dicegah sama sekali. Amerika
membiarkan pembantaian warga Palestina oleh tentara Israel secara keji.
Di Afghanistan, ratusan ribu kaum Muslimin tewas di tangan tentara Amerika. Banyak di antara mereka adalah warga yang tak tahu apa-apa.
Embargo Amerika di negeri itu juga menyebabkan sedikitnya 15 ribu anak
Afghanistan meninggal dunia.
Di Somalia, tentara Amerika membunuh ribuan orang sipil ketika AS
menyerbu negara itu. Hal yang sama dilakukan terhadap Sudan di mana
Amerika mengirimkan misil-misilnya yang membunuh ratusan orang.
Itu belum termasuk tindakan AS di Chechnya, Bosnia, Macedonia, Kosovo, Kashmir, dan negeri Muslim lainnya.
Doktrin Arthur-Churchill, Cara Kuasai Indonesia
Pada Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat
doktrin yang dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin
McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu skenario penguasaan kawasan
Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus bagi Indonesia, doktrin ini
membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga kawasan, yakni Kawasan Malesia (Sumatera dan Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan (Jawa dan Bali).
Menurut doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region. Sedangkan
Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan
negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great Melano-Polynesian Region.’ Terakhir
Pulau Jawa dan Bali yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi
intelijen menggantikan peran strategis Singapura.
Doktrin itu menjadi acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai
Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini
masih berlaku dan semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika
yang kian kuat di Indonesia. Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan
menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan Pasifik seperti yang
direncanakan doktrin itu.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 115
Posting Komentar untuk "Amerika Musuh, Bukan Sahabat"