Perjuangan di Mesir Butuh Pada Kepemimpinan Pemikiran

Komite Lima Puluh telah selesai mengamandemen Konstitusi Mesir, dengan selesainya amandemen pasal yang menetapkan pengangkatan dan pemberhentian Menteri Pertahanan melalui  lembaga militer (aljazeera.net, 30/11/2013), di tengah eskalasi berbagai insiden politik dan populeritas. Aljazeera.net mengatakan bahwa “Penahanan para perempuan dan undang-undang tentang demonstrasi, telah memicu berbagai protes di Mesir.” (29/11/20213). Pada edisi (1/12), aljazeera.net mengutip dari sumber keamanan bahwa “telah menangkap 85 pengunjuk rasa di sejumlah daerah di Mesir atas tuduhan pelanggaran undang-undang tentang demonstrasi.” Aljazeera.net juga mengutip dari para keluarga gadis-gadis Alexandria yang dijatuhi hukuman penjara, sebuah pertanyaan yang bernada kecaman, “Bagaimana orang-orang zalim itu akan bisa tidur?!” Sementara itu, Sumaiyah salah seorang dari gadis-gadis tersebut menegaskan bahwa penjara tidak akan melemahkan tekadnya sedikitpun.

*** *** ***
Dikatakan bahwa “Sebesar apapun pasukan tidak akan mampu mengalahkan pemikiran yang saatnya telah tiba.” Sehingga, berdasarkan pemberitaan fakta di atas, harus ada perhatian serius terhadap pemikiran politik dalam menghadapi realitas krisis Mesir, sebagai upaya untuk mengembalikan konflik pada konteks perjuangan yang tepat dan benar.

Berbagai peristiwa tersebut mengungkapkan eskalasi buruknya keamanan dan pengembalian hobi melakukankekerasan dan penyiksaan yang biasa mewarnai perjalanan kepolisian Mesir, serta mengembalikan peran peradilan dalam melayani agenda represif. Sejauh ini, mereka terus mengadili dan mengkriminalkan para gadis yang tidak bersalah, dimana mereka menuntut masa depan yang lebih baik. Di sisi lain, rezim kudeta Mesir masih belum mampu untuk mengadili mantan Presiden Mesir Mubarak, yang pantas mendapatkan hukuman berat dengan kejahatannya yang berlangsung lama dalam menenggelamkan Mesir dalam rawa perbudakan dan penderitaan selama beberapa dekade terakhir.

Di samping itu ada penyesatan politik oleh sejumlah kekuatan politik dan corong-corong media yang berada dalam genggaman militer, yang terus melakukan pembelaan atas kudeta militer, dan bersamanya sibuk pula melakukan upaya “demonisasi Islam politik” yang bertujuan melawan kekuasaan Ikhwanul Muslimin. Semua itu sejalan dengan penyesatan pemikiran, yang semuanya dilakukan oleh kekuatan-kekuatan tersebut untuk memperkuat sekulerisme moderat dalam konstitusi rezim kudeta, yang sebelumnya merupakan sekulerisme murni.

Namun dengan keberanian para pejuang revolusi di antara rakyat Mesir untuk menghadapi penyesatan tersebut, terlihat jelas adanya kebutuhan revolusi Mesir—yang begitu mendesak—terhadap kepemimpinan pemikiran, yang dengannya kekuatan revolusi akan mampu membalik meja di atas kepala para antek yang selama ini mengontrol dan melakukan penyesatan.

Sementara kepemimpinan pemikiran yang dicari bukanlah para tokoh politik atau para pemimpin populer yang mengemban gagasan pembebasan, namun ia merupakan gagasan yang kuat dan berpengaruh, serta mampu meyakinkan pikiran dan menerangi hati. Dan dalam hal ini tidak ada yang lebih tinggi dari akidah Islam, serta pemikiran politiknya yang bersih dengan sifat agresifnya yang tinggi.

Ini kepemimpinan pemikiran Islam yang diperlukan untuk menyelamatkan Mesir, dan dapat diterjemahkan ke dalam proyek politik yang tercermin dalam empat poin, dan merupakan inti adopsi dakwah pemikiran politik bagi proyek umat, yaitu:

1). Beraktivitas untuk mengembalikan kekuasan umat yang dirampas, dari tangan para pemimpin militer yang rela menghinakan dirinya dalam pelukan hegemoni Amerika, ke tangan umat yang akan memilih sendiri penguasanya.

2). Beraktivitas untuk mengembalikan Islam sebagai sistem politik yang sempurna, yang berbeda dari semua sistem pemerintahan yang lainnya. Mengingat, dalam sistem Islam kedaulatan ada di tangan syara’ semata (dan Islam sebagai satu-satunya sumber Konstitusi), serta menolakan semua upaya untuk menjauh dari sistem Islam melalui propaganda-propaganda demokrasi yang busuk, yang telah terbukti kebusukannya dengan telanjang setelah kudeta militer terhadap klaim “presiden yang dipilih secara demokratis”.

3). Beraktivitas untuk menjadikan otoritas melegislasi undang-undang bagi penguasa Muslim, yaitu Khalifah. Sehingga undang-undang merupakan perwujudan dari hukum-hukum syariah yang memiliki landasan dalil, bukan untuk memuluskan kepentingan-kepentingan partai, atau agar sejalan dengan tuntutan internasional. Undang-undang dan hukum-hukum itulah satu-satunya yang menjamin terwujudnya kebangkitan politik dan ekonomi yang diimpikan oleh masyarakat.

4). Melakukan aktivitas politik agar Mesir menjadi bagian dari negara Islam, dan menjadi titik pusat bagi proyek penyatuan umat, bukan untuk melanjutkan seruan yang mengkultuskan perbatasan, dan mengisolasi Mesir dari umat dengan dalih urusan dalam negeri. Sehingga dengan semua itu umat tercabik-cabik menjadi potongan-potongan kecil yang tidak berarti.

Mesir sangat membutuhkan kristalisasi poin-poin ini dalam program perjuangan politik yang akan mengembalikan Mesir sebagai pelopor dan peran yang diimpikannya dalam pembebasan umat. Inilah dakwah yang sebenarnya bagi para pejuang revolusi di Mesir untuk menerjemahkan akidah Islam sebagai akidah politik dalam kerangka perjuangannya, sehingga pengorbanan yang dipersembahkannya sejalan dengan pemikiran yang diembannya.

Namun semua itu tidak akan berjalan sempurna kecuali dengan menyatunya kepemimpinan pemikiran dalam hati nurani dengan kepemimpinan politik di lapangan, dan berbicara lantang bahwa tidak ada suara yang lebih tinggi dari suara Islam. Dengan semua ini, maka setiap tirani militer tidak akan mampu mencegah umat yang memiliki kepemimpinan pemikiran dari mengambil alih kendali semua urusannya, dan membebaskan umat dari dominasi imperilaisme. [Dr. Maher Ja’bari]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 3/12/2013.

Posting Komentar untuk "Perjuangan di Mesir Butuh Pada Kepemimpinan Pemikiran"