Memilih Orang Yang Tepat

Ilustrasi
Belum sirna dari ingatan kaum Muslim peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan, perang Jamal, dan sederet fitnah yang lain, kaum Muslim harus dihadapkan pada konflik besar antara Khalifah Ali bin Abi Thalib ra melawan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Konflik itu telah menyeret keduanya dalam peperangan besar, yang dikenal dengan perang Shiffin. Peperangan pun meledak tidak bisa dihindarkan lagi. Setelah berlangsung cukup lama, akhirnya, pasukan Khalifah Ali bin Thalib ra berhasil mendesak pasukan Muawiyyah, Mu’awiyyah dan pasukannya diambang kehancuran dan kekalahan. Pada saat kritis tersebut, tiba-tiba kubu Mu’awiyyah meminta Khalifah Ali ra untuk melakukan tahkim (menyelesaikan sengketa berdasarkan Kitabullah). Pada awalnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra menolak, akan tetapi setelah didesak oleh pasukannya, akhirnya ia menerima usulan itu.

Sayangnya, penerimaan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra terhadap tahkim justru dianggap pengkhianatan oleh sebagian pasukan Ali bin Abi Thalib ra. Mereka, yang kemudian disebut dengan kelompok Khawarij, memisahkan diri dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra, dan mengkafirkan semua orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim. Jumlah mereka cukup banyak, ada sekitar 6000 orang.

Sang Khalifah pun bersedih hati atas keputusan orang-orang Khawarij, yang dahulu adalah pengikut setia dirinya. Beliau ra berinisiatif menyadarkan mereka agar kembali ke jalan yang lurus. Lantas, siapa yang akan beliau kirim untuk menasehati orang-orang Khawarij itu? Setelah dipertimbangkan dengan masak, Khalifah yang arif dan bijaksana ini mengirim Ibnu ’Abbas ra. Ibnu ’Abbas ra pun berangkat menemui kaum Khawarij dan berdiskusi dengan mereka. Di dalam Kitab al-Mustadrak, Imam Hakim mengetengahkan sebuah riwayat yang menuturkan diskusi antara Ibnu ’Abbas ra dengan kaum Khawarij. Setelah diskusi tersebut, dua ribu orang Khawarij dilaporkan kembali kepada pemahaman yang lurus.

Di dalam Kitab al-Mustadrak dituturkan kisah itu sebagai berikut, ”....Ibnu ’Abbas berkata, ”Lalu, aku temui sekelompok orang (kaum Khawarij) yang kesungguhan mereka belum pernah aku temukan pada kelompok lain....wajah-wajah mereka menyinarkan bekas bangun malam, serta tangan dan pinggang mereka seakan menyatu. Salah seorang di antara mereka berkata, ”Kami akan mengajaknya (maksudnya Ibnu ’Abbas) berbicara dan mari kita perhatikan apa yang akan dikatakannya”. Lalu aku (Ibnu ’Abbas) berkata kepada mereka, ”Jelaskanlah kepadaku alasan kalian menyalahkan ’Ali, putra paman Rasulullah saw dan menantunya, serta kaum Muhajirin dan Anshor?”

Mereka menjawab, ”Ada tiga alasan”. Aku bertanya, ”Apa itu?”. Mereka menjawab, ”Salah satunya karena dia (Ali ra) telah berhukum kepada seorang laki-laki tentang urusan agama Allah, padahal Allah swt berfirman, ”Sesungguhnya yang berhak menetapkan hukum itu adalah Allah” (TQS Yusuf : 40, 67, dan Al An’aam:57). Nah, bagaimana pendapat Anda tentang orang itu dan hukum yang diputuskannya?”

Aku berkata, ”Itu yang pertama..”

Kaum Khawarij berkata, ”Yang kedua, Dia telah memerangi, tetapi tidak memperbolehkan menawan dan merampas harta orang-orang yang diperangi. Padahal, kalau yang diperangi itu kafir, maka mereka halal ditawan dan dibunuh. Dan kalau orang-orang yang diperangi itu Mukmin, tentunya tidak dihalalkan memerangi mereka”.

Aku berkata, ”Itu alasan yang kedua. Lalu, apa alasan yang ketiga?”

Mereka berkata, ”Dia (Ali ra) telah menghapuskan dari dirinya gelar ”Amirul Mukminin”, dengan demikian ia menjadi Amirul Kafirin”.

Aku bertanya lagi, ”Masih ada alasan lain?”.
”Cukup tiga alasan itu”, jawab mereka.

Aku bertanya kepada mereka, ”Apabila aku bacakan kepada kalian ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang menolak pendapat kalian, apakah kalian akan menerimanya?”.

Mereka menjawab, ”Tentu saja”.

”Tentang pendapat kalian bahwa Ali ra berhukum kepada manusia dalam urusan agama Allah, maka aku akan sampaikan kepada kalian suatu hal yang ketentuan hukumnya dikembalikan kepada manusia, yakni tentang kelinci yang berharga empat dirham dan binatang buruan lainnya. Allah swt berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak setara dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antaramu”.[TQS Al Maidah:95]. Lalu, sekarang aku bertanya kepada kalian, mana yang lebih utama; meminta keputusan kepada seseorang tentang kelinci dan binatang-binatang lainnya seperti itu, ataukah keputusan hukum mengenai darah mereka dan persatuan di antara mereka yang berselisih itu? Padahal, jika kalian tahu jika Allah menghendaki, niscaya Dia dapat menetapkan hukumnya dan tidak menyerahkannya kepada manusia”.
 
”Juga tentang seorang perempuan dan suaminya, Allah swt berfirman, ”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan di antara mereka berdua, , maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu berkehendak untuk melakukan perbaikan niscaya Allah swt memberi taufik kepada keduanya”.[TQS An Nisaa’: 35]

”Dengan demikian, Allah swt telah menjadikan ketetapan manusia sebagai sunnah yang dapat dipercaya. Apakah persoalannya telah selesai?”

Mereka menjawab, ”Ya”.

”Selanjutnya, tentang pendapat kalian bahwa dia (Ali ra) telah memerangi tetapi tidak menawan dan merampas harta, apakah kalian akan menawan ibu kalian sendiri, Aisyah ra, lalu menghalalkan apa yang ada padanya sebagaimana bilakalian menawan orang lain? Kalian kalian lakukan itu, kafirlah kalian, sebagian beliau adalah ibu kalian”.

”Dan jika kalian mengatakan bahwa ’Aisyah ra bukan ibu kita, maka kalian pun kafir, sebab Allah swt berfirman, ”Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”.[TQS Al Ahzab:6].

”Dengan demikian, kalian telah berputar-putar pada dua kesalahan; yang manapun kalian pilih, hasilnya adalah kesesatan”. Kaum Khawarij pun saling memandang satu dengan yang lain. Cahaya kebenaran pun mulai merasuk dan memasuki relung hati mereka yang terdalam. Selanjutnya Ibnu ’Abbas ra berkata, ”Nah, selesaikah persoalannya?”. Mereka menjawab, ”Ya”.

”Adapun pendapat kalian bahwa Ali menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin, maka akan aku sebutkan kepada kalian orang yang keputusannya lebih dapat kalian terima sebagai dalil (yakni apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw). Kalian telah mendengar bahwa Rasulullah saw para saat perjanjian Hudaibiyyah, menyuruh menulis surat dengan Suhail bin ’Amr dan Abu Sufyan bin Harb. Saat itu, Rasulullah saw menyuruh Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib ra), ”Wahai Ali, tulislah, ”Ini perjanjian yang telah disetujui oleh Muhammad Rasul Allah”. Menyaksikan itu, orang-orang Musyrik pun berkata, ”Tidak, tidak begitu. Demi Allah, kami tidak mengakui engkau sebagai Rasul Allah. Seandainya kami mengakui engkau sebagai Rasul Allah, tentunya kami tidak akan memerangimu”.

Mendengar protes orang-orang musyrik itu, Rasulullah saw pun berkata, ”Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Tahu bahwa aku adalah utusanMu...Kalau begitu, wahai Ali, tulislah, ”Inilah perjanjian yang telah disetujui oleh Mohammad bin ’Abdullah..” Demi Allah, Rasulullah saw lebih mulia daripada Ali ra, dan beliau tidak keluar dari kenabiannya ketika beliau menghapus penyebutan gelarnya itu”.

Mendengar jawaban yang begitu jelas dan menentramkan hati itu, seketika itu juga dua ribu orang Khawarij bertaubat dan kembali ke pengkuan kebenaran.

Kisah di atas menunjukkan; ketepatan dalam mendelegasikan tugas kepada seseorang, menjadi kunci sukses seorang pemimpin.

Tugas kepemimpinan dan pengaturan urusan rakyat adalah tugas yang sangat berat. Seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas tersebut seorang diri. Ia mutlak membutuhkan orang-orang dekat yang bisa membantu dirinya dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.

Ketepatan dirinya dalam memilih orang-orang dekat akan menentukan kesuksesan dan keberhasilan kepemimpinannya. Untuk itu, seorang pemimpin harus memahami benar orang-orang yang hendak dijadikan kepercayaan dan pembantu dekatnya. Ia harus memahami kelebihan dan kekurangan mereka; mengerti karakter dan sifatnya; serta memahami kecondongan-kecondongannya. Seorang pemimpin juga harus mengerti kapan dan siapa yang akan dipilihnya untuk menyelesaikan problem negara dan masyarakat. Misalnya, untuk problem ekonomi, ia harus mendelegasikan kepada si fulan, bukan ke pada si anu. Sedangkan untuk problem politik harus didelegasikan kepada si anu, bukan si fulan; dan seterusnya. Demikianlah, ketepatan seorang pemimpin dalam mendelegasikan sebuah tugas akan mengantarkan dirinya selalu meraih kesuksesan dan keberhasilan. Sebaliknya, ketidaktepatan memilih orang, tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru akan menambah runyam sebuah masalah. [Syamsuddin Ramadhan]

Posting Komentar untuk "Memilih Orang Yang Tepat"