Penguasa Amanah
Al-Imâm râ‘in wa huwa mas'ûlun ‘an ra‘iyatih (Imam/pemimpin adalah pengurus rakyat; dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya). Demikian sabda Nabi saw. yang mulia. Hadis tersebut dipahami oleh kebanyakan pemimpin Islam (Khalifah) yang salih pada masa Kekhilafahan Islam sebagai beban yang sangat berat, yang sering membuat mereka dilanda banyak kekhawatiran. Itu karena, sebagai pemimpin, mereka paham benar, bahwa mereka harus bertanggung jawab penuh atas 'nasib' ratusan ribu bahkan jutaan rakyatnya; mereka harus menerapkan hukum-hukum Allah secara adil; harus selalu menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam siang-malam; harus selalu mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad tanpa henti. Mereka sadar sepenuhnya, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah pada Hari Kiamat kelak. Itulah yang mendorong mereka untuk senantiasa menjalankan kepemimpinannya dengan penuh amanah.
Sikap amanah inilah yang juga senantiasa ditampilkan Khalifah Abdul Hamid II, khalifah terakhir Khilafah Utsmaniyah.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, kejayaan Islam di benua Eropa antara lain ditandai dengan berkembangnya wilayah kedaulatan Khilafah Utsmaniah. Selama berabad-abad, Khilafah berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur, Balkan, dan Mediterania. Seiring dengan bergulirnya waktu, pengaruh itu berangsur pudar. Menjelang masa-masa kejatuhannya, muncul pemimpin Khilafah Utsmaniah terakhir, yakni Sultan Abdul Hamid II. Dengan segala daya yang ada, ia mencoba untuk terus mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari bahaya yang semakin mengancam eksistensi Khilafah, khususnya dari kekuatan Barat dan Yahudi.
Sultan Abdul Hamid II dilahirkan pada hari Rabu, 21 September 1842. Umat memberikan baiat dan ketaatan kepadanya pada waktu ia baru berumur 34 tahun. Menurut para sejarahwan, Abdul Hamid mewarisi jabatan kepemimpinan sebuah negara besar yang berada dalam keadaan tegang dan genting. Ia juga menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh tahun yang penuh dengan konspirasi, intrik, peperangan, dan intervensi asing yang terus-menerus ke dalam tubuh Khilafah. Sultan Abdul Hamid menyadari bahwa persekongkolan untuk memusnahkan Khilafah Islam Utsmaniah lebih besar daripada yang ia duga. Semua pihak menginginkan sebagian darinya, tidak ketinggalan kaum Yahudi.
Pada tahun 1895, sebuah buku bertajuk Der Judenstaat (Negara Yahudi) karangan Dr. Theodore Hertzl (1869-1904), seorang Zionis dari Hungaria, diterbitkan. Dalam buku itu disebutkan bahwa kaum Yahudi harus memiliki negara sendiri, setelah mereka bertahun-tehun menjadi bangsa terusir. Karena itu, Yahudi lantas mengadakan pertemuan pertama di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 untuk meletakkan asas pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Usai persidangan itu, pergerakan Yahudi semakin aktif. Ini menyebabkan Sultan Abdul Hamid mengeluarkan keputusan tahun 1900 untuk tidak membenarkan orang-orang Yahudi datang ke Palestina dan tinggal lebih dari tiga bulan. Segala cara dilakukan kaum Yahudi untuk membujuk Sultan Abdul Hamid membatalkan keputusannya, termasuk dengan menawarkan sejumlah kompensasi, antara lain berupa pelunasan utang luar negeri Khilafah.
Sultan Abdul Hamid tak sudi menerima tawaran tersebut. Dengan tegas ia mengirimkan jawaban kepada mereka melalui Tahsin Pasha, ''Katakan kepada Yahudi biadab itu, utang negara Utsmaniah bukan sesuatu yang memalukan. Prancis mempunyai utang dan itu tidak menyengsarakannya....Aku tidak akan mencatat sejarah yang memalukan dengan menjual tanah suci ini kepada Yahudi serta mengkhianati tanggung jawab dan kepercayaan rakyat. Yahudi boleh menyimpan uang mereka. Pemerintah Utsmaniah tidak akan berlindung di dalam istana yang dibuat dengan uang musuh-musuh Islam." (Jamal A. Hadi, II/17-21).
Sultan juga berkata kepada para utusan Yahudi itu, sebagaimana terungkap dalam surat beliau kepada salah seorang gurunya, Syaikh Mahmud Abu Syamad, "Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku hidup mengabdi kepada kaum Muslim dan pada Islam. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para sultan dan para khalifah Utsmaniah." (WG. Carr, 1991: 21).
Hal senada juga diungkapkan Sultan Abdul Hamid II manakala orang-orang Yahudi datang kembali ingin membeli tanah suci Palestina. Sultan dengan tegas menjawab, "Katakan kepada Dr. Herzl, Palestina bukanlah harta pribadiku; ia adalah milik semua umat Islam di dunia. Karena itu, aku tidak akan menyerahkan bagian manapun dari wilayah tersebut, walaupun itu harus merenggut nyawaku." (Jafar al-Khalili, 1979: 108).
Sebagai respon atas ketegasan sikap Sultan Abdul Hamid ini, Zionis berkolaborasi dengan Partai Turki Sekular Al-Ittihad wa at-Taraqi untuk menggulingkan Sultan pada tahun 1908. Dengan begitu, Yahudi dapat berimigrasi ke Palestina dengan leluasa. Dengan segala konspirasi dan dukungan Inggris, akhirnya Kekhalifahan Islam dibubarkan oleh Mustafa Kamal Attaturk, seorang Yahudi suku Dunamah, pada tahun 1924, yang sekaligus mengubah Turki menjadi negara sekular dan pro-Barat seperti sekarang ini. Akhirnya pula, Zionis bekerjasama dengan Inggris berhasil mewujudkan cita-cita mereka mendirikan Negara Yahudi di Palestina, yang kemudian dikukuhkan secara resmi pada 1948 oleh PBB yang dikendalikan Amerika.
Adakah pemimpin Islam saat ini yang sudi merebut kembali tanah Palestina, tanah milik bersama umat Islam, dari tangan-tangan kotor Yahudi? Sayangnya tidak ada! Yang ada, para penguasa Muslim, khususnya para penguasa Arab, malah menikmati berdamai dengan Yahudi sang penjarah, mengakui eksistensi Negara Israel di tanah Palestina, sekaligus membiarkan terus kaum Muslim Palestina berjuang sendirian, meskipun untuk itu darah-darah mereka terus tertumpah dibantai Yahudi, entah sampai kapan.
Sikap amanah inilah yang juga senantiasa ditampilkan Khalifah Abdul Hamid II, khalifah terakhir Khilafah Utsmaniyah.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, kejayaan Islam di benua Eropa antara lain ditandai dengan berkembangnya wilayah kedaulatan Khilafah Utsmaniah. Selama berabad-abad, Khilafah berhasil menancapkan pengaruhnya di Eropa Timur, Balkan, dan Mediterania. Seiring dengan bergulirnya waktu, pengaruh itu berangsur pudar. Menjelang masa-masa kejatuhannya, muncul pemimpin Khilafah Utsmaniah terakhir, yakni Sultan Abdul Hamid II. Dengan segala daya yang ada, ia mencoba untuk terus mempertahankan wilayah kekuasaan Islam dari bahaya yang semakin mengancam eksistensi Khilafah, khususnya dari kekuatan Barat dan Yahudi.
Sultan Abdul Hamid II dilahirkan pada hari Rabu, 21 September 1842. Umat memberikan baiat dan ketaatan kepadanya pada waktu ia baru berumur 34 tahun. Menurut para sejarahwan, Abdul Hamid mewarisi jabatan kepemimpinan sebuah negara besar yang berada dalam keadaan tegang dan genting. Ia juga menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh tahun yang penuh dengan konspirasi, intrik, peperangan, dan intervensi asing yang terus-menerus ke dalam tubuh Khilafah. Sultan Abdul Hamid menyadari bahwa persekongkolan untuk memusnahkan Khilafah Islam Utsmaniah lebih besar daripada yang ia duga. Semua pihak menginginkan sebagian darinya, tidak ketinggalan kaum Yahudi.
Pada tahun 1895, sebuah buku bertajuk Der Judenstaat (Negara Yahudi) karangan Dr. Theodore Hertzl (1869-1904), seorang Zionis dari Hungaria, diterbitkan. Dalam buku itu disebutkan bahwa kaum Yahudi harus memiliki negara sendiri, setelah mereka bertahun-tehun menjadi bangsa terusir. Karena itu, Yahudi lantas mengadakan pertemuan pertama di Swiss pada 29-31 Agustus 1897 untuk meletakkan asas pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Usai persidangan itu, pergerakan Yahudi semakin aktif. Ini menyebabkan Sultan Abdul Hamid mengeluarkan keputusan tahun 1900 untuk tidak membenarkan orang-orang Yahudi datang ke Palestina dan tinggal lebih dari tiga bulan. Segala cara dilakukan kaum Yahudi untuk membujuk Sultan Abdul Hamid membatalkan keputusannya, termasuk dengan menawarkan sejumlah kompensasi, antara lain berupa pelunasan utang luar negeri Khilafah.
Sultan Abdul Hamid tak sudi menerima tawaran tersebut. Dengan tegas ia mengirimkan jawaban kepada mereka melalui Tahsin Pasha, ''Katakan kepada Yahudi biadab itu, utang negara Utsmaniah bukan sesuatu yang memalukan. Prancis mempunyai utang dan itu tidak menyengsarakannya....Aku tidak akan mencatat sejarah yang memalukan dengan menjual tanah suci ini kepada Yahudi serta mengkhianati tanggung jawab dan kepercayaan rakyat. Yahudi boleh menyimpan uang mereka. Pemerintah Utsmaniah tidak akan berlindung di dalam istana yang dibuat dengan uang musuh-musuh Islam." (Jamal A. Hadi, II/17-21).
Sultan juga berkata kepada para utusan Yahudi itu, sebagaimana terungkap dalam surat beliau kepada salah seorang gurunya, Syaikh Mahmud Abu Syamad, "Seandainya kalian membayar dengan seluruh isi bumi ini, aku tidak akan menerima tawaran itu. Tiga puluh tahun lebih aku hidup mengabdi kepada kaum Muslim dan pada Islam. Aku tidak akan mencoreng lembaran sejarah Islam yang telah dirintis oleh nenek moyangku, para sultan dan para khalifah Utsmaniah." (WG. Carr, 1991: 21).
Hal senada juga diungkapkan Sultan Abdul Hamid II manakala orang-orang Yahudi datang kembali ingin membeli tanah suci Palestina. Sultan dengan tegas menjawab, "Katakan kepada Dr. Herzl, Palestina bukanlah harta pribadiku; ia adalah milik semua umat Islam di dunia. Karena itu, aku tidak akan menyerahkan bagian manapun dari wilayah tersebut, walaupun itu harus merenggut nyawaku." (Jafar al-Khalili, 1979: 108).
Sebagai respon atas ketegasan sikap Sultan Abdul Hamid ini, Zionis berkolaborasi dengan Partai Turki Sekular Al-Ittihad wa at-Taraqi untuk menggulingkan Sultan pada tahun 1908. Dengan begitu, Yahudi dapat berimigrasi ke Palestina dengan leluasa. Dengan segala konspirasi dan dukungan Inggris, akhirnya Kekhalifahan Islam dibubarkan oleh Mustafa Kamal Attaturk, seorang Yahudi suku Dunamah, pada tahun 1924, yang sekaligus mengubah Turki menjadi negara sekular dan pro-Barat seperti sekarang ini. Akhirnya pula, Zionis bekerjasama dengan Inggris berhasil mewujudkan cita-cita mereka mendirikan Negara Yahudi di Palestina, yang kemudian dikukuhkan secara resmi pada 1948 oleh PBB yang dikendalikan Amerika.
Adakah pemimpin Islam saat ini yang sudi merebut kembali tanah Palestina, tanah milik bersama umat Islam, dari tangan-tangan kotor Yahudi? Sayangnya tidak ada! Yang ada, para penguasa Muslim, khususnya para penguasa Arab, malah menikmati berdamai dengan Yahudi sang penjarah, mengakui eksistensi Negara Israel di tanah Palestina, sekaligus membiarkan terus kaum Muslim Palestina berjuang sendirian, meskipun untuk itu darah-darah mereka terus tertumpah dibantai Yahudi, entah sampai kapan.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, lahirnya kembali para khalifah yang amanah, yang akan merebut kembali setiap jengkal tanah kaum Muslim dari para penjarah, serta menghimpun kembali negeri-negeri Islam yang saat ini terpecah-belah, ke dalam satu wadah, yakni Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah, Amin.[Arief B Iskandar]
Posting Komentar untuk "Penguasa Amanah"