Pemerintahan Pasca Demokrasi
Ilustrasi |
Tanggal 09 April 2014 negara ini akan
mengadakan Pemilu untuk memilih para calon wakil rakyat untuk duduk di
DPR. Selanjutnya akan ada pemilihan presiden dan wakil presiden.
Melalui Pemilu yang demokratis, rakyat
menggunakan hak pilihnya untuk memilih para wakil rakyat yang akan
mewakili suara mereka di pemerintahan. Hal ini selaras dengan konsep
mendasar demokrasi, yakni kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan
rakyat. Jadi, rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan dan kekuasaan
tersebut dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Namun, karena tidak
mungkin semua rakyat membuat aturan di pemerintahan, dipilihlah para
wakil-wakil rakyat melalui Pemilu. Para wakil rakyat terpilih diharapkan
mewakili aspirasi rakyat yang telah memilih mereka.
Dari fakta tersebut, sistem demokrasi
seolah tampak menjadi sistem yang ideal bagi sebuah negara. Namun
ternyata, secara faktual pula, demokrasi sesungguhnya gagal dalam
merealisasikan “doktrin” kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat
tersebut.
Konsep Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena atas prakarsa Cleisthenes pada abad ke-5 sebelum Masehi. Demos berarti rakyat. Cratos/Kratien/Kratia
artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan. Jadi, demokrasi bisa diartikan
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam
demokrasi, kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat, yang kemudian
diberikan kepada wakil-wakil mereka di parlemen. Pada akhirnya,
merekalah yang berdaulat membuat hukum-hukum sesuai dengan keinginan
mereka.
Dari sudut pandang akidah Islam, konsep
demokrasi telah gagal, rusak dan menyesatkan karena demokrasi memberi
manusia/rakyat kedaulatan atau hak mutlak untuk membuat hukum. Padahal
dalam Islam kedaulatan (hak membuat hukum) berada di tangan Al-Musyari’ yakni Allah SWT. Dengan kata lain, dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariah (as-siyadah li asy-syar’i).
Ketetapan ini di dasarkan pada dalil-dalil yang qath‘i. Allah SWT, misalnya, berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Yusuf [12]: 40).
Ini dari segi kedaulatan. Adapun dari segi kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah),
hampir sama dengan demokrasi. Namun, di antara keduanya ada perbedaan.
Dalam demokrasi kekuasaan diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk membuat hukum. Sebaliknya, di dalam Islam, kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada penguasa (khalifah) untuk menjalankan hukum, yakni hukum-hukum Allah SWT atau syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Praktik Demokrasi
Demokrasi gagal dalam praktiknya karena
doktrin demokrasi—bahwa kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan
rakyat—tidak pernah benar-benar terealisasi. Rakyat hanya memiliki
otoritas untuk memilih para wakil mereka supaya bisa duduk di kursi
pemerintahan. Itu pun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan oleh
partai dan kapitalis melalui proses politik yang ada. Rakyat hanya
memiliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan
proses politik. Artinya, yang mereka pilih sebagai wakil mereka adalah
orang-orang yang telah ditunjuk oleh parpol peserta Pemilu, bukan
pilihan murni dari rakyat itu sendiri.
Setelah Pemilu usai, kedaulatan riil
tidak di tangan rakyat, tetapi di tangan pemerintah atau penguasa dan
anggota legislatif, sementara di belakang keduanya adalah para
kapitalis. Pasca Pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada
kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat, tetapi mewakili
diri sendiri dan partainya serta para kapitalis.
Hal ini bisa kita lihat bagaimana ketika
masyarakat tumpah-ruah ke jalan menolak berbagai kebijakan
Pemerintah—yang tentu disetujui para wakil rakyat di DPR—yang
menyengsarakan rakyat seperti kebijakan kenaikan harga BBM, Tarif Dasar
Listrik (TDL) dan LPG; penolakan rakyat atas kebijakan Pemerintah
tentang pengelolaan sumberdaya alam yang banyak dikuasai oleh asing
serta kebijakan-kebijakan lainnya yang merugikan rakyat.
Jika benar wakil rakyat mewakili
aspirasi rakyat, mengapa banyak kebijakan ditolak oleh rakyat? Ini jelas
merupakan kegagalan nyata dari praktik sistem demokrasi karena sering
tidak berpihak kepada rakyat.
Demokrasi juga gagal menghilangkan
praktik oligharki, yakni saat kekuasaan dikuasai oleh kaum elit. Dalam
praktik demokrasi dimana pun, kekuasaan tetap dipegang oleh kaum elit
yaitu para kapitalis, elit partai dan kelas politik. Hal itu sangat
kentara. Penguasa dan politisi di negara demokrasi manapun selalu
berasal dari dinasti kelas berkuasa secara politik dan ekonomi dan
kelompoknya.
Demokrasi: Sistem Bobrok
Sangat berbahaya jika kemudian ada
sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa demokrasi itu gagal hanya dari
segi praktiknya, sedangkan secara konsep sudah baik. Ujung-ujungnya
mereka berpendapat bahwa agar sistem demokrasi bisa berjalan dengan baik
dan sesuai ide dasar konsep demokrasi maka diperlukan orang-orang yang
amanah untuk menjalankan sistem tersebut. Jelas, ini adalah pola pikir
yang keliru dan menyesatkan umat. Pasalnya, umat digiring hanya untuk
memilih orang (wakil rakyat dan penguasa), bukan memilih sistem yang
benar dan baik. Mereka tetap dipaksa memilih sistem demokrasi yang
nyata-nyata bobrok.
Padahal apa yang menimpa umat ini bukan
hanya disebabkan orang-orang yang tidak amanah, namun juga disebabkan
oleh penerapan sistem demokrasi yang bobrok. Demokrasi merupakan buah
dari akidah sekularisme yang lahir pada akhir abad 18 & 19 Masehi,
yakni akidah yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Sekularisme
inilah yang yang menjadi pangkal kerusakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sekularismelah yang melahirkan tatanan ekonomi
yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya
hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap
beragama yang sinkretik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Fakta juga menunjukan, rezim dan
pemimpin di negeri ini sudah berkali-kali silih berganti, namun ternyata
tetap tidak membuat negeri ini maju; makmur, sejahtera, aman tenteram
dan damai. Ini menunjukan bahwa persoalan yang mendera umat bukan hanya
masalah personal saja, melainkan juga masalah sistem. Jika hanya ingin
mencari orang-orang yang amanah untuk duduk di sistem pemerintahan
demokrasi yang rusak, ibarat kata, masuknya orang-orang salih ke dalam
sistem yang salah (baca: sistem kufur), bisa diibaratkan seperti a good driver riding a bad car
(sopir yang baik mengemudikan mobil rusak). Sehebat apapun pengemudi
tersebut, jika mobilnya rusak, bisa menyebabkan dia celaka. Karena itu,
yang harus dilakukan adalah mengganti mobil rusak tersebut dengan mobil
yang baik.
Dengan kata lain, saat ini diperlukan
kesungguhan untuk mewujudkan sistem yang baik, bukan sekadar para
pemimpin yang baik. Sistem ini harus mampu menyelesaikan seluruh masalah
manusia. Sistem yang baik tentu berasal dari Zat Yang Mahabaik. Dialah
Allah SWT.
Solusi Islam
Islam adalah sebuah agama sekaligus
ideologi. Artinya, Islam tidak hanya mengatur urusan spritual saja,
namun juga mengatur urusan kehidupan manusia di dunia ini.
Islam berbeda dengan ideologi
Kapitalisme-sekular yang melahirkan demokrasi modern. Dalam demokrasi,
aturan/hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat bersumber dari akal
manusia yang serba lemah dan terbatas. Sebaliknya, dalam sistem Islam,
sumber hukum untuk mengatur kehidupan manusia berasal dari Zat Yang
menciptakan akal manusia. Dialah Allah SWT, Pencipta alam semesta,
manusia dan kehidupan ini. Sebagai Pencipta, Allah SWT adalah Zat Yang
Mahatahu atas ciptaan-Nya. Hanya Allah Yang Mahatahu tahu apa yang
terbaik untuk manusia. Untuk itulah Allah SWT menurunkan syariah
Islam—yang mengatur segala aspek kehidupan manusia—demi kebaikan mereka.
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Jalan Perubahan Hakiki
Pemilu—dalam demokrasi—bukanlah jalan
perubahan hakiki untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebabnya, dalam
demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu
keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln
(1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas
tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford
B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat
pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Jalan perubahan hakiki demi kemaslahatan
umat hanya ada pada Islam. Ketika Islam menurunkan aturan yang
sempurna, yakni syariah Islam, Islam pun memberikan cara agar aturan
tersebut dapat terlaksana secara sempurna (kaffah). Di situlah pentingnya Khilafah, yakni sistem pemerintahan Islam. Persoalannya adalah bagaimana thariqah atau jalan yang sahih untuk mewujudkan Khilafah itu jika tidak menggunakan jalan demokrasi?
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa sebaik-baik uswah (panutan) adalah Rasulullah Muhammad saw. (QS al-Ahzab [33]: 21). Karena itu kita pun wajib terikat dengan thariqah (metode) dakwah beliau dalam mewujudkan kekuasaan Islam.
Dengan mendalami sirah Rasulullah saw.
di Makkah hingga beliau berhasil mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah,
akan tampak jelas bahwa beliau menjalani dakwahnya dengan beberapa
tahapan yang sangat jelas. Dari sirah Rasulullah saw. inilah diambil
metode dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan pada seluruh tahapan tersebut. Pertama: tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin). Kedua: tahap interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah), yang di dalamnya ada aktivitas pergolakan politik (al-kifah as-siyasi) dan perang pemikiran (shira’ al-fikri). Ketiga: tahapan istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dengan itulah terwujud sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Adi Victoria; Penulis Buku & Aktivis HTI Samarinda]
Posting Komentar untuk "Pemerintahan Pasca Demokrasi"