[Wawancara] H.M. Ismail Yusanto: Perubahan Besar Tak Melalui Jalan Demokrasi
Ismail Yusanto (Jubir HTI) |
Pengantar:
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai ‘tahun
politik’ karena Pemilu lima tahunan bakal digelar pada bulan ini.
Rencananya, Pemilu Legislatif dilaksanakan tanggal 9 April pada tahun
ini. Untuk itu, umat Islam tentu membutuhkan semacam ‘panduan’ bagaimana
seharusnya menyikapi ‘pesta demokrasi’ lima tahunan ini, tentu dari
sperpektif Islam.
Untuk membahas sejumlah persoalan
terkait Pemilu ini, tentu dalam hubungannya dengan nasib umat Islam dan
perubahan di negeri ini, serta bagaimana seharusnya umat bersikap, baik
terhadap Pemilu maupun terhadap demokrasi itu sendiri, al-waie kembali mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), H.M. Ismail Yuanto. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana pandangan HTI tentang partisipasi dalam Pemilu Legislatif mendatang?
Secara normatif, sikap Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) sangat jelas. HTI di Indonesia sebagai bagian dari HT di
seluruh dunia tengah berjuang untuk penerapan syariah Islam secara kaffah
melalui penegakan Khilafah. HTI menginginkan di negeri ini bisa tegak
syariah Islam, baik sebagai bagian dari Kekhilafahan atau mungkin
justru menjadi pusat Kekhilafahan itu sendiri. Karena itu perjuangan ke
arah sana harus terus dilakukan secara sungguh-sungguh.
HT berjuang di Indonesia dengan segenap
corak, rona dan dinamika kehidupan sosial politik ekonomi yang ada,
termasuk menyangkut Pemilu 2014 yang tentu hasilnya akan membawa
implikasi penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya
terhadap dakwah Islam.
Pemilu mendatang adalah bagian dari sistem demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu sebagai bentuk wakâlah
hukumnya mubah, tetapi tetap dengan catatan: untuk apa Pemilu tersebut
diselenggarakan? Bila dalam kerangka dan untuk tegaknya syariah dan
kepemimpinan Islam, hukumnya boleh, dan demikian sebaliknya. Proses
politik yang diselenggarakan untuk mengokohkan kerangka sistem politik
sekular itu tidaklah sesuai dengan Islam, karena Islam mewajibkan
penegakkan sistem Islam, yakni Khilafah yang di dalamnya diterapkan
syariah Islam secara kaffah.
Apakah itu artinya HTI golput?
HTI tidak pernah menyatakan atau
menganjurkan golput. HTI memberikan panduan sebagaimana secara ringkas
dinyatakan di atas. Berdasar panduan tersebut, umat bisa bersikap.
Individu berhak untuk enetapkan sikapnya dalam menghadapi Pemilu nanti.
Sesuai dengan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan rahasia,
orang lain tidak perlu tahu tentang pilihan sikap politik seperti apa
yang (hendak) diambil oleh seseorang.
Dari semua Pilkada, angka golput
selalu tinggi. Banyak pihak khawatir golput akan makin besar pada Pemilu
nanti. Bagaimana menurut Ustadz?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan golput berkembang. Berdasarkan faktor pemicunya, bolehlah kita sebut: Pertama,
‘golput teknis’, artinya orang tidak memilih lebih karena alasan
teknis; misalnya TPS-nya jauh atau mungkin lagi kurang enak badan,
hujan deras dan sebagainya. Kedua, ‘golput psikologis’, yakni
ketika seseorang merasa tidak perlu memilih karena tidak ada satu pun
partai yang menyenangkan dirinya. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan
oleh kader dari berbagai partai membuat orang makin kecewa terhadap
parpol yang ada. Karena itu kemudian ia tidak mau memilih. Ketiga,
‘golput ideologis’, yakni ketika seseorang tidak memilih karena alasan
ideologi. Dalam pandangannya, tidak ada satu pun partai yang bersesuaian
dengan ideologinya. Meski secara teknis bisa saja ia datang ke TPS, ia
memutuskan tetap tidak memilih.
Berapa banyak masing-masing jenis golput
itu, sejauh ini belum ada survey yang bisa menjelaskan fenomena ini.
Namun apapun jenis golputnya, orang tidak bisa menyalahkan mereka yang
memilih sikap ini. Kalau ada yang harus disalahkan tidak lain adalah
parpol dan kader partai yang telah banyak mengecewakan publik karena
kinerjanya yang jauh dari harapan baik karena perilaku yang korup maupun
karena buruknya peraturan perundangan serta kebijakan yang dihasilkan
ketika yang bersangkutan duduk sebagai pejabat publik.
Soal fatwa golput haram?
Pada intinya, dalam fatwa itu dinyatakan: Memilih
pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan
imarah dalam kehidupan bersama, sedangkan imamah dan imarah dalam Islam
menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud
kemaslahatan dalam masyarakat. Memilih pemimpin yang beriman dan
bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif
(tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Memilih pemimpin yang
tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan atau tidak memilih
sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah
haram.
Benar, kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya seorang pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah)
masyarakat agar tercipta kemaslahatan bersama dapat diwujudkan. Oleh
karena itu, benar pula bahwa memilih pemimpin dalam Islam yang memenuhi
syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama (Islam) dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam, agar terwujud kemaslahatan bersama dalam
masyarakat adalah sebuah kewajiban. Namun, kewajiban yang dimaksud di
sini adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah); bila kepemimpinan yang islami telah terwujud maka kewajiban itu bagi yang lainnya telah gugur.
Benar pula, memilih pemimpin yang tidak
memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan adalah haram. Namun, harus
dikatakan, meski secara personal pemimpin tersebut telah memenuhi
syarat-syarat sebagaimana disebutkan, sebagai pemimpin ia wajib memimpin
semata-mata berdasarkan syariah Islam saja, karena kemaslahatan bersama
yang dimaksud hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur
masyarakat dengan syariah Islam. Tanpa syariah Islam, yang terjadi bukan
kemaslahatan, tetapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terjadi
sekarang ini. Perlu diingatkan, bahwa telah ditetapkan melalui fatwa
MUI sebelumnya bahwa sekularisme hukumnya haram. Karena itu memimpin
berdasarkan sekularisme juga harus dinyatakan haram. Jadi, memilih
pemimpin yang akan memimpin dengan sekularisme atau menolak syariah
Islam demi mempertahankan sekularisme juga seharusnya dinyatakan haram.
Adapun ketetapan bahwa tidak memilih
sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah
haram, tidaklah tepat, karena kewajiban memilih pemimpin adalah
kewajiban kolektif (fardhu kifayah), bukan kewajiban perorangan (fardhu ain).
Itu pun dengan catatan, jika pemimpin yang dipilih atau diangkat
tersebut adalah pemimpin yang benar-benar akan menjalankan syariah
Islam.
Tentu, bagi siapa saja yang akan turut
memilih pemimpin, wajib ia memilih pemimpin yang memenuhi kriteria agama
(Islam), dan yang dipastikan akan memimpin berdasarkan syariah Islam
semata. Karena itu anjuran untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya
yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar, tidaklah tepat. Mestinya, bukan dianjurkan, tetapi diwajibkan.
Hukum memilih memilih pemimpin tidak sama dengan memilih wakil rakyat. Hukum memilih pemimpin yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar melalui penerapan syariah Islam secara kaffah adalah fardhu kifayah. Adapun memilih wakil rakyat yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar adalah mubah; hukumnya mengikuti hukum wakalah
(perwakilan) saat seseorang boleh memilih, boleh juga tidak. Karena
itu, bagi umat Islam yang akan memilih wakilnya mestinya juga bukan
sekadar dianjurkan, tetapi diwajibkan untuk memilih yang akan
benar-benar mampu mengemban amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, mestinya harus dinyatakan pula bahwa memilih wakil rakyat yang sekular dan tidak mengemban amar makruf nahi mungkar hukumnya haram.
Ada yang mengatakan, Pemilu dan
demokrasi adalah jalan dan mekanisme politik yang ada saat ini. Jika mau
memperbaiki masyarakat, ya ikut mekanisme itu. Jika tidak
berpartisipasi, itu cerminan sikap tak bertanggung jawab?
Kita memang harus ambil bagian dalam
memperbaiki masyarakat. Kita tidak boleh tinggal diam. Persoalannya, apa
yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya? Kalau kita menelaah
sungguh-sungguh, penyebab utama dari timbulnya kerusakan di seluruh
sendi kehidupan masyarakat adalah sistem dan ideologi
sekularisme-kapitalisme, selain pemimpin yang tidak amanah. Oleh karena
itu, harus ada usaha keras untuk menghentikan sistem dan ideologi itu.
Nah, HT tengah berjuang ke arah sana melalui cara yang berbeda dengan
mekanisme politik yang sudah dikenal selama ini. Jadi, tidak bisalah,
hanya karena memilih jalan berbeda lantas orang mengatakan HT sebagai
tidak bertanggung jawab.
Bagaimana dengan pendapat bahwa
kalau orang Islam tidak mau berpartisipasi dalam Pemilu, nanti kekuasaan
dan kepemimpinan akan dipegang oleh orang sekular, bahkan orang kafir?
Pernyataan tadi adalah pernyataan
hipotetis, yang tidak pernah menemukan faktanya. Faktanya, tetap saja
banyak orang Islam masuk ke sana. Memang akan bagus bila yang masuk ke
sana adalah Muslim yang baik. Namun, masuknya seorang Muslim yang
bertakwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekular ini hanya akan
berguna dalam satu kondisi, yakni ketika mereka menjadikan parlemen
sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyir),
menghentikan sistem sekular dan menggantinya dengan sistem Islam;
mengoreksi penguasa; menjelaskan kebobrokan sistem sekular itu;
sekaligus menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran
Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf nahi mungkar.
Bila itu tidak dilakukan, keberadaan
mereka di parlemen justru bisa menimbulkan bahaya besar, antara lain:
akan digunakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai
sekular sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang tengah
berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyir), bahwa yang di
parlemen juga Muslim, dan faktanya juga terlibat dan rela terhadap
sistem yang ada. Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa
melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu
bentuk tambal-sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti
semuanya. Tambal-sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak;
akan memalingkan perasaan umat sehingga justru malah tidak terdorong
untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.
Kalau tidak lewat Pemilu atau demokrasi, adakah jalan lain untuk memperbaiki masyarakat?
Ada. Melalui jalan dakwah politis, seperti yang tengah dilakukan oleh HTI saat ini.
Bukankah demokrasi dan Pemilu jalan yang paling aman, damai dan memungkinkan?
Banyak orang lupa, perubahan politik
terjadi tidak melulu melalui Pemilu. Bahkan bisa dibilang, semua
perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui jalan Pemilu.
Lihatlah bagaimana pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, begitu juga
berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Semua terjadi bukan
melalui Pemilu. Perubahan besar di Timur Tengah juga terjadi bukan
melalui pemilu. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang memutlakkan
Pemilu sebagai jalan perubahan untuk mencapai cita-cita politik.
Apalagi dalam kenyataannya, dalam
konteks cita-cita politik Islam, Pemilu tidak pernah memberikan
kesempatan kepada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan
politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, begitu juga
di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad
Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji
dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya
mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul
Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa
ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair
dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat
menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya
dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh
FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih
dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani—dua tokoh
utama FIS—dipenjara.
Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi
hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam untuk meraih tujuan
politiknya, termasuk dalam melahirkan peraturan perundangan dan
kebijakan publik, sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat
dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik
Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal
menegakkan Islam yang sebenarnya, seperti FIS yang memang telah
menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam,
atau dikhawatirkan condong pada Islam seperti Erbakan di Turki atau
Mursi di Mesir, negara Barat tak segan akan menghentikan kekuatan
politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu,
bagaimana kita masih saja terus percaya pada jalan ini, dan
menggantungkan masa depan cita-cita politik kita padanya?
Lalu bagaimana jalan islami agar Islam bisa sampai ke tampuk kekuasaan?
Melalui dakwah politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin), interaksi dengan umat (tafa’ul ma’a al-ummah) dan tahap istilam al-hukmi (penyerahterimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan lahir kader dakwah yang ber-syakhsiyyah
Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Dari interaksi dengan umat melalui
berbagai kegiatan seperti yang selama ini dilakukan, ide-ide Islam
berkembang dan menjadi opini publik. Pada saat yang sama, dilakukan
kontak dengan the influenzial people (ashabul fa’aliyat) serta ahlul-quwwah
baik dari kalangan penguasa maupun pemimpin militer sedemikian sehingga
mereka paham, bersetuju dan mendukung bahkan memberikan nushrah atau pertolongan pada dakwah sehingga tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. [HTI/VM.Com]
Posting Komentar untuk "[Wawancara] H.M. Ismail Yusanto: Perubahan Besar Tak Melalui Jalan Demokrasi"