Bank Dunia Tak Setuju RI Larang Ekspor Tambang Mentah
Sejak 12 Januari 2014 pemerintah Indonesia melarang ekspor mineral atau tambang mentah (raw material)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara. Kebijakan ini dianggap bentuk ketidakpastian investasi di
Indonesia.
"Perkembangan kebijakan dari peraturan baru-baru ini, termasuk pelarangan sebagian ekspor mineral, telah meningkatkan ketidakpastian di kalangan investor dalam jangka panjang serta akan menambah beban APBN," ujar Ekonom Utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta Jim Brumby ditemui di acara Indonesia acara Economic Quarterly, di Hotel Intercontinental Midplaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Apalagi sejalan dengan kebijakan pelarangan ekspor tambang dan minerl mentah, pemerintah mengenakan bea keluar secara progresif terhadap mineral olahan yang diekspor. Penerapan bea keluar progresif hingga 3 tahun ke depan bertujuan memaksa perusahaan tambang dan mineral membangun pabrik pemurnian mineral (smelter). Sehingga pada 2017 hanya mineral murni yang diizinkan untuk diekspor.
Bank Dunia memperkirakan, pelarangan tersebut akan berdampak neggatif terhadap perdagangan bersih Indonesia sebesar US$ 12,5 miliar dan kerugian dalam penerimaan fiskal seperti dari royalti, pajak ekspor, dan pajak penghasilan badan dengan jumlah US$ 6,5 miliar dalam 3 tahun, terhitung mulai dari 2014.
"Tapi kami melihat menurunnya defisit neraca berjalan Indonesia pada kuartal keempat tahun 2013 menjadi US$ 4 miliar, menunjukkan keberhasilan kebijakan moneter dan fleksibilitas kurs rupiah," ucapnya.
Akibat dampak negatif kebijakan larangan ekspor tersebut, akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia makin tertekan.
"Dampak negatif dari pelarangan ekspor mineral dan harga komoditas yang melemah, kami perkirakan defisit neraca berjalan akan menyempit pada 2014, hanya hingga 2,9% dari PDB, dibandingkan pada 2013 mencapai 3,3%," tutupnya.[rrd/dnl/detikfinance/visimuslim.com]
"Perkembangan kebijakan dari peraturan baru-baru ini, termasuk pelarangan sebagian ekspor mineral, telah meningkatkan ketidakpastian di kalangan investor dalam jangka panjang serta akan menambah beban APBN," ujar Ekonom Utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta Jim Brumby ditemui di acara Indonesia acara Economic Quarterly, di Hotel Intercontinental Midplaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Apalagi sejalan dengan kebijakan pelarangan ekspor tambang dan minerl mentah, pemerintah mengenakan bea keluar secara progresif terhadap mineral olahan yang diekspor. Penerapan bea keluar progresif hingga 3 tahun ke depan bertujuan memaksa perusahaan tambang dan mineral membangun pabrik pemurnian mineral (smelter). Sehingga pada 2017 hanya mineral murni yang diizinkan untuk diekspor.
Bank Dunia memperkirakan, pelarangan tersebut akan berdampak neggatif terhadap perdagangan bersih Indonesia sebesar US$ 12,5 miliar dan kerugian dalam penerimaan fiskal seperti dari royalti, pajak ekspor, dan pajak penghasilan badan dengan jumlah US$ 6,5 miliar dalam 3 tahun, terhitung mulai dari 2014.
"Tapi kami melihat menurunnya defisit neraca berjalan Indonesia pada kuartal keempat tahun 2013 menjadi US$ 4 miliar, menunjukkan keberhasilan kebijakan moneter dan fleksibilitas kurs rupiah," ucapnya.
Akibat dampak negatif kebijakan larangan ekspor tersebut, akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia makin tertekan.
"Dampak negatif dari pelarangan ekspor mineral dan harga komoditas yang melemah, kami perkirakan defisit neraca berjalan akan menyempit pada 2014, hanya hingga 2,9% dari PDB, dibandingkan pada 2013 mencapai 3,3%," tutupnya.[rrd/dnl/detikfinance/visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Bank Dunia Tak Setuju RI Larang Ekspor Tambang Mentah"