Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukuman Pembakar Hutan

Suatu sore yang berbalutkan asap, saya coba berjalan dengan mulut berbungkus masker menelusuri gang-gang kecil di belakang rumah.

Ibu-ibu dan seorang bapak separoh baya sedang berkumpul di depan rumah mereka. Beberapa orang anak kecil berlari ke sana kemari tanpa menghiraukan bahaya yang sedang mengancam masa depannya, masa di mana mereka akan merasakan akibat terhirup asap ulah orang-orang yang ingin enak sendiri membakar lahan untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain.

“Assalamu’alaikum,” saya menyapa dan mendoakan mereka. “’Alaikum salam, ke mana Pak?” Mereka membalas sambil menanyakan saya hendak ke mana. “Jalan-jalan saja,” jawab saya.

“Asap tebal kali Pak.” Kata mereka lagi. “Ya,” jawab saya pendek. Kalimat terakhir yang mereka ucapkan membuat saya berhenti dan langsung bergabung ngobrol bersama.   

Asap di sore itu memang boleh dikatakan pekat. Walau memakai masker, tenggorokan dan dada terasa agak sesak, sehingga saya benar-benar berhenti berjalan, dan memilih untuk berbincang-bincang bersama orang-orang itu.

Salah seorang dari mereka berucap, “Bagaimana ini Pak, tahun berganti tahun, sudah 17 tahun lamanya, tiap tahun dan bahkan ada yang dua kali se tahun asap selalu datang dan datang lagi, asap selalu mengancam dan mengancam lagi. Anak yang dulu kecil, kini sudah beranjak remaja, menghirup asap masuk ke dalam paru-parunya.

Akankah anak yang kini baru lahir juga akan mengkonsumsi asap di hidupnya untuk sekian tahun ke depan pula Pak? Mungkinkah lima sampai sepuluh tahun ke depan, negeri ini diisi dan diurus oleh generasi yang nafasnya sesak, yang paru-parunya bengkak?“

Termenung saya mendengar ucapan yang begitu polos, tapi amat mengena di hati dan pikiran. Terenyuh saya melihat wajah-wajah prihatin sebagai pancaran hati yang menjerit karena tidak punya daya dan tidak tahu mau mengadu ke mana. Mereka cemas akan nasib anak-anaknya lima atau sepuluh tahun ke depan.

Mereka gemas melihat para penguasa yang kelihatannya “kehabisan akal” untuk menhentikan bencana yang bak “neraka” dunia ini.

Habis uang membeli garam membuat hujan. Habis uang menyewa heli dan membayar petugas penyiram hutan. Api tetap membara, asap terus mengudara, masyarakat semakin sengsara. Bukan hanya fisik yang luka, tetapi terlebih lagi perasaan dan jiwa.

Begitu kira-kira perasaan yang tersimpan dalam jiwa mereka. Walau tidak keluar berbentuk kata, tetapi memancar di wajah kecewa yang hampir-hampir putus asa.

Sebagai bagian dari komunitas “penghisap asap,” saya juga merasakan apa yang dirasakan oleh ibu-ibu dan bapak itu. Saya juga terbawa arus kepedihan seperti mereka.

Apalagi ketika salah seorang dari ibu-ibu itu, dengan lugunya berucap, ”apakah para pejabat kita bertul-betul serius menangani masalah api dan asap ini Pak? Jangan-jangan angguk-angguk geleng-geleng, aja Pak ?

Dalam angguk menggeleng juga, dalam geleng mengangguk juga Pak ya?” kata mereka. Kalimat itu disambung oleh si bapak yang dari tadi hanya diam.

Dia berkata, “jangan-jangan ini menjadi ”mainan” orang-orang tertentu yang dapat menangguk di air keruh. Ada alasan klasik, hutan terbakar karena gesekan dahan dan ranting kayu kering, lalu mengeluarkan api.

Ada juga yang membuang puntung rokok yang masih hidup, lalu menjalar ke daun-daun di sekitarnya. Ada lagi alasan, sulit memadamkan api, karena alat-alat tidak bisa masuk ke dalam hutan yang terbakar.

Kenapa tidak dibuat saja alat untuk itu? Kenapa ketika hendak membuka lahan perkebunan dan atau ketika mengambil kayu balak alat-alat itu bisa masuk berapa pun jauhnya ke dalam hutan.

Panser buatan Jerman saja bisa dimodifikasi oleh orang Indonesia untuk menempuh segala macam medan. Kenapa untuk yang sangat diperlukan oleh rakyat ini tidak terpikir untuk itu?

Helikopter pun ternyata tidak bisa berbuat banyak karena tebalnya asap. Ibarat perang, ini perang darat, bukan perang udara. Gimana itu Pak? “

Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Tidak berani memberi jawaban, karena di samping tidak punya keahlian di bidang itu, saya juga tidak tahu apa yang ada dalam hati orang-orang yang disebut oleh ibu dan bapak itu.

Saya tidak dalam kapasitas mewakili mereka untuk menjawab. Pikiran saya melayang-layang entah ke mana, kadang-kadang ke wajah para pejabat, kadang-kadang ke wajah para pembakar, kadang-kadang ke tengah hutan yang terbakar, kadang-kadang ke wajah-wajah orang yang menderita sakit di rumah atau di rumah sakit, dan kadang-kadang kepada Rasulullah yang cara beliau memimpin negeri tidak diikuti, tetapi hanya dinyanyi-nyanyikan dalam lantunan zikir bersama atau dalam irama nasyid yang mendayu-dayu sebagai hiburan pelepas lelah pengusir resah.

Hati saya juga seperti tersayat. Sudah 27.000 orang banyaknya yang terinfenksi penyakit akibat asap, dan sudah hampir delapan ribu hektare hutan dan lahan yang terbakar, termasuk kebun sawit yang sedang berbuah.

Ketegasan sikap Gubernur Riau membentuk tim dan segera terjun ke lapangan sangat dihargai. Hasil nyata sudah dipetik dengan ditemukannya data lapangan tentang perusahaan-perusahaan dan orang-orangnya yang membuat ulah menimbulkan musibah, dan kini sedang ”mengejar” mereka yang melarikan diri menghindar dari tanggung jawab.

Tetapi, lagi-lagi masyarakat bertanya-tanya, akankah orang itu benar-benar akan diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman seperti dalam ketentuan hukum itu sendiri, atau habis asap habis pulalah perkara, lalu buat asap lagi di bulan atau di tahun depan agar ada lagi dan ada lagi?

Pertanyaan seperti itulah yang diajukan oleh ibu-ibu dan bapak di gang tersebut, dan itu pula yang kini menggejala di hampir semua masyarakat bawah.

Kepercayaan terhadap keseriusan yang berwenang telah tergerus sekian lama, sehingga kini berubah menjadi kecurigaan. Keringat terus mengucur, uang terus menghambur, tetapi masalah yang sama tetap saja muncul, muncul dan muncul lagi.

Ketika sudah sampai ke titik pemikiran seperti ini, saya menjadi sangat takut akan peringatan Allah dalam kitab suci-Nya, “mereka menipu daya Allah dan orang-orang beriman, tetapi ingatlah bahwa tidak ada yang mereka tipu melainkan diri mereka sendiri.”

Banyak yang menjadi penipu, tetapi  tidak sadar bahwa yang mereka tipu adalah dirinya sendiri. Sekali dia menipu, sekali pula tingkat kejatuhannya bertambah tinggi, dan sekali itu juga lubang tempat jatuhnya bertambah dalam. Begitu seterusnya, kerak neraka adalah tempat yang disediakan Allah untuknya.

Ketika ingin pamit dari arena obrolan sore seperti di atas, si bapak yang tidak lain adalah seorang pensiunan penegak hukum itu bertanya, “hukuman apakah yang layak dan setimpal diberikan kepada para pembakar hutan yang benar-benar telah merusak bumi dan menyengsarakan orang banyak ini Pak?

“Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Allah dalam Surat al-Maidah ayat 33 yang artinya, “sesungguhnya balasan untuk orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya berselang-seling, atau dibuang dari negeri, sebagai kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan diazab dengan azab yang amat besar.”

Ketika mendengar jawaban itu, si bapak berkata lagi, “itu kan hukum Allah Pak.” Saya jawab, “ya, karena yang mereka rusak adalah bumi Allah, dan yang mereka bunuh adalah makhluk dan ‘khalifah-khlifah’ Allah, maka hukuman yang dilayak diterimanya adalah juga hukuman Allah.”

Persoalannya adalah, beranikah para pemimpin yang diamanahi mengurus bumi dan negeri ini menegakkan hukum Allah itu? Kalau tidak, ya kembali kepada apa yang diucapkan oleh masyarakat kecil di atas, angguk-angguk geleng-geleng, dalam angguk ada geleng, dalam geleng ada angguk. (Sumber) [Alaiddin Koto, Guru besar di Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska] 

Posting Komentar untuk "Hukuman Pembakar Hutan"

close