[Jawab Soal] Wajibkah Mengangkat Pemimpin Meskipun Menerapkan Hukum Kufur dalam Sistem Demokrasi?
SOAL:
Apakah hukum wajibnya “nashb al-imam” dalam kitab-kitab Muktabar bisa diberlakukan dalam konteks pemimpin sekarang?
JAWAB:
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’, mengenai pentingnya
negara, dan keberadaan negara untuk menerapkan, menjaga dan mengemban
Islam. Bahkan, Hujjatu al-Islâm, Imam al-Ghazâli (w. 555 H), menyatakan:
الدين والسلطان توأمان.. الدين أس والسلطان حارس، فما أس له مهدوم، وما لا حارس له فضائع.
“Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah
pondasi, dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan
runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga, pasti akan hilang.”[1]
Para ulama’ ushul telah memasukkan negara (daulah), sebagai bagian dari kemaslahatan vital (mashlahah dharûriyyah), yang ketiadaannya akan menyebabkan terjadinya kerusakan dalam kehidupan umat manusia.[2] Negara itu sendiri didefinisikan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddn an-Nabhani sebagai:
كيان تنفيذي لمجموعة المفاهيم، والمقاييس والقناعات التي تقبلتها مجموعة من الناس
“Entitas pelaksana untuk melaksanakan kumpulan pemahaman, standarisasi, keyakinan yang diterima oleh sekumpulan umat manusia.” [3]
Karena itu, adanya negara untuk mengurus urusan merupakan masalah
vital dalam kehidupan umat manusia. Karenanya, masalah ini dianggap
sebagai masalah yang sudah dimaklumi urgensinya dalam Islam, atau yang
biasa disebut Ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah.
Di mana letak urgensinya? Dalam pandangan Imam al-Ghazâli, negara itu berfungsi sebagai penjaga agama (hâris).
Meski, sebenarnya negara bukan hanya berfungsi sebagai penjaga, tetapi
lebih dari itu. Karena negara juga berfungsi untuk menerapkan hukum
syariah, menjaga dan mengembannya kepada umat lain. Karena itu, negara
merupakan metode baku dalam Islam untuk menerapkan, menjaga dan
mengemban hukum syariah.[4]
Ini tentang esensi negara, fungsi dan kedudukannya dalam Islam,
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Islam, bahkan menjadi
satu-satunya metode baku dalam menerapkan, menjaga dan mengemban Islam.
Inilah Khilafah Islam. Karena itu, hukum menegakkan Khilafah, ketika
tidak ada, wajib bagi umat Islam. Sebab, tanpa Khilafah ini mustahil
Islam bisa diterapkan, dijaga dan diemban ke seluruh dunia. Kaidah
syara’ menyatakan:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Suatu kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib.”
Khilafah, atau Negara Islam, esensinya adalah kekuasaan yang
melakukan pengurusan kemaslahatan rakyat, dan mensupervisi
pelaksanaannya dengan Islam. Karena kekuasaan dalam Islam itu bersifat
tunggal, bukan kolektif, maka Khilafah atau Negara Islam itu esensinya
adalah Khalifah. Karena itu, pembahasan para ulama’ tentang wajibnya
mengangkat Khalifah (nashb al-imâm), sesungguhnya bukan hanya
membahas tentang wajibnya mengangkat individu Khalifah, tetapi sekaligus
wajibnya mendirikan Khilafah.
Imam al-Farra’ (w. 458 H) menyatakan, “Mengangkat imam hukumnya
wajib. Ahmad ra. berkata dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan
al-Humashi, ‘Fitnah, jika tidak ada imam yang mengurusi urusan umat
manusia.’” [5] Al-Imidi (w. 631 H) menyatakan, “Mazhab
Ahl al-Haq di kalangan kaum Muslim menyatakan, bahwa mengangkat Imam
(Khalifah) dan para pengikutnya hukumnya fardhu bagi kaum Muslim.” [6] Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H) menyatakan, “Semua
Ahlissunnah sepakat tentang wajibnya imamah. Umat wajib tunduk kepada
imam yang adil dan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka,
serta mengurus mereka dengan hukum-hukum syariah.”[7] Al-Baghdadi (w. 429 H) menyatakan, “Sesungguhnya adanya imamah hukumnya fardhu bagi umat dalam rangka mengangkat imam.” [8]
Kewajiban tersebut ditarik dari sejumlah dalil, di antaranya firman Allah SWT:
﴿ياَ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ، وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ، وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan penguasa di antara kalian.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 59)
Perintah untuk mentaati penguasa yang menerapkan hukum Allah di
antara kalian juga merupakan perintah untuk mengangkatnya, jika penguasa
tersebut tidak ada. Sebab, Allah SWT tidak akan mungkin memerintahkan
sesuatu yang tidak ada. Allah SWT juga tidak akan memerintahkan wajibnya
mentaati sesuatu yang adanya tidak wajib. Ini menjadi bukti, bahwa
adanya uli al-amr (penguasa) yang menerapkan hukum Allah ini adalah wajib.
Karena itu, Syaikh Wahhab Khallaf menyatakan, “Maka wajib
menjadikan urusan kepemimpinan ini sebagai bagian dari agama dan
taqarrub yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.” [9] Bahkan, beliau menegaskan, “Mengurusi
urusan umat manusia ini merupakan kewajiban agama yang paling agung.
Bahkan, agama ini tidak akan tegak, kecuali dengannya.” [10]
Karena itu, semua konteks pembahasan para ulama’, baik ushul, fikih
maupun tafsir, dalam kaitannya tentang wajibnya mengangkat imam, atau
memilih pemimpin ini adalah dalam rangka menerapkan, menjaga dan
mengemban Islam. Bukan asal pemimpin, apalagi pemimpin yang dipilih
untuk menerapkan hukum Kufur. Karena, selain nas-nas yang memerintahkan
ketaatan, juga ada nas-nas yang melarang ketaatan terhadap orang
tertentu, dengan sifat dan perbuatan tertentu.
Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu mentaati orang-orang Kafir dan orang-orang Munafik itu.” (Q.s. al-Ahzab [33]: 48)
“Janganlah kamu mentaati orang-orang yang berdosa dan orang-orang Kafir di antara mereka.” (Q.s. al-Insan []: 24)
Ayat-ayat di atas melarang kita untuk mentaati orang Kafir, orang
Munafik dan orang-orang yang berdosa. Selain itu, Nabi saw. juga
bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan kemaksiatan kepada sang pencipta.” (H.r. Ahmad)
Dengan demikian, kewajiban mentaati pemimpin di antara kaum Muslim
ini dibatasi pada pemimpin yang menerapkan hukum Islam, bukan pemimpin
yang menerapkan hukum Kufur. Jika pemimpin seperti ini tidak ada, maka
hukum mengadakannya menjadi wajib. Karena itu, dalil terkait dengan
kewajiban mengangkat atau mengadakan pemimpin seperti ini tidak bisa
diberlakukan secara umum, termasuk untuk memilih atau mengangkat
pemimpin yang tidak menerapkan hukum Islam.
Menggunakan dalil ketaatan kepada pemimpin, khususnya Q.s. an-Nisa’
[04]: 59, untuk mentaati pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan Rasul
juga tidak tepat. Apalagi, untuk menarik hukum wajibnya mengangkat
pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tentu lebih tidak
relevan lagi, baik dari aspek manthûq, mafhûm maupun syubhat ad-dalîl. Bahkan, penggunaan nas-nas al-Qur’an maupun as-Sunah untuk menyatakan pandangan seperti itu merupakan bentuk iftirâ’
(kebohongan besar) terhadap Allah, serta penyesatan opini yang besar
sekali dosanya di sisi Allah SWT. [Ust Hafidz Abdurrahman, Lajnah
Tsaqofiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia]
[1] Hujjatu al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 255-256.
[2] Lihat, al-Hafidh as-Syathibi, al-Muwafaqat fi ‘Ulum as-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Juz II, hal. 12; Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1990, hal. 44-45.
[3] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Juz I, hal. 6.
[4] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Islam, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, hal. .
[5] Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. 1983, hal. 19.
[6] Saifuddin al-Amidi, Ghayat al-Maram, hal. 364.
[7] Al-Hafidh Ibn Hazm al-Andalusi, al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal, Juz IV, hal. 87.
[8] Al-Qahir al-Baghdadi, al-Farqu Baina al-Firaq, hal. 210.
[9] ‘Abdul Wahhad Khallaf, as-Siyasah as-Syar’iyyah, hal. 162.
[10] Ibid, hal. 161.
Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Wajibkah Mengangkat Pemimpin Meskipun Menerapkan Hukum Kufur dalam Sistem Demokrasi?"