Legislasi Demokrasi vs Islam

Hiruk pikuk kampanye selama ini, khususnya seminggu terakhir, hanyalah bagian dari proses mengimplementasikan demokrasi. Dalam menyikapinya, tentu kita harus mengikuti pandangan Islam tentangnya.

Demokrasi pada dasarnya memiliki dua doktrin dasar yaitu kedaulatan milik rakyat dan kekuasaan milik rakyat. Tanpa keduanya, tidak ada yang namanya demokrasi. Doktrin kedaulatan rakyat menjadi doktrin mendasar.

Hakikat Kedaulatan

Kedaulatan pada dasarnya merupakan kekuasaan mengelola dan mengendalikan kehendak (al-mumârisu wa al-musayyiru li al-irâdah). Itu maknanya adalah menentukan sikap atas perbuatan, apakah dilakukan atau ditinggalkan, dan atas sesuatu termasuk benda apakah diambil/dipakai atau tidak.

Dalam konteks kenegaraan, artinya adalah pembuatan hukum dan perundang-undangan. Abbas al-‘Aqad dalam ad-dîmuqrâthiyah fî al-Islâm menjelaskan, kedaulatan adalah sandaran hukum, yaitu sumber yang menghasilkan undang-undang, atau pemimpin yang memiliki hak ditaati dan harus beramal sesuai perintahnya.
Jadi kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang bersifat absolut, mutlak, yang memiliki hak mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu (benda). Pemilik kedaulatan adalah pihak yang memiliki hak membuat hukum itu. Para ulama dan fuqaha telah membahasnya sejak awal Islam dengan istilah al-Hâkim. Yaitu man lahu haqqu ishdâri al-hukmi ‘alâ al-af’âli wa al-asyyâ` -pihak yang memiliki hak untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu.

Demokrasi – Kedaulatan Rakyat

Doktrin dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Ide ini diawali oleh Rousseau. Ide kedaulatan rakyat itu dilembagakan dalam sistem politik Demokrasi.

Dalam sistem demokrasi, kedaulatan adalah milik rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat hukum, aturan dan sistem untuk mereka sendiri, dan rakyat pula yang berhak mengangkat seseorang sebagai penguasa untuk mengimplementasikan hukum, aturan dan sistem itu atas mereka. Konsep ini riilnya dilaksanakan melalui konsep perwakilan, di mana rakyat memilih wakilnya untuk duduk di parlemen dan diberi kekuasaan legislatif untuk membuat UU.

Konsep kedaulatan rakyat ini senyatanya ilusif dan berbahaya bagi rakyat sendiri. Ilusif sebab rakyat beranggapan, dan dimanipulasi supaya tetap beranggapan, kedaulatan milik mereka. Faktanya kedaulatan ada di tangan para anggota parlemen. Kedaulatan rakyat disederhanakan begitu rupa menjadi sekadar kedaulatan parlemen atau kedaulatan anggota parlemen. Sebab, merekalah yang riilnya menetapkan UU dan hukum, bukan rakyat.

Bahkan anggota parlemen nyatanya tidak berdaulat, tetapi harus nurut pendapat partai. Jadilah, yang menentukan adalah elit partai. Pada akhirnya merekalah yang berdaulat, bukan anggota parlemen apalagi rakyat. Lebih dari itu, dalam demokrasi sarat modal. Para politisi dan parpol butuh dana besar untuk menjalankan proses politik. Dana itu sebagian kecil dari kantong sendiri dan sebagian besarnya dari para pemilik modal. Maka para pemilik modal itulah yang menjadi pihak paling berpengaruh dan paling berdaulat.
Karena kedaulatan milik rakyat, yakni milik manusia, maka UU dan hukum itu akan dibuat mengikuti hawa nafsu manusia. Dalam hal ini seringkali UU dan hukum yang dibuat justru buruk bagi manusia/rakyat sendiri. Allah mengingatkan:

﴿إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي﴾
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (TQS Yusuf [12]: 53)

UU/hukum itu dibuat di parlemen secara rame-rame oleh semua anggota parlemen. Mufakat bulat sangat jarang. Karena itu, keputusan ditentukan dengan suara terbanyak melalui voting. Sangat boleh jadi, suara terbanyak itu lebih menuruti hawa nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan; atau mengantarkan pada kesesatan. Allah SWT pun mengingatkan:

﴿وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (TQS al-An’am [6]: 116)

Hawa nafsu dan akal manusia yang jadi rujukan UU/hukum itu berubah-ubah. Juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan, situasi dan kondisi. Akibatnya tidak ada rujukan UU/hukum yang bersifat baku dan tetap. Jika dikatakan ada rujukan baku yaitu konstitusi, faktanya jika parlemen menghendaki konstitusi diubah maka akan berubah. Konstitusi negeri ini, meski namanya tetap, sebenarnya telah diamandemen empat kali. Bahkan saat ini juga ada suara untuk dilakukan amandemen kelima. Perubahan konstitusi itu bahkan bisa mengubah watak dan orientasi konstitusi. Setelah amandeman empat kali, konstitusi negeri ini justru menjadi makin liberal. Secara jangka panjang, kepastian hukum tidak ada. Sebab yang jadi rujukan UU/hukum sendiri tidak tetap. Apa yang dulu terlarang, saat ini dibolehkan bahkan dimandatkan. Apa yang saat ini boleh, nanti bisa terlarang; atau sebaliknya. Akibatnya, nasib umat manusia menjadi obyek pertaruhan.

Proses legislasi dalam demokrasi harus melalui proses panjang sejak rancangan hingga keputusan; dan tak jarang terkatung-katung. Contoh, UU halal. UU pornografi yang sama sekali tak cukup untuk mencegah pornografi dan pornoaksi butuh lebih dari lima tahun hingga disahkan. Akibat lamanya proses legislasi ini tentu penyelesaian problem yang perlu solusi hukum selalu telat.

Proses legislasi dalam demokrasi itu juga perlu biaya besar. Konon satu undang-undang menghabiskan miliaran rupiah. Meski mahal, UU yang dihasilkan banyak yang merugikan rakyat dan lebih menguntungkan kapitalis dan asing, seperti UU Penanaman Modal, UU Migas, UU kelistrikan, UU Minerba, UU SDA, dsb. Bahkan kadang kala pasal-pasal UU pun diperjualbelikan seperti yang konon terjadi pada pasal tembakau.
Diantara akibat paling buruk, konsep kedaulatan rakyat (kedaulatan parlemen) itu jadi pintu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lihat saja, riba, khamr, daging babi, dan hal-hal haram lainnya justru dihalalkan.

Lebih dari itu, konsep kedaulatan rakyat itu jelas bertentangan dengan Islam. Jika seseorang menyerahkan hak membuat hukum, menentukan halal dan haram kepada dirinya sendiri atau manusia lain, dalam pandangan Islam sama artinya menjadikan dirinya atau manusia lain itu sebagai rabb selain Allah. Imam at-Tirmidzi, didalam Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim ra., ia berkata: “Saya mendengar Nabi saw. membaca surat Bara’ah: 

﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah …” (TQS. at-Tawbah [9]: 31)

Beliau bersabda:

«أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ»
”Mereka memang tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib), tetapi jika mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) menghalalkan sesuatu untuk mereka, mereka pun menghalalkannya; jika mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan sesuatu untuk mereka, maka mereka pun mengharamkannya.”

Kedaulatan dalam Islam

Dalam Islam, kedaulatan adalah milik syara’. Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl menyatakan bahwa sejak dahulu tidak ada perbedaan di tengah kaum muslim bahwa kedaulatan hanya milik syara’. Allah SWT berfirman:

﴿… فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ …﴾
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…” (TQS. an-Nisâ [4]; 59)

Mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mengembalikan kepada ketentuan al-Quran dan as-Sunnah, yakni kepada hukum-hukum syara’. Artinya syara’lah yang mengelola dan mengendalikan kehendak individu maupun umat. Jadi kedaulatan itu milik syara’.

Bahkan Allah SWT menegaskan:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ﴾
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS al-AN’am [6]: 57)

Al-Quran dan as-Sunnah yang menjadi rujukan hukum itu bersifat tetap. Itu memberikan kepastian hukum jangka pendek maupun panjang. Juga membuat hukum bisa dijauhkan dari pengaruh kepentingan, situasi dan kondisi.

Ekstraksi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dilakukan melalui ijtihad. Apa yang sudah dinyatakan di dalam nash atau yang qath’i maka tidak boleh ada ijtihad dan tidak perlu ditetapkan oleh khalifah. Kaedah ushul: lâ ijtihâda ‘inda wurûdi an-nash –tidak ada ijtihad ketika sudah dinyatakan oleh nash- atau lâ ijtihâda fi al-qath’iy –tidak ada ijtihad pada masalah qat’iy-.

Untuk masalah zhanniyah, syara’ memberikan hak kepada khalifah untuk mengadopsi suatu pendapat yang dinilai paling kuat, baik itu hasil ijtihadnya sendiri atau ijtihad mujtahid lain. Dengan begitu, proses legislasi dalam Islam itu sangat murah bahkan tanpa biaya. Prosesnya pun cepat. Setiap problem bisa dengan cepat ada solusi hukumnya.

Legislasi yang dilakukan khalifah itu bisa dianalisis oleh siapa saja yang memiliki kemampuan menelaah nash atau ijtihad. Jika ternyata dinilai menyimpang maka Mahkamah Mazhalim bisa memeriksa dan memutuskan shawab dan khatha’nya. Dengan begitu, UU/hukum yang diadopsi oleh khalifah/negara akan senantiasa tidak keluar dari petunjuk al-Quran dan as-Sunnah.

Wahai Kaum Muslim

Inilah sebagian keunggulan dan kebaikan konsep kedaulatan dalam Islam. Semua itu tidak bisa dirasakan dan menjadi rahmat untuk umat manusia, kecuali jika diterapkan secara riil di tengah kehidupan. Dan itu hanya akan terwujud melalui sistem khilafah islamiyah yang mengikuti manhaj kenabian. Segera mewujudkannya menjadi tugas dan kewajiban syar’iy kita. [Al-Islam edisi 698, 19 Jumadul Awal 1435 H - 21 Maret 2014 M]

Posting Komentar untuk "Legislasi Demokrasi vs Islam"