Murtadnya Muslim dalam Sistem Demokrasi vs Sistem Islam (Al-Khilaafah)
Saat ini di
bawah naungan sistem kufur Demokrasi, banyak kemungkaran yang dibiarkan
bahkan disuburkan dalam sistem jahiliyyah Demokrasi. Tumbuh suburnya
aliran sesat, riba dan perzinaan di antara bukti yang tak terbantahkan,
termasuk murtadnya orang (diantaranya diberitakan artis) dari Islam
bebas lepas saja dalam sistem kehidupan saat ini. Menjegal arus ajaran
syaithan? (Link Artikel)
Maka jelas
Demokrasi berbeda dengan Islam, salah satu buktinya tak samar bahwa
Khilâfah sebagai metode syar’i untuk menerapkan syari’at islam kâffah, merupakan perisai (junnah)
yang menjaga kaum muslimin dari berbagai kemungkaran. Orang yang
murtad, sudah semestinya didakwahi, diluruskan kembali oleh utusan
Negara agar kembali kepada Islam, jika 3 hari ia masih tetap dalam
kemurtadannya maka sudah semestinya penguasa menegakkan apa yang
disabdakan Rasûlullâh -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka hukum matilah ia.” (HR. al-Bukhârî & Ahmad)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits ini:
فوضح أن المراد من بدل دين الإسلام بدين غيره لأن الدين في الحقيقة هو الإسلام قال الله تعالى (إن الدين عند الله الإسلام)
“Maka sudah jelas bahwa maksudnya adalah barangsiapa mengganti agama Islam dengan agama selainnya, karena ad-Diin hakikatnya adalah Islam. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.”. ”
Dalam kitab Matnul Ghaayah wa at-Taqriib, al-Qadhi Ahmad bin al-Husayn al-Ashfahani pun menjelaskan:
ومن ارتد عن الإسلام استتيب ثلاثا فإن تاب وإلا قتل ولم يغسل ولم يصل عليه ولم يدفن في مقابر المسلمين
“Dan
barangsiapa murtad dari Islam, maka ia diminta bertaubat dengan jangka
waktu selama tiga hari hingga ia bertaubat jika tidak maka ia wajib
dihukum mati, tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dimakamkan
di pemakaman kaum muslimin.”
Adanya ancaman sanksi had dalam hadits ini menjadi dalil atas kecaman dan larangan keras murtad dari Islam. Dalam tanya jawab yang diasuh oleh Syaikh Dr. Shalih al-Munajjid (http://islamqa.info/ar/20327) dituliskan:
والمقصود بدينه أي الإسلام
“Yang dimaksud bi diinihi yakni al-Islam.”
Syaikh Dr. Shalih al-Munajjid menjelaskan lebih rinci:
إذا
ارتد مسلمٌ ، وكان مستوفياً لشروط الردة – بحيث كان عاقلاً بالغاً مختاراً
- أُهدر دمه ، ويقتله الإمام – حاكم المسلمين – أو نائبه – كالقاضي – ولا
يُغسَّل ولا يُصلى عليه ولا يُدفن مع المسلمين
“Jika
seorang muslim murtad, dan terpenuhi syarat-syarat kategori murtad, di
sisi lain ia adalah orang yang berakal (bukan orang yang hilang akalnya
(maaf-gila), sudah baligh, maka halal darahnya (jika setelah didakwahi
tetap bersikeras dalam kemurtadan-pen.) dan Imam (penguasa kaum
muslimin) wajib menghukum matinya, atau wakilnya -semisal hakim- dan ia
tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan di pemakaman
kaum muslimin.”
Sebagaimana
sikap Khalîfah Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika ia memerangi orang-orang
yang menghalalkan diri untuk melanggar kewajiban berzakat. Muhammad bin
Yusuf al-Farabiy berkata: “Diceritakan dari Abu ‘Abdullah dari Qabishah
berkata:
هُمْ الْمُرْتَدُّونَ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى عَهْدِ أَبِي بَكْرٍ فَقَاتَلَهُمْ أَبُو بَكْرٍ
“Murtaddûn
disini adalah orang-orang yang murtad (keluar dari Islam karena menolak
membayar zakat) pada zaman (Khalîfah) Abu Bakr, lalu Abu Bakr r.a.
memerangi mereka.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap benar
Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. merupakan salah satu gambaran riil dari apa
yang diungkapkan al-Hafizh al-Imam al-Nawawi yang menyatakan:
لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها
“Adalah
suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang
menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi
serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada
tempatnya.” (Lihat: Rawdhatuth Thâlibîn wa Umdatul Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Al-Nawawi)
Qâdhi Abû
Ya’la al-Farrâ’ mengungkapkan: “Imam diwajibkan untuk mengurus urusan
umat ini, yakni sepuluh urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan dengan
ushûl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang yang bersekongkol
mempunyai kesalahan terhadapnya, dia (imam) bertanggungjawab untuk
menerangkan hujjah dan menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang
bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi, agar agama ini
tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Dan umat ini akan tetap
terhindar dari ketergelinciran.” (Lihat: Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah (hlm. 27), Imam al-Mawardi)
Sama halnya
ketika terjalin dalam diskusi “أهمية مكانة السلطان في إزالة المنكرات”
(pentingnya kedudukan penguasa dalam menghapuskan berbagai kemungkaran
di tengah-tengah kaum muslimin). Syaikh Doktor Abu ‘Abdullah menjelaskan
kepada penulis:
فالواجب على من يتولى أمور المسلمين أن يمنع ما يضر المسلمين في دينهم ودنياهم
“Maka wajib
bagi siapa saja yang menguasai urusan kaum muslimin (penguasa) untuk
mencegah hal-hal yang bisa membayakan agama dan dunia kaum muslimin.”
Dan
menegakkan sanksi yang tegas bagi orang yang murtad dari Islam dan
bersikeras dengan kemurtadannya adalah bagian dari mena’ati perintah
Allah dan Rasul-Nya. Syaikh Dr. Shalih al-Munajjid menuliskan:
أن
قتل المرتد حاصلٌ بأمر الله سبحانه حيث أمرنا بطاعة الرسول صلى الله عليه
وسلم فقال : { وأطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } ، وقد
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم بقتل المرتد كما تقدم بقوله :
” من بدل دينه فاقتلوه ” .
“Bahwa
sanksi hukuman mati bagi orang yang murtad merupakan perintah Allah
dimana Allah memerintahkan kita untuk mena’ati Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- Allah berfirman (yang artinya): “Ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan Ulil Amri di antara kalian”, dan Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- sungguh telah memerintahkan kita untuk menghukum mati orang yang murtad sebagaimana disampaikan sebelumnya berdasarkan hadits: ”Barangsiapa mengganti agamanya (Islam) maka hukum matilah ia.“
Kepada
mereka yang murtad karena alasan dunia, sudah semestinya kita berlindung
kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari sifat yang dituturkan al-Hafizh Ibn
‘Abd al-Bar al-Andalusi dalam sya’irnya:
أأخي إن من الرجال بهيمة في صورة الرجل السميع المبصر
فطن لكل مصيبة في مالــه وإذا يصاب بدينه لـم يشعــر
“Wahai saudaraku, diantara manusia ada yang bersifat bagaikan binatang”
“Dalam bentuk seseorang yang mampu mendengar dan berwawasan”
“Terasa berat baginya jika musibah menimpa harta bendanya”
“Namun jika musibah menimpa agamanya, tiada terasa”
(Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis (I/169))
Dan tiada keraguan bahwa: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan Al-Islam
Maka, sudah sangat jelas waadhihan syadiidan perbedaan
antara sistem Islam dan Demokrasi. Lantas, mana yang anda pilih??
Demokrasi? Atau sistem Islam (al-Khilaafah al-Islaamiyyah)?? [Irfan Abu Naveed (Penulis Buku-Buku dan Kajian Tsaqafah & Staff di sebuah Pesantren-Kulliyyatusy-Syarii’ah)]
Posting Komentar untuk "Murtadnya Muslim dalam Sistem Demokrasi vs Sistem Islam (Al-Khilaafah)"