Menguak Kembali Peran Asing di Balik SJSN dan JKN
Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dijalankan sebagai amanat
dari UU SJSN no. 40 tahun 2004 dan UU BPJS no. 24 tahun 2011. Lahirnya
UU SJSN no 40 tahun 2004 dan UU BPJS no 24 tahun 2011 dipropagandakan
sebagai berkah bagi rakyat. Namun benarkah semua itu termasuk JKN akan
menjadi berkah dan dijalankan demi kepentingan rakyat? Benarkah rakyat
akan merasakan manfaat terbesar dari asuransi sosial termasuk JKN itu?
Jawabannya bisa ditelusur sejak proses lahirnya UU SJSN dan UU BPJS,
siapa yang berperan, siapa yang menentukan? Sebab pihak yang berperan
besar dan menentukan biasanya adalah yang paling berkepentingan atau
menjadi alat dari pihak yang paling berkepentingan.
Dari penelurusan dokumen-dokumen terkait lahirnya SJSN dan BPJS,
nyatanya pihak asinglah yang banyak berperan bahkan menentukan. Hal itu
berawal pasca krisis tahun 1997. Salah satu point LoI yang didektekan
oleh IMF adalah liberalisasi sektor keuangan. Untuk itu dibuat banyak
proyek utang baik dari IMF, Bank Dunia dan ADB.
Kisah SJSN dimulai dari ide untuk mereformasi
sektor keuangan. Lalu pada tahun 1998 dibuat proyek utang Loan 1618-INO
senilai US$ 1,4 miliar dari ADB yaitu Financial Governance Reforms: Sector Development Program – FGRSDP- (dokumen ADB PCR: INO 31660). FGRSDP
merupakan bagian integral dari paket penyelamatan IMF pada akhir 1997.
FGRSDP fokus membantu restrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan
alokasi sumberdaya finansial dan sektor publik dengan penguatan tata
kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan dan penguatan
kerangka legal dan regulasi sektor keuangan. Output FGRSDP bisa
dikelompokkan menjadi 4 area: 1. Restrukturisai perbankan, 2.
Pengadopsian tata kelola keuangan yang baik, 3. Peningkatan transparansi
informasi keuangan dan 4. Penguatan kerangka legal dan regulasi sektor
keuangan. Area ke-4 ini diantaranya dalam bentuk dibuatnya UU Bank
Sentral tahun 1999 yang menjadikan BI sebagai institusi negara yang
independen. UU Bank Sentral itu mengamanatkan pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Pada tahun 2000 Pemerintah meminta bantuan ADB untuk
membuatkan konsep dan blueprint institusi pengawasan jasa
keuangan yang terintegrasi. Lalu tahun berikutnya dibuat workshop
tentang pendirian institusi tersebut yang kemudian disebut OJK.
Berikutnya draft tentang OJK dimasukkan oleh Pemerintah tahun 2003.
Lalu apa hubungannya dengan SJSN dan BPJS? BPJS adalah lembaga
keuangan non bank, jadi akan ada dalam cakupan kerja dan wewenang OJK.
Bersamaan persetujuan FGRSDP, pada Desember 1998 juga dibuat proyek
utang sebesar US$ 870 ribu (dokumen ADB TAR: INO 32352) Technical Assistance (TA) to the Republic of Indonesia for the Reform of Pension and Provident Funds.
TA menganjurkan adanya reformasi (liberalisasi) dalam pengelolaan dana
pensiun atau jaminan hari tua. TA ini berhasil menanamkan keharusan
liberalisasi pengelolaan dana pensiun. TA ini membuka pintu untuk SJSN
dan BPJS.
Sebagai kelanjutan FGRSDP, Pemerintah melalui surat Menkeu RI Nomor
S-370/MK.06/2002 tanggal 14 Nopember 2002 yang ditandatangani oleh
Menkeu Boediono, mengajukan proyek utang untuk Financial Governance and Social Security Reform (FGSSR) Program
atau Program Reformasi Tata Kelola Keuangan dan Jaminan Sosial kepada
ADB. ADB menyetujuinya pada tanggal 10 Desember 2002 dengan memberikan
utang Loan no. 1965 proyek no. 33399 Program FGSSR yang pada Fase I
nilainya US$ 250 juta berasal dari ordinary capital resource ADB. Rincian program FGSSR dapat dilihat dalam dokumen ADB RRP: INO 33399 tentang Report
and Recommendation of the President to the Board of Directors on A
Proposed Cluster, First Loan And Technical Assistance Grant to the
Republic of Indonesia for the Financial Governance And Social Security
Reform Program –Laporan dan Rekomendasi Presiden (ADB) kepada Dewan
Direktor tentang Proposal Cluster, Utang Pertama dan Pinjaman Bantuan
Teknis untuk Republik Indonesia untuk Program Reformasi Tata Kelola
Keuangan dan Jaminan Sosial-.
Dalam dokumen ADB, RRP: INO 33399 tentang program FGSSR dinyatakan
bahwa program FGSSR ini dibagi dalam dua fase. Fase I akan mensuport
kerangka kerja yang luas untuk penguatan total sektor finansial dan
mempromosikan pengembangan institusi keuangan yang sehat untuk mensuport
tata kelola yang baik dan pertumbuhan ekonomi. Juga bertujuan
memperbaiki jaminan sosial melalui perbaikan tata kelola, pengawasan dan
regulasi dana pensiun dan program asuransi sosial yang wajib. Sementara Fase II memiliki tujuan pembentukan OJK dan penggabungan sistem jaminan sosial.
Kedua hal itu ditempuh dengan dua strategi: pertama, penguatan sistem
keuangan. Untuk itu Fase I ini akan mensuport pembentukan OJK. Dalam
masa transisi Pra-OJK, Fase I akan mensuport persiapan komprehensif
reformasi legal yang diperlukan untuk transfer fungsi regulator dan
pengawasan ke OJK, mensuport pengembangan sistem anti pencucian uang
yang efektif, memperkuat regulasi sektor keuangan dan pengawasan di
bawah otoritas yang saat ini ada, meningkatkan tata kelola dan korporat,
dan mendorong pengadopsian praktik dan standar terbaik untuk regulasi
dan pengawasan.
Strategi kedua, memperkuat sistem jaminan sosial nasional. Implementasinya adalah dengan mensuport pembuatan UU SJSN, memperbaiki
pengawasan dan tata kelola asuransi sosial yang wajib dan program
jaminan sosial yang ada di bawah yurisdiksi OJK, mensuport ukuran-ukuran
untuk memperbaiki kelangsungan fiskal dari program wajib, memperbaiki
program untuk memberikan income hari tua, mensuport pengembangan sistem
identifikasi tunggal untuk sistem jaminan guna meningkatkan administrasi
pelayanan, mencari opsi-opsi potensial untuk memperluas cakupan sistem
jaminan sosial ke sektor informal, dan melakukan audit khusus kepada
skema jaminan sosial wajib untuk sektor informal dan melakukan reviw
finansial independen terhadap perusahaan asuransi untuk mensuport
reformasi dan restrukturisasi.
Untuk Fase I ADB menggelontorkan utang sebesar US$ 250 juta dan US$
satu juta untuk Technical Assistance. Sedangkan untuk Fase II ADB
memberikan utang sebesar US$ 150 juta.
Pada no 47 dokumen ADB RRP: INO 33399 disebutkan, utang Fase I US$
250 juta itu akan digunakan untuk (1) biaya pembentukan OJK, termasuk
peningkatan kapasitas dan implementasi sebesar US$ 22 juta; (2) sebesar
US$ 25 juta untuk biaya pembentukan PPATK, peningkatan kapasitas PPATK
dan agen pemerintah lainnya serta dukungan biaya kepatuhan perundangan
yang terkait dengan anti pencucian uang, dan (3) sebesar US$ 200 juta
untuk biaya restrukturisasi sektor asuransi.
Pada point 52 dokumen ADB, RRP: INO 33399 dijelaskan, utang dari
FGSSR Fase I sebesar US$ 250 juta akan diberikan dalam tiga bagian.
Bagian I US$ 100 juta diberikan saat kesepakatan kontrak. Insentif
tambahan US$ 50 juta dan insentif kedua US$ 100 juta akan diberikan
apabila pemenuhan komitmen kontrak dirasakan menggembirakan. Rincian
syarat dan tolok ukur untuk pencairannya dirinci pada point 53
diantaranya bahwa Pemerintah akan menyelesaikan persiapan teknis konsep
UU dan amandemen terhadap UU OJK, UU Pasar Modal, UU Pensiun, UU
Asuransi, UU Perseroan, UU Akuntansi Publik, UU Anti Pencucian Uang dan
berbagai kebijakan lainnya termasuk terkait PPATK. Semua itu artinya
bahwa utang akan dicairkan jika semua syarat yang ditetapkan dipenuhi
oleh pemerintah dan UU serta kebijakan yang dibuat oleh pemerintah telah
menggembirakan ADB.
Dokumen tersebut pada no.30 menyebutkan: “Untuk mengalihkan
system jaminan sosial , Phase I akan (i) Mengalihkan institusi yang
terkait dengan pelaksanaan asuransi sosial wajib dan program jaminan
sosial dibawah pengawasan OJK, (ii) Meningkatkan tata kelola dan
pengawasan sistem asuransi sosial yang wajib dan sistem jaminan sosial
yang ada, (vii) Membangun UU baru dan badan baru untuk penyelenggaraan
jaminan sosial.” Lalu pada no. 41 disebutkan: “akan dibentuk UU baru
mengenai SJSN untuk menyatukan program jaminan sosial dan meningkatkan
kerangka jaminan sosial, manajemen dan administrasi.” Hasilnya adalah lahirlah UU SJSN no 40 tahun 2004 dan UU BPJS no 24 tahun 2011.
Agar semua bisa lebih terjamin, disitulah pentingnya adanya asistensi
teknis (Technical Assistance – TA). Karena itu, utang program FGSSR
ini disertai dengan pinjaman dalam bentuk hibah (grant) dalam proyek
35316-012 FGSSR sebesar US$ 1 juta untuk Technical Assistance of FGSSR.
Dokumen program TA tersebut menyatakan bahwa TA akan mensuport (1)
restrukturisasi sektor asuransi, dan (2) pengembangan sistem jaminan
sosial nasional. Dua hal itu dilakukan melalui dua komponen TA.
Komponen pertama TA akan memberikan penilaian atas kondisi finansial dan
kekurangan kapital dari sektor asuransi dan identifikasi entitas yang
tak sehat secara finansial dan menentukan opsi untuk restrukturisasi dan
konsolidasi dalam sektor tersebut selama diperlukan suport pada level
dan tipe pemerintah tertentu untuk mengimplementasikan opsi yang
direkomendasikan. Komponen kedua TA akan memberikan asistensi untuk
pengemanan jaminan sosial nasional yang sejalan dengan
kebijakan-kebijakan kunci dan prioritas yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Dalam kontek itu TA akan (1) melakukan studi kelayakan
untuk reformasi sistem jaminan sosial yang bersama lainnya akan
memberikan (a) opsi restrukturisasi skema asuransi sosial wajib untuk
meningkatkan tata kelola dan program, (b) rekomendasi tingkat iuran dan
faktor lainnya untuk meningkatkan nilai manfaat pensiun dalam program
mendatang, (c) proposal untuk cakupan ekspansi yang realistis dari
sistem jaminan sosial ke sektor informal dalam jangka pendek dan
menengah dan potensi tahapan reformasi dalam batasan yang ada, (2)
melakukan serangkaian konsultasi dengan stakeholder yang ada melalui
workshop publik, (3) membantu persiapan legislasi dan regulasi untuk
undang-undang baru dan badan baru untuk jaminan sosial nasional, (4)
mensuport pengembangan sistem identifikasi tunggal untuk jaminan sosial
nasional untuk memperbaiki administrasi dan menejemen, (5) mensuport
kampanye edukasi publik tentang jaminan sosial dan sosialisasi RUU
jaminan sosial nasional melalui media, berbagai workshop dan seminar,
(6) memberikan training pejabat kunci tentang konsep inti dari
menejemen, administrasi dan tata kelola sistem jaminan sosial, dan (7)
mensuport pengembangan profesi aktuaria.
Untuk itu TA ini akan melibatkan konsultan internasional 22
orang-bulan yang memiliki keahlian dalam sektor asuransi (4
orang-bulan), jaminan sosial (6 orang-bulan), reformasi legal (4 orang
bulan), edukasi publik (5 orang bulan) dan desain/administrasi sistem
identifikasi jaminan sosial (3 orang bulan); ditambah 31 orang konsultan
lokal dengan keahlian jaminan sosial (12 orang bulan), edukasi publik
(5 orang bulan), tata kelola finansial dan reformasi jaminan sosial (12
orang bulan), profesi aktuaria di Indonesia (2 orang bulan).
Dari semua itu sangat jelas bahwa lahirnya UU SJSN dan BPJS, bahkan
lebih jauh lagi UU dan banyak kebijakan di sektor ekonomi dan keuangan,
begitu kuat dipengaruhi, didrive dan diarahkan oleh asing dalam hal ini
ADB. Bisa dikatakan bidan dari kedua UU ini adalah asing (ADB).
Dokumen-dokumen ADB dengan gemblang menguak semua itu.
Bahkan tidak berhenti sampai disitu, setelah UU BPJS disahkan dan
masuk dalam tahap implementasi, yaitu pembentukan BPJS dan transformasi
BUMN Asuransi (Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri) menjadi dua BPJS
yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan, ADB tidak mau hal itu
lepas dari pengawasan dan arahannya. Untuk itu ADB memberikan bantuan
dalam bentuk proyek no. P45110-001 Capacity Development Technical
Assistance (CDTA) Republic of Indonesia: Fiscal Aspect of Social
Security Reform dengan bantuan sebesar US$ 800 ribu. TA ini akan
membantu pemerintah membentuk dua BPJS utama. TA ini juga akan
memberikan suport langsung kepada BPJS untuk memperkuat administrasi
dari fungsi utamanya, termasuk: mengumpulkan iuran anggota, membayar
benefit untuk kesehatan dan pensiun, rencana pengaturan aset dalam
bentuk yang memadai dan efektif, menjaga catatan melalui sistem yang
efisien, dan implementasi dan pengekalan dengan sistem tata kelola yang
terpercaya.
Juga disebutkan dalam dokumen proyek tersebut, bahwa JICA menampakkan
ketertarikan membantu pemerintah dalam reformasi jaminan sosial dan
jaring pengaman sosial. Bank Dunia telah memberikan asistensi kepada
Kemenkeu terkait pensiun PNS dan program penghematan. Kerjasama
pembangunan Jerman melalui Gesellschaft für Internationale
Zusammenarbeit (GIZ) telah mensuport BAPENAS dalam menset-up road map
untuk pengimplementasian cakupan dasar universal untuk kesehatan.
Dari semua dokumen dan paparan di atas, jelas sekali bahwa Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) termasuk JKN di dalamnya, bisa dikatakan
sebagai perintah pihak asing, melalui perintah IMF yang tertuang dalam
LoI (Letter of Intent). Dan untuk memastikan hal itu terealisasi, asing
melalui Bank Dunia, IMF, ADB, GIZ dan lembaga-lembaga lainnya aktif
mendorong, mendanai bahkan memberikan asistensi mengawalnya sejak
perencanaan hingga implementasi tahap akhir. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman – LS DPP HTI]
Posting Komentar untuk "Menguak Kembali Peran Asing di Balik SJSN dan JKN"