Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar” Mengenai Seorang Perawi Hadits Tidak Selalu Melemahkan Haditsnya
Pendahuluan
Di kalangan para pejuang syariah dan Khilafah, sangat terkenal hadits yang menerangkan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jalan kenabian). Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا
شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون
ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن
يكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن
تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ثم سكت
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu
sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya
apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang
menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang
ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia
berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon),
yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia
berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa
(diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah.
Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya.
Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17).
Hadits di atas walau statusnya oleh
para ahli hadits dinilai antara shahih atau hasan, namun ada pihak yang
berpandangan hadist itu lemah (dhaif).
Mereka berhujjah bahwa salah satu perawi (periwayat) hadits yang
bernama Habib bin Salim adalah perawi yang lemah, dengan alasan Imam
Bukhari mengomentari Habib bin Salim dengan berkata, “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan).
Menurut mereka, inilah sebabnya Imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tersebut. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tersebut, sehingga akibatnya “kelemahan” sanad hadis tersebut tidak bisa ditolong.
Maksud Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar”
Sebelum membahas perkataan Imam Bukhari “fiihi nazhar” untuk
Habib bin Salim, perlu kiranya diketahui sekilas sanad hadits di atas,
untuk mengetahui posisi Habib bin Salim dalam rantai periwayatan hadits
tersebut dari Rasulullah SAW.
Sanad hadits di atas adalah sebagai berikut; Imam Ahmad meriwayatkan
dari Sulaiman bin Dawud Al Thayalisi, dari Dawud bin Ibrahim Al Wasithi,
dari Habib bin Salim, dari Nu’man bin Basyir, dari Hudzaifah bin Al
Yaman, dari Rasulullah SAW. (Lihat Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430).
Jadi posisi Habib bin Salim adalah
antara Dawud bin Ibrahim Al Wasithi dan Nu’man bin Basyir. Yang menjadi
titik kritis adalah kredibilitas Habib bin Salim, dan apakah Habib bin
Salim ini mendengar langsung hadits dari Nu’man bin Basyir atau tidak.
Memang benar bahwa Imam Bukhari pernah mengomentari Habib bin Salim dengan perkataannya “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan). Hal itu dikatakan oleh Imam Bukhari pada saat menceritakan biografi (tarjamah) Habib bin Salim dalam kitabnya At Tarikh Al Kabir juz 2 halaman 318. Telah berkata Imam Bukhari (radhiyallahu ‘anhu) :
حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن
النعمان، روى عنه أبو بشيروبشير بن ثابت ومحمد بن المنتشروخالد بن عرفطة
وإبراهيم بن مهاجر، وهو كاتب النعمان، فيه نظر
“Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin
Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man, dan meriwayatkan
[hadits] darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad bin Al
Muntasyir, Khalid bin ‘Arfathah, dan Ibrahim bin Muhajir, dan dia [Habib
bin Salim] adalah penulis/sekretaris Nu’man, dia perlu dipertimbangkan.” (Imam Bukhari, At Tarikh Al Kabir, 2/318).
Mengenai perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) ini, sudah banyak ulama yang menafsirkannya. Secara umum, ungkapan tersebut memang berarti jarh (penilaian
tidak kredibel) kepada seorang periwayat hadits, sehingga akibatnya
dapat melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut.
Imam Al ‘Iraqi berkata dalam kitabnya Syarah Al Alfiyah :
فلان فيه نظر، وفلان سكتوا عنه: يقولهما البخاري فيمن تركوا حديثه
“[Perkataan] “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fulan sakatuu ‘anhu”
(si Fulan telah didiamkan/tak dikomentari oleh para ulama), merupakan
dua perkataan yang diucapkan oleh Imam Bukhari mengenai periwayat hadits
yang haditsnya ditinggalkan.” (Imam ‘Iraqi, Syarah Al Alfiyah, Juz 2/11).
Imam Adz Dzahabi berkata dalam mukadimah kitabnya MizanuI I’tidal :
قوله: فيه نظر، وفي حديثه نظر، لا يقوله البخاري إلا فيمن يتهمه غالبا
“Perkataan dia (Imam Bukhari) : “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan), dan “fii hadiitsihi nazhar”
(haditsnya perlu dipertimbangkan), tidaklah diucapkan oleh Imam Bukhari
kecuali mengenai orang-orang yang dia tuduh [tidak kredibel] pada
galibnya.” (Imam Adz Dzahabi, MizanuI I’tidal, 1/3-4).
Kedua kutipan di atas menunjukkan kaidah umum dari perkataan Imam Bukhari “fihi nazhar”
(dia perlu dipertimbangkan), yang memang menunjukkan kelemahan
kredibilitas periwayat hadits. Namun dalam kasus Habib bin Salim,
perkataan Imam Bukhari tersebut bukanlah merupakan jarh yang kemudian melemahkan hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Dikarenakan terdapat dua qarinah (indikasi) yang dapat mempertahankan kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang diriwayatkannya.
Dua indikasi tersebut adalah; Pertama, Imam Bukhari sendiri menilai shahih hadits yang di dalamnya ada periwayat Habib bin Salim. Kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” (dia perlu dipertimbangkan) bisa jadi dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya.
Indikasi pertama, telah ditunjukkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Al ‘Ilal Al Kabir (1/33)
bahwa Imam Tirmidzi suatu saat pernah bertanya kepada Imam Bukhari
mengenai suatu hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Habib bin Salim dari
Nu’man bin Basyir bahwa Nabi SAW dalam dua shalat Ied dan shalat Jum’at
telah membaca surat Sabbihisma Rabbikal A’la dan surat Hal Ataaka Hadiistul Ghaasiyah,
dan bisa jadi keduanya (Ied dan Jumat) bertemu pada satu hari dan Nabi
SAW membaca kedua surat itu. Maka berkata Imam Bukhari,”Itu hadits
shahih.’ (Arab : huwa hadiits shahiih). (Lihat Imam Tirmidzi, Al ‘Ilal Al Kabir,1/33. Matan hadits secara lengkap dikemukakan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan At Tirmidzi, Juz 5 hlm. 243).
Ini jelas menunjukkan Imam Bukhari sendiri telah menilai shahih hadits yang perawinya dinilainya sebagai “fihi nazhar“. Fakta ini menunjukkan, ketika Imam Bukhari menilai seorang perawi dengan mengucapkan “fihi nazhar“, tidaklah selalu berarti haditsnya otomatis lemah (dhaif) dan tak dapat dijadikan hujjah. Contohnya kasus Habib bin Salim ini.
Yang mungkin menjadi pertanyaan, mengapa Imam Bukhari tetap menshahihkan hadits yang perawinya dikomentarinya dengan “fiihi nazhar”? Menurut Khalid Manshur Abdullah Ad Durais dalam kitabnya Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’
(Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, tt) halaman 120, hal itu karena Imam
Bukhari tidak sampai derajat yakin bahwa Habib bin Salim telah bertemu (liqa`) atau mendengar (as samaa’) hadits dari Nu’man bin Basyir. Imam Bukhari ragu (syakk) apakah Habib bin Salim pernah bertemu/mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir.
Ketidakyakinan Imam Bukhari itu
tercermin dari deskripsi biografi Habib bin Salim yang ditulis oleh Imam
Bukhari sendiri, yaitu menggunakan perkataan عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man). Sebagaimana sudah dikutip sebelumnya, Imam Bukhari berkata :
حبيب بن سالم مولى النعمان بن بشير الأنصاري، عن النعمان
“Habib bin Salim adalah maula (bekas budak) dari Nu’man bin Basyir Al Anshari, [meriwayatkan hadits] dari Nu’man… (At Tarikh Al Kabir, 2/318).
Kalimat عن النعمان ([meriwayatkan] dari Nu’man) adalah kalimat yang tidak jelas (ghairu sharih),
yang berbeda dengan kebiasaan Imam Bukhari ketika dia meyakini seorang
periwayat hadits mendengar dari periwayat sebelumnya. Jika Imam Bukhari
yakin Habib bin Salim mendengar dari periwayat sebelumnya (Nu’man bin
Basyir), niscaya kalimat yang akan digunakan adalah sami’a al nu’maan (dia telah mendengar Nu’man), bukan ‘an al Nu’man. Terlebih lagi bahwa dalam kitab Tahdziibul Kamaal (2/374) disebutkan
bahwa Habib bin Salim telah memasukkan periwayat lain antara dirinya
dengan Nu’man bin Basyir. Inilah kiranya yang membuat Imam Bukhari
berada dalam keraguan mengenai Habib bin Salim. (Khalid Manshur Abdullah Ad Durais, Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121).
Namun ketidakyakinan Imam Bukhari ini
tak berarti Imam Bukhari secara mutlak tidak mempercayai Habib bin
Salim. Dengan mencermati deskripsi Imam Bukhari mengenai biografi Habib
bin Salim, akan dapat disimpulkan bahwa Imam Bukhari sebenarnya
mempunyai dugaan kuat (zhann ghaalib) bahwa Habib bin Salim pernah bertemu (liqa`) atau mendengar (samaa’) dari Nu’man bin Basyir, walau tak sampai derajat yakin.
Ada dua alasan untuk itu; pertama, Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah maula
(bekas budak). Artinya dulu Habib bin Salim adalah budak milik Nu’man
bin Basyir, lalu Nu’man memerdekakan Habib bin Salim. Jadi sangat
mungkin Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua,
Imam Bukhari menyebut bahwa Habib bin Salim adalah penulis atau
sekretaris Nu’man bin Basyir. Pada galibnya, seorang penulis akan sering
bertemu atau mendengar perkataan dari atasannya. Maka sangatlah mungkin
Habib bin Salim mendengar hadits dari Nu’man bin Basyir. Kedua alasan
inilah kiranya yang menjadikan Imam Bukhari tetap menilai shahih hadits
yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. (Khalid Manshur Abdullah Ad
Durais, Mauqiful Imaamaini Al Bukhari wa Muslim min Isytirath Al Liqaa` wa As Samaa’, hlm. 121).
Ini adalah indikasi pertama yang
membuktikan tetapnya kredibilitas Habib bin Salim dan juga hadits yang
diriwayatkannya, yakni adanya penilaian shahih dari Imam Bukhari
terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim.
Indikasi kedua, bahwa seorang perawi yang dinilai Imam Bukhari dengan kalimat “fihi nazhar” bisa jadi tetap dianggap kredibel oleh ahli hadits lainnya. Ini sungguh terjadi dan contohnya banyak.
Sebagai contoh Habib bin Salim. Meski Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar” namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Habib bin Salim tidaklah mengapa (laa ba`sa bihi).
Menurut Ibnu ‘Adi, tak ada matan-matan hadits Habib bin Salim yang
munkar (menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah), melainkan telah
terjadi idhtirab
(kerancuan) pada sanad-sanad hadits yang diriwayatkan darinya. Tetapi
Abu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hiban menilai Habib bin Salim tsiqah. (Lihat Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8).
Contoh-contoh lainnya banyak diberikan oleh Syaikh Syu’aib Al Arna`uth, yang men-tahqiq kitab Siyar A’lamin Nubala`
karya Imam Dzahabi pada Juz 12 halaman 439 (Beirut : Mu`assah Ar
Risalah, cetakan IV, tahun 1986). Di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, perawi bernama Tamaam bin Najiih. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Tamaam bin Najiih dianggap tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’iin. Imam Abu Dawud dan Tirmidzi juga tidak meninggalkan haditsnya.
Kedua, perawi bernama Rasyid bin Dawud As Shan’ani. Imam Bukhari menilainya “fiihi nazhar”. Namun Imam Yahya bin Ma’iin menganggapnya tsiqah. Imam Ibnu Hiban memasukkan namanya dalam kitabnya At Tsiqaat. Imam An Nasa`i juga meriwayatkan hadits darinya.
Ketiga, perawi bernama Tsa’labah bin Yazid Al Hammani. Imam Bukhari menilainya “fii hadiitsihi nazhar”
(haditsnya perlu dipertimbangkan). Tetapi Imam Nasa`i berkata, dia
tsiqah. Ibnu ‘Adi mengatakan,”Aku tidak melihat haditsnya munkar
(menyalahi periwayat lain yang lebih tsiqah) dalam kadar yang dia
riwayatkan. Dan seterusnya banyak sekali.
Jadi, penilaian Imam Bukhari “fiihi
nazhar” kepada seorang perawi, tidaklah berarti hadits yang
diriwayatkannya secara mutlak tertolak atau selalu tertolak. Karena bisa
jadi para Ahli Hadits lainnya menilai perawi tersebut sebagai tsiqah (perawi terpercaya, yang menghimpun karakter ‘adil (taqwa) dan dhabith (kuat hapalannya).
Kesimpulan
Hadits akan datangnya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
derajatnya berkisar antara shahih dan hasan. Penilaian sementara pihak
bahwa hadits itu dhaif karena Imam Bukhari menilai Habib bin Salim dengan sebutan “fiihi nazhar”, adalah tidak tepat. Karena perkataan imam Bukhari “fiihi nazhar” mengenai seorang perawi hadits, tidaklah selalu melemahkan hadits yang diriwayatkannya.
Maka dari itu, penilaian bahwa hadits
akan datangnya Khilafah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah adalah hadits
dhaif, sungguh sangat gegabah dan tidak berlandaskan ilmu yang mendalam.
Landasannya lebih kepada hawa nafsu yang condong kepada kebatilan dan
kesesatan, yaitu memberi legitimasi palsu kepada sistem sekular saat ini
yang dipaksakan secara kejam kepada umat Islam. Wallahu a‘lam bi al shawab. (04/02/2014).
= = =
KH. M. Shiddiq Al-Jawi, anggota Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI; Dosen
Ulumul Hadits dan Ushul Fiqih di STEI Hamfara, Jogjakarta; Pimpinan PP
Hamfara Jogjakarta.
Posting Komentar untuk "Perkataan Imam Bukhari “Fiihi Nazhar” Mengenai Seorang Perawi Hadits Tidak Selalu Melemahkan Haditsnya"