Menimbang Kembali Maqasid Syariah
Pengantar Redaksi
Dalam wacana keagamaan modern, istilah maqâshid asy-syarî‘ah sering
dilontarkan terutama oleh para cendekiawan Muslim akhir-akhir ini.
Istilah ini sebetulnya merupakan istilah lama yang digagas oleh Imam
Asy-Syatibi, yang kemudian kembali dipopulerkan. Persoalannya, istilah
tersebut tidak hanya sekadar dipopulerkan kembali, tetapi juga diberi
muatan makna baru yang berbeda sama sekali dengan apa yang dimaksud
penggagas awalnya.
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pandangan Taqiyuddin
An-Nabhani tentang maqâshid asy-syar‘îah dalam kitab ushul fikihnya,
Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Juz III, halaman 359-366, pada bab,
“Maqâshid asy-Syar‘îah”.
Pandangan
An-Nabhani secara umum berbeda dengan Asy-Syatibi, karena menurut
An-Nabhani, maslahat adalah akibat (hasil) dari penerapan syariat, bukan
illat penetapan syariat. Dalam kitab ushul fikihnya ini, An-Nabhani
menolak dan mengkritik pandangan Asy-Syatibi secara mendasar. Kendati
pun kemudian terkesan lebih ketat, konsep An-Nabhani tersebut
menunjukkan keunggulannya. Sebab, di samping kekuatan hujahnya,
konsepnya juga dapat menutup kemungkinan dimanfaatkannya konsep maqâshid
asy-syar‘îah secara gegabah untuk membenarkan ide-ide Barat yang kufur.
Pandangan An-Nabhani ini mencakup 4 (empat) prinsip penting : (1)
kemaslahatan adalah hikmah (akibat) penerapan syariat; (2) maqâshid
asy-syar‘îah adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan; (3) hikmah
penerapan syariat tidak selalu terwujud; (4) hikmah penerapan syariat
hanya bisa diketahui melalui dalil syariat.
Konsep maqâshid asy-syarî‘ah berasal dari seorang ahli ushul fikih
bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Asy-Syatibi (w. 790
H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwâfaqât fî
Ushûl al-Ahkâm, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab
al-maqâshid. Menurut Asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk
mewujudkan kemaslahatan hamba (mashâlih al-‘ibâd), baik di dunia maupun
di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangan beliau, menjadi
maqâshid asy-syarî‘ah (tujuan-tujuan syariat). Dengan kata lain,
penetapan syariat—baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci
(tafshilan)—didasarkan pada pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum),
yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/2-3).
Selanjutnya Asy-Syatibi membagi maqâshid menjadi tiga bagian, yaitu:
dharûriyât, hâjiyat, dan tahsînât. Dharûriyât artinya harus ada demi
kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan,
misalnya rukun Islam. Hâjiyât maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk
menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa
bagi orang sakit. Tahsînât artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan
kehidupan dan menghindarkan keburukan, semisal akhlak yang mulia,
menghilangkan najis, dan menutup aurat. Dharûriyât beliau jelaskan lebih
rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-dîn);
(2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4)
menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hizh al-mâl)
(Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4). Inilah sekilas konsep Asy-Syatibi
tentang maqâshid asy-syarî‘ah. (Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/4-5;
Az-Zuhayli, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, II/1046-1051).
Dalam perkembangan kontemporer, konsep maqâshid asy-syarî‘ah ternyata
banyak dibelokkan untuk melegitimasi ide-ide Barat sekular, bukan untuk
menerapkan syariat seperti digagas Asy-Syatibi itu sendiri. Contoh,
tujuan menjaga agama (hifzh ad-dîn) ditafsirkan oleh Ulil Abshar Abdalla
(koordinator Jaringan Islam Liberal) sebagai “perlindungan terhadap
kebebasan beragama (the protection of the freedom of religion)”; tujuan
menjaga akal (hifzh al-‘aql) diinterpretasikan sebagai “perlindungan
terhadap kebebasan berpikir (the protection of the freedom of
thought)”.(*) Jadi, konsep maqâshid asy-syarî‘ah telah dijadikan sekadar
instrumen untuk menyusupkan ide-ide liberal yang sekular.
Syariat dan Maslahat
Sebelum memahami konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid
asy-syarî‘ah, ada baiknya kita meninjau sekilas berbagai pendapat ulama
tentang kaitan hukum syariat dengan kemaslahatan, yakni apakah
hukum-hukum syariat itu didasarkan pada ‘illat untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia? Muhammad Husain Abdillah dalam Al-Wadhîh fî Ushûl
al-Fiqh (1995: 273) menyatakan bahwa para ulama dalam masalah ini
terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat:
Pertama, pendapat ulama Asy‘ariyah dan Azh-Zhahiriyah. Mereka menolak
bahwa syariat didasarkan pada ‘illat maslahat. Dengan ungkapan lain,
maslahat bukanlah ‘illat (motif) penetapan suatu hukum syariat. Menurut
mereka, mungkin saja Allah menetapkan suatu hukum syariat yang tidak
mengandung maslahat. Hanya saja, mereka mengakui, bahwa studi yang
komprehensif (istiqrâ’) menetapkan bahwa seluruh hukum syariat bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan dalam lima perkara: menjaga agama, akal,
keturunan, jiwa, dan harta.
Kedua, pendapat sebagian ulama Syafi‘iyah dan Hanafiyah. Mereka
menetapkan bahwa maslahat layak menjadi ‘illat bagi hukum-hukum syariat.
Akan tetapi, maslahat ini lebih dipahami sebagai pertanda hukum (amarah
al-hukm), bukan sebagai latar belakang/motif penetapan hukum (bâ’its
‘ala al-hukm). Jadi, maslahat dipahami lebih dekat pada sebab (as-sabab)
daripada ‘illat.
Ketiga, pendapat Muktazilah, Maturidiyah, ulama Malikiyah, dan
sebagian ulama Hanabilah. Mereka memandang bahwa hukum-hukum syariat
didasarkan pada ‘illat maslahat, tanpa ada taqyîd (pembatasan) adanya
kehendak (irâdah) Allah Swt. Namun, mereka mensyaratkan, penetapan
maslahat sebagai ‘illat syariat tidak boleh bertentangan dengan nash.
Dari pemetaan pendapat ini, secara garis besar dapat dikatakan bahwa
pendapat Taqiyuddin an-Nabhani mengenai kaitan maslahat dan syariat sama
dengan pendapat pertama, yakni syariat tidak didasarkan pada ‘illat
maslahat.
Maslahat: Hikmah Penerapan Syariat
Prinsip pertama konsep Taqiyuddin an-Nabhani tentang maqâshid
asy-syarî‘ah adalah bahwa maslahat merupakan hikmah (akibat) penerapan
syariat, bukan ‘illat penetapan syariat. Jadi, pada dasarnya An-Nabhani
mengakui adanya hubungan maslahat dengan syariat. Hal ini beliau pahami
dari nash-nash al-Quran yang menyatakan bahwa diutusnya Nabi saw. adalah
untuk membawa rahmat, yaitu maslahat, misalnya dalam QS Al-Isra (17)
ayat 82 dan QS al-Anbiya’ (21) ayat 107. Namun demikian, An-Nabhani
dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah
‘illat atau motif (al-bâ‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil
(nâtijah), tujuan (ghâyah), atau akibat (‘âqibah) dari penerapan
syariat (An-Nabhani, 1953: 359 & 363).
Mengapa demikian? Karena menurut An-Nabhani, nash ayat-ayat yang ada
jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya
‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat
(maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya firman Allah Swt.
berikut:
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lîl (bentuk
kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lîl. Jadi,
maksud ayat ini, bahwa hasil (an-nâtijah) diutusnya Muhammad saw. adalah
akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat
(maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari
penetapan syariat (An-Nabhani, 1953: 359-360). Pandangan An-Nabhani ini
berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang meletakkan posisi maslahat
sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam (Lihat:
Al-Muwâfaqât, II/2-3).
Maqâshid asy-Syarî‘ah: Tujuan Syariat Keseluruhan
Prinsip kedua konsep An-Nabhani dalam maqâshid asy-syarî‘ah adalah
bahwa maqâshid asy-syarî‘ah (yaitu mewujudkan kemaslahatan) merupakan
tujuan dari syariat secara keseluruhan (ka-kull), bukan tujuan syariat
sebagai satu persatu hukum (li kulli hukmin bi ‘aynihi). Dengan kata
lain, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara
keseluruhan, bukan hasil penerapan dari masing-masing hukum.
Pandangan ini juga berbeda dengan pandangan Asy-Syatibi yang
berpendapat bahwa kemaslahatan adalah ‘illat bagi syariat, baik secara
keseluruhan maupun satu demi satu hukum secara rinci (Lihat:
Al-Muwâfaqât, II/3).
Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS
Al-Anbiya’ (21) ayat 107 di atas, yang menurutnya dengan jelas
menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari
keseluruhan risalah. Tidak ada dalâlah (petunjuk) apa pun dari ayat
tersebut atau ayat lainnya (misal QS Al-Isra’ [17]: 82) bahwa maslahat
merupakan tujuan masing-masing hukum (An-Nabhani, 1953: 359-361).
Karena itu, An-Nabhani mengatakan, akan kita dapati ketika Asy-Syâri‘
(Allah) menerangkan maqâshid asy-syarî‘ah dari syariah sebagai
keseluruhan, Dia juga menerangkan tujuan dari masing-masing hukum pada
banyak hukum, yang bersifat khusus, yang hanya hanya bisa diketahui
melalui dalil topik yang bersangkutan. Misalnya, tujuan pensyariatan
haji adalah agar manusia menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka (QS
al-Hajj [22]: 28); tujuan pengharaman khamr dan judi adalah agar tidak
terjadi permusuhan dan kebencian antar manusia (QS al-Maidah [5] : 91);
tujuan shalat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar
(QS al-Ankabut [29]: 45), dan seterusnya. Dari sini, jelaslah bahwa
dihasilkannya rahmat (maslahat) hanya dihasilkan dari syariat secara
keseluruhan, bukan syariat sebagai satu demi satu hukum. Dengan kata
lain, tidak tepat dikatakan bahwa tujuan setiap nash syariat adalah
mencapai kemaslahatan, karena kadang nash-nash syariat menjelaskan
tujuan (hikmah)-nya secara khusus, seperti telah dicontohkan. Jika kita
mengatakan bahwa tujuan setiap hukum (satu-persatu) adalah untuk
memperoleh maslahat, maka ini hanya ditunjukkan oleh dalil akli, bukan
oleh dalil syariat. Padahal, berbicara tentang hukum syariat haruslah
didasarkan pada dalil syariat, bukan dalil akli.
Hikmah Tidak Selalu Terwujud
Prinsip ketiga An-Nabhani dalam konsep maqâshid asy-syarî‘ah adalah
bahwa hikmah (akibat) penerapan syariat kadang terwujud dan kadang tidak
terwujud. Jadi, ketika Allah menerangkan bahwa tujuan pensyariatan
suatu hukum adalah begini, maksudnya Allah memberitahukan bahwa
hikmahnya begini. Tidak berarti Allah mengatakan tujuannya pasti
terwujud begini. Misalnya, menyaksikan manfaat adalah hikmah ibadah haji
(QS al-Hajj [22]: 28). Namun kenyataannya, jutaan orang berhaji tidak
menyaksikan manfaat bagi mereka. Mengenai khamr dan judi, Allah
menerangkan keduanya dapat memunculkan kebencian dan permusuhan di
antara manusia (QS Al-Maidah [5]: 91). Namun faktanya, banyak penenggak
khamr dan para penjudi rukun-rukun saja, tidak ada permusuhan dan
kebencian di antara mereka.
Prinsip ketiga ini mengandung maksud, bahwa tujuan-tujuan hukum ini
tidak boleh dijadikan sebagai ‘illat. Kalau dijadikan ‘illat, maka
kewajiban haji akan bergantung pada ada-tidaknya manfaat yang diperoleh
jamaah haji. Jika ada manfaatnya, haji hukumnya wajib, dan jika tak ada
manfaatnya, haji menjadi tidak wajib. Keharaman khamr dan judi juga akan
bergantung pada ada-tidaknya permusuhan dan kebencian di antara
pelakunya. Jika ada permusuhan maka khamr dan judi haram, jika harmonis
dan rukun-rukun saja maka khamr dan judi menjadi mubah. Tentu ini tidak
benar.
Atas dasar itu, prinsip ketiga ini semakin menegaskan, bahwa maqâshid
asy-syarî‘ah (tujuan syariat) sesungguhnya bukanlah ‘illat atau motif
pensyariatan hukum, melainkan hikmah atau hasil (natijah) dari penerapan
hukum (An-Nabhani, 1953: 365).
Hikmah Hanya Diketahui Secara Syar‘î
Prinsip keempat konsep maqâshid asy-syarî‘ah An-Nabhani adalah bahwa
hikmah dari penerapan syariat hanya diketahui berdasarkan nash syariat,
bukan berdasarkan akal. Sebab, yang menetapkan syariat adalah Allah
sehingga hanya Allah saja yang mengetahui tujuan pensyariatannya.
Tidaklah mungkin bagi kita, baik secara akli maupun syar‘î, dapat
mengetahui hikmah (tujuan) suatu hukum, kecuali jika kita mengetahuinya
melalui nash, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah (An-Nabhani, 1953:
366).
Jadi, tepat jika kita mengatakan bahwa hikmah puasa adalah untuk
membentuk ketakwaan, sebab ini ditunjukkan oleh nash (QS al-Baqarah [2]:
183). Namun tidak tepat jika dikatakan, hikmah puasa adalah agar kita
bisa turut menghayati kehidupan kaum miskin yang sering kelaparan,
karena ini hanya perkiraan akal, tidak ada nash yang menunjukkannya.
Implikasi
Apa implikasi dari prinsip-prinsip maqâshid asy-syarî‘ah menurut
Taqiyuddin An-Nabhani di atas? Di antaranya adalah tidak menjadikan
maslahat sebagai dalil hukum syariat. Jadi, tidaklah benar apa yang
dikatakan sebagai kaidah fikih: Aynama takûnu al-maslahah fa tsamma
syar‘ullâh (Dimana ada maslahat, disana ada hukum Allah) (Al-Khayyath,
1982). Kaidah itu, di samping sangat lemah dalilnya, juga berbahaya
ketika diterapkan pada masyarakat kapitalistik saat ini yang didominasi
paham utilitarianisme atau pragmatisme, yang menjadikan manfaat sebagai
standar untuk mengukur salah benarnya perbuatan (Athiyat, 1996: 103-104;
Suparman & S. Malian, 2003: 45-49). Bisa saja kemudian bunga bank
yang sebenarnya termasuk riba yang haram, lalu dianggap mubah hanya
karena maslahat (Al-Qardhawi, 2002: 54; Az-Zuhaili, 1996: 336).
Implikasi penting lainnya, bahwa maqâshid asy-syarî‘ah haruslah
secara disiplin diketahui berdasarkan nash, bukan dari rekayasa akal,
apalagi melalui manipulasi akal. Jadi, ketika dikatakan bahwa ‘menjaga
agama’ maksudnya adalah ‘menjaga kebebasan beragama’, atau ‘menjaga
akal’ artinya ‘menjaga kebebasan berpikir’, jelas ini kesimpulan
akal-akalan; tidak ada nilainya dalam pandangan syariat. Di samping itu,
pemaknaan tersebut sebenarnya adalah penafsiran sesuka hati tanpa
landasan dan metodologi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Itu
hanya fantasi intelektual murahan, yang dilakukan oleh orang yang tidak
malu untuk melakukan kedustaan dan manipulasi kebenaran. [M. Shiddiq Al-Jawi]
*Pernyataan ini penulis dengar langsung dari Ulil Abshar Abdalla,
koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal), saat penulis satu forum
dengannya sebagai panelis dalam diskusi panel di Unissula, Semarang,
Sabtu, 9 Agustus 2003.
Sabtu, 9 Agustus 2003.
Daftar Pustaka
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qanûn al-Wadh‘î. Beirut: Mu’assah Ar-Risalah.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram (Fawâ’id al-Bunûk Hiya ar-Ribâ al-Harâm). Alih bahasa Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah. Juz III (Ushûl al-Fiqh). Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Ta‘lîq [Komentar] oleh Muhammad Al-Hidhr Husain. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
Athiyat, Ahmad. 1996. Ath-Tharîq: Dirâsah Fikriyyah fî Kayfiyah al-‘Amal li Taghyîr Wâqi‘ al-Ummah wa Inhâdhihâ. Beirut: Darul Bayariq.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
———-. 1996. ‘Fawâ’id al-Masharif (Al-Bunûk) Harâm Harâm Harâm.’ Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). hlm. 336-359. Beirut: Darul Fikr.
Suparman & S. Malian. 2003. Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Yogayakarta: UII Press.
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qanûn al-Wadh‘î. Beirut: Mu’assah Ar-Risalah.
Al-Qardhawi, Yusuf. 2002. Bunga Bank Haram (Fawâ’id al-Bunûk Hiya ar-Ribâ al-Harâm). Alih bahasa Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah. Juz III (Ushûl al-Fiqh). Al-Quds: Min Mansyurat Hizb at-Tahrir.
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm. Ta‘lîq [Komentar] oleh Muhammad Al-Hidhr Husain. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
Athiyat, Ahmad. 1996. Ath-Tharîq: Dirâsah Fikriyyah fî Kayfiyah al-‘Amal li Taghyîr Wâqi‘ al-Ummah wa Inhâdhihâ. Beirut: Darul Bayariq.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz II. Beirut: Darul Fikr.
———-. 1996. ‘Fawâ’id al-Masharif (Al-Bunûk) Harâm Harâm Harâm.’ Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). hlm. 336-359. Beirut: Darul Fikr.
Suparman & S. Malian. 2003. Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika. Yogayakarta: UII Press.
Posting Komentar untuk "Menimbang Kembali Maqasid Syariah"