Kapan HTI Ikut Pemilu?
Sudah tidak terhitung banyaknya wartawan, peneliti dan diplomat dari
luar Indonesia yang bertemu dengan Jubir HTI, Muhammad Ismail Yusanto,
untuk mendapatkan informasi lebih mendalam tentang Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Mengapa mereka perlu mencari tahu tentang HTI?
Penjelasan salah seorang peneliti dari ANU (Australian National
University), Canberra, Australia yang berulang-kali mewawancarai Jubir
HTI, kiranya bisa mewakili.
Katanya, setelah era Orde Baru berakhir dengan tumbangnya pemerintahaan Soeharto, praktis landscape perpolitikan Indonesia berubah total. Jika dulu hanya ada tiga parpol dengan azas yang sama, kini ada puluhan partai politik dengan asas yang beragam, termasuk adanya sejumlah partai yang berasas Islam. Jika dulu ormas Islam yang dikenal hanya NU, Muhammadiyah dan lainnya, kini muncul sejumlah ormas baru, di antaranya HTI, dengan gagasan dan aksi yang lebih lugas muncul mewarnai dinamika umat Islam Indonesia. Dalam hal ini, termasuk mencuatnya ide yang pada masa Orde Baru dulu praktis tidak mungkin disuarakan, yakni tentang penerapan syariah bahkan pendirian kembali Khilafah Islam.
Jika dalam dialog atau wawancara kira-kira sejak tahun 2002 hingga tahun 2006/2007 pertanyaan-pertanyaan yang ada lebih bersifat menggali apa, mengapa dan bagaimana HTI—yang tentu diperlukan untuk mengenal sosok HTI, mulai tahun 2007 ada satu pertanyaan yang hampir tidak pernah ketinggalan dimajukan, yakni: kapan HTI akan ikut Pemilu? Itu pula yang ditanyakan oleh Dr. Rodd McGibbon, Senior Analyst, South East Asia Branch, Office of National Assessment dari Australia dan Gary Anderson PhD, Analis Spesialis Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di Departemen Luar Negeri Kanada (DFAIT), yang menjumpai Jubir HTI pada pekan ketiga bulan Februari 2008 lalu.
Kita tentu tidak tahu pasti apa yang ada dalam pikiran mereka. Namun, mencari tahu apakah HTI akan mengikuti Pemilu tampaknya menjadi hal penting buat mereka. Mengapa? Beberapa alasan bisa diduga, di antaranya: Pertama: Pemilu sering disebut sebagai moment of judgment (saat penentuan). Maksudnya, saat itulah sebuah partai politik akan ditentukan seberapa ia mendapatkan dukungan dari rakyat, yang itu berarti akan menunjukkan seberapa besar ia memiliki kekuatan politik dilihat dari berapa jumlah kursi di parlemen yang diperoleh. Makin besar kursi, tentu makin besar pula kekuatan politik yang dimiliki. Tanpa kursi, nihil pula kekuatan politik. Dengan cara itu, siapapun bisa menilai secara obyektif kekuatan sebuah partai politik. Tentu sangat menarik buat mereka untuk mengetahui, jika HTI ikut Pemilu, kira-kira berapa kursi yang bakal didapat?
Kedua: Pemilu juga sering dijadikan sebagai alat ukur seberapa besar sebuah orientasi politik mendapatkan tempat di hati masyarakat. Jika HTI ikut Pemilu, mereka akan bisa langsung menilai seberapa besar sesungguhnya gagasan yang dibawa oleh HTI, yaitu penerapan syariah dan penegakan Khilafah, mendapatkan dukungan rakyat. Sebanyak itu pula kemungkinan gagasan itu akan terwujud di tengah masyarakat.
Ketiga: Jika diandaikan bahwa corak sebuah negara ditentukan oleh pemerintahan dan kekuatan parlemen yang ada maka Pemilu juga sering dijadikan sebagai acuan untuk memperkirakan kira-kira seperti apa corak pemerintahan dan perkembangan politik sebuah negara ke depan. Jika partai politik Islam menang atau mendapatkan jumlah kursi cukup banyak, tentu kebijakan sebuah negara akan sangat dipengaruhi oleh ideologi atau setidaknya kepentingan dan aspirasi Islam. Dengan itu, mereka bisa memperkirakan kira-kira Indonesia akan seperti apa jika partai politik Islam seperti HTI mendapatkan suara cukup besar. Dari sana kemudian bisa ditentukan antisipasi seperti apa, baik menyangkut garis kebijakan politik, ekonomi maupun bidang lain, yang akan dilakukan oleh sebuah negara terhadap Indonesia.
Karena itu, menjadi penting untuk mengetahui sedari dini peta politik pra Pemilu untuk memperkirakan peta politik pasca Pemilu. Dengan kondisi Indonesia yang masih sangat dinamis dan belum sepenuhnya stabil, perubahan peta politik masih sangat mungkin akan terus terjadi. Pengetahuan dini akan menentukan kecepatan reaksi dan antisipasi. Untuk sebuah negara besar, AS misalnya, tentu menjadi sangat penting untuk menentukan langkah-langkah proaktif apa yang harus dilakukan sebelum semua kondisi yang tidak favourable (menyenangkan) itu terjadi.
Bagi banyak negara, Indonesia tampaknya terlalu sayang untuk diabaikan begitu saja. Indonesia, negara Muslim terbesar, kaya sumberdaya alam, strategis secara geopolitis. Karena itu, penting untuk terus dijaga agar negara yang sangat penting ini ’tidak jatuh ke arah orang lain’. Mereka khawatir, masuknya kekuatan politik Islam dalam kekuasaan akan membuat negara itu menjadi tidak mudah untuk terus diajak ’kerjasama’ (baca: untuk melayani kepentingan politik dan ekonomi mereka). Karena itu, mereka tentu akan berusaha dengan segala cara untuk mencegah naiknya kekuatan politik Islam dalam pentas negara.
Bagaimana Jawabnya?
Katanya, setelah era Orde Baru berakhir dengan tumbangnya pemerintahaan Soeharto, praktis landscape perpolitikan Indonesia berubah total. Jika dulu hanya ada tiga parpol dengan azas yang sama, kini ada puluhan partai politik dengan asas yang beragam, termasuk adanya sejumlah partai yang berasas Islam. Jika dulu ormas Islam yang dikenal hanya NU, Muhammadiyah dan lainnya, kini muncul sejumlah ormas baru, di antaranya HTI, dengan gagasan dan aksi yang lebih lugas muncul mewarnai dinamika umat Islam Indonesia. Dalam hal ini, termasuk mencuatnya ide yang pada masa Orde Baru dulu praktis tidak mungkin disuarakan, yakni tentang penerapan syariah bahkan pendirian kembali Khilafah Islam.
Jika dalam dialog atau wawancara kira-kira sejak tahun 2002 hingga tahun 2006/2007 pertanyaan-pertanyaan yang ada lebih bersifat menggali apa, mengapa dan bagaimana HTI—yang tentu diperlukan untuk mengenal sosok HTI, mulai tahun 2007 ada satu pertanyaan yang hampir tidak pernah ketinggalan dimajukan, yakni: kapan HTI akan ikut Pemilu? Itu pula yang ditanyakan oleh Dr. Rodd McGibbon, Senior Analyst, South East Asia Branch, Office of National Assessment dari Australia dan Gary Anderson PhD, Analis Spesialis Asia Tenggara, khususnya Indonesia, di Departemen Luar Negeri Kanada (DFAIT), yang menjumpai Jubir HTI pada pekan ketiga bulan Februari 2008 lalu.
Kita tentu tidak tahu pasti apa yang ada dalam pikiran mereka. Namun, mencari tahu apakah HTI akan mengikuti Pemilu tampaknya menjadi hal penting buat mereka. Mengapa? Beberapa alasan bisa diduga, di antaranya: Pertama: Pemilu sering disebut sebagai moment of judgment (saat penentuan). Maksudnya, saat itulah sebuah partai politik akan ditentukan seberapa ia mendapatkan dukungan dari rakyat, yang itu berarti akan menunjukkan seberapa besar ia memiliki kekuatan politik dilihat dari berapa jumlah kursi di parlemen yang diperoleh. Makin besar kursi, tentu makin besar pula kekuatan politik yang dimiliki. Tanpa kursi, nihil pula kekuatan politik. Dengan cara itu, siapapun bisa menilai secara obyektif kekuatan sebuah partai politik. Tentu sangat menarik buat mereka untuk mengetahui, jika HTI ikut Pemilu, kira-kira berapa kursi yang bakal didapat?
Kedua: Pemilu juga sering dijadikan sebagai alat ukur seberapa besar sebuah orientasi politik mendapatkan tempat di hati masyarakat. Jika HTI ikut Pemilu, mereka akan bisa langsung menilai seberapa besar sesungguhnya gagasan yang dibawa oleh HTI, yaitu penerapan syariah dan penegakan Khilafah, mendapatkan dukungan rakyat. Sebanyak itu pula kemungkinan gagasan itu akan terwujud di tengah masyarakat.
Ketiga: Jika diandaikan bahwa corak sebuah negara ditentukan oleh pemerintahan dan kekuatan parlemen yang ada maka Pemilu juga sering dijadikan sebagai acuan untuk memperkirakan kira-kira seperti apa corak pemerintahan dan perkembangan politik sebuah negara ke depan. Jika partai politik Islam menang atau mendapatkan jumlah kursi cukup banyak, tentu kebijakan sebuah negara akan sangat dipengaruhi oleh ideologi atau setidaknya kepentingan dan aspirasi Islam. Dengan itu, mereka bisa memperkirakan kira-kira Indonesia akan seperti apa jika partai politik Islam seperti HTI mendapatkan suara cukup besar. Dari sana kemudian bisa ditentukan antisipasi seperti apa, baik menyangkut garis kebijakan politik, ekonomi maupun bidang lain, yang akan dilakukan oleh sebuah negara terhadap Indonesia.
Karena itu, menjadi penting untuk mengetahui sedari dini peta politik pra Pemilu untuk memperkirakan peta politik pasca Pemilu. Dengan kondisi Indonesia yang masih sangat dinamis dan belum sepenuhnya stabil, perubahan peta politik masih sangat mungkin akan terus terjadi. Pengetahuan dini akan menentukan kecepatan reaksi dan antisipasi. Untuk sebuah negara besar, AS misalnya, tentu menjadi sangat penting untuk menentukan langkah-langkah proaktif apa yang harus dilakukan sebelum semua kondisi yang tidak favourable (menyenangkan) itu terjadi.
Bagi banyak negara, Indonesia tampaknya terlalu sayang untuk diabaikan begitu saja. Indonesia, negara Muslim terbesar, kaya sumberdaya alam, strategis secara geopolitis. Karena itu, penting untuk terus dijaga agar negara yang sangat penting ini ’tidak jatuh ke arah orang lain’. Mereka khawatir, masuknya kekuatan politik Islam dalam kekuasaan akan membuat negara itu menjadi tidak mudah untuk terus diajak ’kerjasama’ (baca: untuk melayani kepentingan politik dan ekonomi mereka). Karena itu, mereka tentu akan berusaha dengan segala cara untuk mencegah naiknya kekuatan politik Islam dalam pentas negara.
Bagaimana Jawabnya?
Hizbut Tahrir Indonesia memang adalah sebuah partai politik. Tujuannya tidak lain adalah untuk melanjutkan kehidupan Islam, yakni tegaknya kembali kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah dalam naungan Daulah khilafah. Karenanya, bagi Hizbut Tahrir, yang paling penting adalah bagaimana mendorong terjadinya perubahan ke arah itu. Dasar dari semua perubahan tidak lain adalah dukungan umat. Maksudnya, hanya umat yang memiliki kesadaran politik Islam sajalah yang akan mampu menggerakkan atau digerakkan menuju perubahan. Karena itu, menjadi fokus bagi HTI untuk bagaimana terus-menerus meningkatkan kesadaran umat.
Hizbut Tahrir Indonesia hingga sekarang tidak atau belum mengambil keputusan untuk mengikuti Pemilu atau tidak. Sebagai uslûb, Pemilu bisa diambil atau tidak. Jika perubahan bisa dilakukan tidak harus melalui Pemilu, mengapa Pemilu mesti menjadi keharusan? Bagi HTI Pemilu tetap merupakan uslûb dan tidak akan berubah menjadi tharîqah (metode yang baku) dalam mewujudkan perubahan.
Walhasil, yang penting adalah bagaimana perubahan itu terjadi, yang basisnya tidak lain adalah dukungan umat. Itu hanya mungkin berasal dari umat yang sadar.
Begitulah kira-kira jawaban diberikan kepada mereka. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]
Posting Komentar untuk "Kapan HTI Ikut Pemilu?"