Hukum Islam Tentang Patung dan Gambar
Sebelumnya perlu dijelaskan dulu dua istilah fiqih yang terkait hukum patung atau gambar. Pertama, istilah tashwiir, yang berarti perbuatan membuat bentuk sesuatu (rasm shuurah al syai`). Perbuatan yang disebut tashwiir
ini tak terbatas membuat bentuk sesuatu yang mempunyai dua dimensi (tak
mempunyai bayangan) seperti membuat lukisan, melainkan termasuk juga
yang mempunyai tiga dimensi (mempunyai bayangan), seperti membuat
patung. Istilah tashwiir juga mencakup pula mengukir/menatah/memahat (Arab : an naht).
Namun istilah tashwiir tak mencakup fotografi. Kedua, istilah shuurah (jamaknya shuwar), yang berarti benda hasil dari perbuatan tashwiir, yang tak terbatas pada pengertian “gambar” (dua dimensi), melainkan juga termasuk “patung” (Arab : timtsaal) yang mempunyai tiga dimensi. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 100; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/92-93).
Hukum tashwiir dengan objek makhluk yang bernyawa, seperti manusia atau binatang, yang paling rajih (kuat) adalah haram, baik tashwiir
dalam arti membuat patung, maupun dalam arti menggambar, baik objeknya
utuh yang memungkinkan hidup, maupun tak utuh yang tak memungkinkan
hidup (misal hanya tubuh tanpa kepala). Semuanya haram hukumnya. Ini
adalah pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Hambali, dan Syafi’i.
Pendapat inilah yang dianggap paling rajih oleh Imam Taqiyuddin An Nabhani, radhiyallahu ‘anhu. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/349; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/102).
Dalil keharamannya, adalah keumuman nash-nash hadits yang telah mengharamkan tashwiir. Di antaranya dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang membuat gambar/patung (shuurah),
maka Allah akan mengazabnya hingga orang itu mampu meniupkan ruh
(nyawa) ke dalam gambar/patung itu, padahal dia tak akan mampu meniupkan
ruh selama-lamanya.” (HR Bukhari, no. 2112 & 5618).
Dikecualikan dari haramnya tashwiir ini, adalah membuat
boneka untuk anak-anak, karena terdapat hadits-hadits shahih yang
membolehkannya. Dari ‘A`isyah RA dia berkata, “Dulu aku pernah bermain
boneka-boneka berbentuk anak perempuan di dekat Nabi SAW, waktu itu aku
punya beberapa teman perempuan yang suka bermain-main denganku.” (HR
Bukhari no. 5779 & Muslim no. 2440)
Adapun meletakkan gambar dengan objek bernyawa, hukumnya sbb :
Pertama, jika diletakkan di tempat ibadah, misalnya menjadi
sajadah untuk sholat, atau dijadikan tirai masjid, atau ditempel di
papan pengumuman masjid, hukumnya haram. Dalilnya hadits Ibnu Abbas RA
bahwa Nabi pernah tak mau masuk ke Ka’bah hingga beliau memerintahkan
menghapus gambar-gambar dua dimensi (shuwar) pada Ka’bah. (HR Bukhari no. 3174; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/350).
Kedua, jika tak diletakkan di tempat ibadah, misalnya di rumah atau kantor, maka ada rinciannya :
(1) hukumnya makruh, jika diletakkan di tempat terhormat, misalnya
dijadikan gordin, ditempel di dinding, terdapat di baju (seperti batik).
Dalilnya, ada larangan Nabi SAW karena beliau pernah mencabut tirai
rumah bergambar yang dipasang ‘A`isyah RA. (HR Muslim no 2107). Namun
larangan itu tak jazim/tegas, atau hukumnya makruh, karena
malaikat tetap masuk ke dalam rumah yang ada gambarnya (dua dimensi),
sesuai sabda Nabi SAW, “Malaikat tak akan masuk ke dalam rumah yang ada
anjingnya atau patungnya,” lalu dalam hadits itu Nabi SAW
mengatakan,”Kecuali gambar yang ada pada kain.” (HR Muslim no 2106).
(2) hukumnya mubah jika diletakkan di tempat tak terhormat, misalnya
dijadikan keset, sarung bantal, sprei, dsb. Dalilnya hadits ‘A`isyah RA
bahwa dia memasang tirai yang ada gambarnya, lalu Nabi SAW masuk rumah
dan mencabut tirai itu. ‘A`isyah berkata,’Lalu aku jadikan tirai itu dua
bantal dan Nabi bersandar pada keduanya.” (HR Muslim no 2107).
(Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakshiyyah Al Islamiyyah, 2/353-355). Wallahu a’lam. [KH. Muh. Shiddiq Al-Jawi]
Posting Komentar untuk "Hukum Islam Tentang Patung dan Gambar"