Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wartawati Australia Ini Rela Menggunakan Niqab Untuk Mengukur Kadar Islamofobia di Australia

Seorang jurnalis wanita di salah satu koran Sydney pada tahun 2010 menyamar sebagai seorang Muslimah bercadar untuk mengukur kadar Islmofobia di Ausralia. Kini, seiring bergulirnya waktu, video dokumenter mengenai penyamarannya tersebut kembali beredar secara viral di Youtube sejak Ahad (28/9/2014).

Setelah video tersebut ditayangkan pada Konferensi Khilafah di Australia pada tahun 2010, kini pengunggahannya pada youtube kembali menyadarkan Muslimah sedunia. Banyak kalangan di media sosial, termasuk komunitas Muslimah Australia sangat menyayangkan perlakuan warga non-Muslim terhadap Muslimah cadaris tersebut.

Ilustrasi
Qanitat Internasional bahkan menyatakan pada Senin (29/9) bahwa, “tindakan opresif pemerintah Australia harus bertanggung jawab atas diberlakukannya operasi anti-terorisme yang akhirnya menjadikan wanita Muslim diasingkan dan dihinakan masyarakat karena pakaian yang dikenakannya.”

Terlebih setelah seorang jurnalis The Daily Telegraph, sebuah koran yang dikenal memberitakan kabar secara tidak akurat, secara sensasional mengkriminalkan Islam dan Muslim. Pada laporan tersebut, niqab (cadar) dan jilbab yang dikenakan Muslimah adalah penyebab penggunanya dibenci masyarakat, bukan karena rezim Abbot yang ketika itu menggelar kebijakan anti-terorisme yang kebablasan. Maka, dengan menyamar sebagai seorang Muslimah bercadar, wartawati Sydney itu melawan monsterisasi yang dilakukan The Daily Telegraph.

Ia mulai menyamar menjadi cadaris dari Central Station selama dua hari, sebagai tugas jurnalistik dari editornya. Saat itu ia diminta untuk melakukan investigasi ringan atas reaksi masyarakat Sydney terhadap cadaris di dua lokasi. Penyamaran ini berlangsung dengan penuh intrik dan berakhir di jalanan Lakemba’s Muslim community.

Di jalanan Centra Station sang wartawati merasa bahwa ia “dibenci, dan secara total diasingkan seantero alam, sangat tersembunyi dan sendiri.” Saat ia menunggu kereta, ia telah terbiasa dengan identitas “barunya”, tetapi kepercayaan dirinya tetiba terbunuh ketika seorang pria berteriak, “dirty religion”, kepadanya. Saat itu, semua orang mulai menatapnya penuh kecurigaan. Ia merasa dibully, perlakuan itu sangatlah tidak adil. Ia mulai merasa rapuh dan kedua kakinya mulai melemas, tak kuasa menuruni tangga stasiun. Namun, demi misinya, maka ia teruskan.

Allah maha adil, di balik kesulitannya, Allah sisipkan kemudahan. Di jalanan Lakemba, dalam niqobnya ia merasa menjadi bagian dari masyarakat Muslim disana. Hingga di sebuah toko kelontong ia coba bertanya kepada pemiliknya, dimana ia bisa mendapatkan hamburger dengan gugup. Namun semua rasa itu meluntur, setelah wanita pemilik toko menyapa dengan ramah dan menanyakan apakah ia seorang “ozie“, sebutan slang untuk warga Australia.

“Ya,” ia menjawab dan berterima kasih kepadanya sebelum meninggalkan toko.

Setelah itu, sang wartawati mencoba menelusuri trotoar Lakemba. Hingga akhirnya ia terhenti di sebuah toko pakaian dan mencoba untuk tidak tergiur membeli. “Sebab tak ada orang melihat-lihat sebuah toko sampai dua kali,” aku cadaris penyamar dalam hati.

Dan tetiba tersirat dalam benaknya, bahwa tantangan seorang Muslimah yang terberat adalah ketika ia harus berinteraksi langsung dengan kebudayaan dan kode sosial barat, jauh dari kampung halaman dan komunitasnya. Seperti yang ia rasakan di Center Station, sebelumnya.

Setiap cabaran yang ditujukan atas pakaian Muslim yang dikenakannya adalah konsekuensi dari kekuatan seorang Muslimah menjaga identitasnya, bukan wujud kelemahannya. Semakin besar tekad seorang Muslimah menutup auratnya, semakin besar pula tantangannya di dunia sosial yang sudah “kebarat-baratan” ini.

Dengan demikian, sang wartawati membuktikan peran media dalam membela kaum yang tertindas oleh kebijakan yang merugikan. Dalam kesimpulan investigasinya, ia mengatakan bahwa “membulatkan tekad yang kuat bagi Muslimah guna melawan strategi opresif yang dirancang pemerintah barat merupakan pertempuran yang harus terus dihadapi setiap hari.” Terlebih program-program anti-terorisme yang dicanangkan AS dan didesiminasikan ke seluruh dunia begitu memonsterkan Muslimah bercadar. Subhanallah.

Maka Muslimah, pesan wartawati tersebut begitu jelas. Sebuah kemunduran jika kita menaikkan jilbab demi diterima masyarakat, sebuah karier atau sekadar prestasi duniawi. Sebaliknya, adalah sebuah kemajuan, jika kita ulurkan hijab serapat-rapatnya, sesuai kemampuan terbaik kita. Apa sebab? Karena bidadari surga cemburu padamu, ketika Allah janjikan Jannah nan semerbak indah menantimu. Insyaa Allah. [arrahmah/visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Wartawati Australia Ini Rela Menggunakan Niqab Untuk Mengukur Kadar Islamofobia di Australia"

close