Antara Qadhi al-Qudhat al-Mawardi dan Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani

Nama lengkapnya adalah ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. Nama kunyah-nya adalah Abu al-Hasan, dan populer dengan nama al-Mawardi. Al-Mawardi dinisbatkan kepada pembuatan dan penjualan air mawar (al-warad), dimana keluarganya populer dengan sebutan itu.

Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 364 H. Beguru kepada ulama’ Bashrah di zamannya, Abu al-Qasim as-Shumairi (w. 386). Setelah as-Shumairi wafat, beliau melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu di Baghdad, yang nota bene, ketika itu menjadi pusat pengetahuan dan tsaqafah di zamannya. Di sana, beliau belajar kepada ulama’ besar dan terkemuka Baghdad, Abu al-Hamid al-Isfirayini (w. 406 H). Boleh dikatakan, al-Mawardi telah menjadi murid spesialnya.

ilustrasi
Beliau belajar bahasa dan sastra kepada Imam Abu Muhammad al-Bafi (w. 398 H). Beliau orang yang paling alim di zamannya dalam bidang Nahwu, sastra dan Balaghah, luar biasa dalam menyampaikan ceramah. Al-Mawardi sangat terpengaruh dengan kehebatan gurunya ini. Karena itu, beliau banyak menimba dari ulama’ ini.

Al-Mawardi adalah salah seorang fuqaha’ mazhab Syafii, yang sudah sampai pada level Mujtahid. Beliau sangat konsisten mengikuti mazhab Syafii sepanjang hayatnya. Belum ada satu bukti pun yang bisa digunakan untuk membuktikan kepindahannya dalam salah satu fase hidupnya ke mazhab yang lain. Ini tampak pada karyanya di bidang fikih, yang dihasilkannya. Kesibukannya untuk mengajar, menghasilkan karya-karya fikih telah mengantarkannya pada jabatan Qadhi al-Qudhat (Kepala Hakim) pada tahun 429 H. Bahkan, juga mengantarkannya sebagai pemimpin mazhab Syafii di zamannya.

Gaya penulisannya sangat jelas dan lugas. Pilihan kata dan maknanya juga sangat jelas. Susunan kata dan redaksinya juga serasi. Tidak hanya itu, beliau juga dikenal dengan akhlaknya yang tinggi, dan mempunyai rekam jejak pergaulan yang besih. Dengan karunia umur yang panjang hingga 86 tahun, wafat tahun 450 H, di tengah berbagai kesibukannya, beliau termasuk ulama’ yang mewariskan khazanah keilmuan yang luar biasa kepada umat Islam.

Karya al-Imam al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat al-Mawardi, rahimahu-Llah, meliputi berbagai bidang keilmuan. Meski perhatiannya yang paling besar beliau curahkan untuk fikih. Di antara karyanya di bidang fikih adalah: al-Iqna’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Hawi, Qawanin al-Wuzara’, Tashil an-Nadhr, dan Ta’jil ad-Dzafr. Karya-karya ini terbukti merupakan karya al-Mawardi, dan telah dinyatakan dengan jelas dan lugas dalam kitab-kitab Tarjamah dan Thabaqat as-Syafiiyah.

Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, merupakan kitab yang ditulis oleh al-Mawardi atas permintaan Khalifah di zamanannya, yaitu al-Qa’im bi Amri-Llah (422-467 H). Meski tidak ada bukti secara autentik, bahwa Khalifah al-Qa’im bi Amri-Llah yang meminta beliau, sebagaimana Abu Yusuf menulis kitabnya, al-Kharaj, atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid, namun melihat kedudukannya sebagai Qadhi Qudhat tahun 429 H, yang tak lain adalah era Khalifah Khalifah al-Qa’im bi Amri-Llah, maka kemungkinan itu sangat kuat.

Hukum-hukum yang dituangkan dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh al-Mawardi:

“Saya sengaja mengkhususkan sebuah kitab untuk membahas hukum-hukum yang terkait dengan kekuasaan, yang berisi perkara memang wajib ditaati, agar berbagai mazhab para fuqaha’ bisa diketahui, dan apa yang menjadi hak dan kewajibannya bisa dipenuhi, supaya adil pelaksanaan dan keputusannya..”[1]

Karena itu, di dalam kitab ini beliau membahas kaidah tentang sistem politik, administrasi, keuangan, peperangan dan sosial di dalam Negara Khilafah di zamannya. Dalam penulisannya, beliau berpijak pada al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, sebagaimana dalil yang lazim digunakan di kalangan mazhab Syafii. Beliau juga menjelaskan berbagai pandangan mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik dan tentu Imam Syafii sendiri. Sementara mazhab Hanbali boleh dibilang tidak disinggung sama sekali. Mungkin karena Imam Ahmad lebih dekat sebagai Ahli Hadits, ketimbang sebagai fuqaha’.

Boleh jadi karena alasan itulah, maka al-‘Allamah Qadhi al-Qudhat, Abu Ya’la al-Farra’ (w. 458) menulis kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, dengan judul dan isi yang kurang lebih sama untuk menjelaskan hukum-hukum yang sama, tetapi berdasarkan mazhab Hanbali, agar Khalifah di zamannya juga mengetahui pandangan mazhab Hanbali, dan bisa menunaikan apa yang menjadi hak dan kewajibanya.

Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Imam al-Mawardi ini terdiri dari dua puluh bab, antara lain, tentang akad Imamah, pengangkat Wizarat (pembantu Khalifah), bukan wizarat dengan konotasi kementerian seperti dalam sistem Demokrasi, pengangkat Imarah ‘ala al-Bilad (kepala daerah), pengkatan Imarah ‘ala al-Jihad (komando jihad), dan sebagainya. Termasuk bab tentang penetapan Jizyah dan Kharaj, hukum Ihya’ al-Mawat (menghidupkan tanah mati), eksplorasi air (termasuk tambang), Hima dan Irfaq (proteksi lahan dan kepemilikan umum), hingga Diwan (administrasi), Ahkam al-Jara’im (hukum tindak kriminal), dan Hisbah.

Dilihat dari struktur pembahasannya, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah memang memuat hukum-hukum yang oleh penulisnya dianggap sangat dibutuhkan oleh para penguasa, khususnya Khalifah dan jajarannya, di satu sisi, agar bisa menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. Di sisi lain, juga bisa menjadi pegangan masyarakat, agar mengetahui apa yang menjadi haknya, dan kewajiban para penguasa itu terhadap diri mereka. Dengan begitu, mereka mempunyai pedoman untuk melakukan check and balance.

Namun, kitab ini masih mencampuradukkan hukum-hukum syara’ yang membahas sistem pemerintahan (Nidzam al-Hukm), sistem ekonomi (an-Nidzam al-Iqtishadi), sanksi hukum (Nidzam al-‘Uqubat), termasuk masalah administrasi dalam satu kitab. Karena itu, jika kita simpulkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini sebagai kitab yang khusus membahas tentang sistem pemerintah, sebenarnya tidak tepat. Karena di dalamnya ada juga pembahasan tentang hukum lain. Tetapi, ini bisa dimaklumi, karena sistematika keilmuan dan sistem di era itu belum se detail saat ini.

Konsekuensinya, jika kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini kita implementasikan pada saat ini, tentu kurang sistematis. Meski, isinya cukup memadai berbagai pembahasan yang dibutuhkan, termasuk sebagai referensi awal dan autentik. Dikatakan sebagai sebagai referensi awal, karena ini merupakan salah kitab paling awal yang membahas sistem pemerintahan. Dikatakan autentik, karena kitab ini sekaligus menjadi dokumen autentik untuk menjawab keraguan orang yang selama ini menuduh, bahwa Khilafah tidak ada. Sistem Khilafah tidak jelas. Khilafah tidak wajib, dan tuduhan-tuduhan bodoh lainnya.

Karena itu, bisa dimengerti, jika saat ini kita membutuhkan referensi lain, selain kitab ini, sebagai pelengkap sekaligus menjawab kebutuhan modern yang belum terjawab dengan lugas dan jelas dalam kitab ini. Inilah yang kemudian bisa kita temukan dalam kitab al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llah (w. 1977 M), Nidzam al-Hukm fi al-Islam. Kitab yang terakhir ini bisa dikatakan sebagai sistemisasi karya al-Mawardi dalam konteks kekinian, sekaligus menjawab apa yang belum ada di zamannya, dan dibutuhkan ijtihad baru. Istilah Wazir Tafwidh dan Wazir Tanfidz, yang digunakan oleh al-Mawardi, misalnya, digunakan oleh an-Nabhani, tetapi dengan konotasi yang tepat dan akurat dalam konteksnya. Karena itu, beliau istilahkan dengan Mu’awin Tafwidh dan Mu’awin Tanfidz. Karena, istilah Wazir di sini konotasinya Mu’awin, bukan konotasi “Menteri” dalam sistem Demokrasi.

Apa yang tampak tidak jelas dalam pembahasan al-Mawardi, seperti masalah Wilayatu al-‘Ahdi (putra mahkota), status hukumnya, dan bagaimana memahami keabsahannya sebagai proses transisi kekuasaan, juga didudukkan dengan tepat dan akurat oleh an-Nabhani. Meski dalil-dalil dan riwayat yang digunakannya sama, tetapi perspektif dan istimbat-nya berbeda. Dari sini, akhirnya kita tahu, apakah di dalam Islam mengenal putra mahkota, atau tidak? Kalau pun ada, bagaimana proses dan mekanismenya? Termasuk metode baku pengangkatan Khalifah, yang selama ini dianggap tidak jelas. Semuanya dibahas dengan lugas dan jelas.

Kembali kepada karya-karya al-Mawardi di bidang politik, dimana kitab ini bukan satu-satunya karya beliau, bisa disimpulkan, bahwa beliau fokus menjelaskan hukum-hukum fikih berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas dalam masalah ini. Beliau sangat sedikit sekali menggunakan syair, kata bijak dan metafor dalam kitabnya. Berbeda ketika kita membaca kitabnya yang lain, seperti Adab ad-Dunya wa ad-Din. Di sini, kita akan menemukan banyak sekali syair, kata bijak dan metafor yang digunakan untuk mendukung pendapatnya.

Ini bisa dipahami, karena tujuan penulisan karya-karyanya di bidang politik ini memang berbeda dengan yang lain. Tetapi, ada yang menarik. Dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah ini, maupun karya fikih politik beliau yang lain, beliau sama sekali tidak terpengaruh dengan teori-teori Socrates, Plato, Aristoteles atau filsuf Yunani lainnya. Meski, ketika itu buku-buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Dengan begitu, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Qadhi al-Qudhat al-Mawardi ini merupakan kitab rujukan penting. Namun, kitab ini mempunyai kedudukan dan kekuatan tersendiri. Selain penulisnya yang nota bene adalah Mujtahid, kitab ini ditulis oleh salah seorang pelaku sejarah, dengan jabatan Qadhi al-Qudhat, di zamannya. Karena itu, meski ini bukan rujukan satu-satunya, tetapi kitab ini penting, sekaligus menjadi dokumen autentik penerapan sistem pemerintahan Islam di dalam Negara Khilafah, di era Khilafah ‘Abbasiyyah.

Bogor, 23 Dzulhijjah 1435 H
17 Oktober 2014 M


KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Majelis Syaraful Haramain
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

Posting Komentar untuk "Antara Qadhi al-Qudhat al-Mawardi dan Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani"