Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mewujudkan Pemimpin Harapan Rakyat

Jika tidak ada halangan, Senin, 20 Oktober, Jokowi-JK akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden baru negeri ini. Ada pengopinian gencar bahwa Jokowi-JK adalah pasangan presiden dan wakil presiden harapan rakyat dan mendapat dukungan besar dari rakyat.

Harapan Rakyat?

Begitu besar propaganda bahwa Jokowi presiden harapan rakyat. Besar juga opini bahwa Jokowi bisa membawa masa depan baru untuk negeri ini. Banyak harapan yang digantungkan kepada Jokowi. Besarnya harapan rakyat menunjukkan bahwa kondisi negeri ini masih jauh dari harapan mereka. Karena itu rakyat menginginkan perubahan dan berharap perubahan itu bisa diwujudkan oleh pemimpin baru.

Ilustrasi - Pemimpin Harapan Rakyat
Di bidang politik dibangun mimpi bahwa negeri ini akan dihiasi dengan perilaku politik Parpol dan politisi yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Wakil rakyat dibayangkan benar-benar akan memperjuangkan aspirasi dan kemaslahatan rakyat.

Di bidang pemerintahan, diimpikan bahwa aparat yang berjiwa melayani bisa diwujudkan. Korupsi dan pungli bisa diberantas tuntas. Kepala daerah yang selama ini bertingkah bak raja kecil bisa berubah menjadi pemimpin yang mengayomi, peduli dan melayani. Mereka tak akan lagi sibuk “menjual dan menggadaikan” potensi daerah hanya demi mengisi kantong sendiri dan pihak yang memodali mereka. Mimpi lainnya, sistem birokrasi dan pelayanan yang berbelit dan menyulitkan bisa dibenahi.

Di bidang ekonomi, Jokowi-JK diharapkan dapat mengembalikan sistem perekonomian Indonesia sesuai dengan dasar konstitusi, yakni ekonomi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Diimpikan pula bahwa negeri ini akan bisa berdiri di atas kaki sendiri; kekayaan alam bisa dikelola mandiri untuk kemakmuran rakyat sendiri; pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan dan papan serta jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan dan rasa aman) bisa diwujudkan.

Di bidang sosial, melalui revolusi mental yang dijanjikan, diimpikan akan terwujud generasi yang berbudi; kerusakan moral yang terus terjadi bisa hentikan; kekerasan anak-anak seperti yang baru terjadi di Bukit Tinggi akan berhenti; pelajar akan tekun belajar dan tidak lagi terlibat tawuran, geng motor dan aneka bentuk kenakalan.

Masih banyak mimpi lain yang diharapkan bisa menjadi kenyataan dengan kedatangan presiden dan wakil presiden yang baru.

Hanya Mimpi

Secara politik, Jokowi-JK adalah presiden hasil dari proses politik demokrasi yang berbiaya tinggi. Bahkan banyak pihak mengakui, Pemilu terakhir ini dianggap yang paling “brutal” dari sisi kompetisi dan biaya politik. Jokowi-JK sendiri tentu tidak bisa lepas dari pembiayaan politik yang bersumber dari para pemilik modal, meski secara hukum materiil sulit dibuktikan. Padahal biaya politik tinggi itu dianggap sebagai salah satu sebab utama lahirnya perilaku politik parpol, politisi dan penguasa yang korup; lebih mementingkan diri sendiri, mengabdi pada pemodal dan tak benar-benar peduli rakyat. Sebaliknya, rakyat hanya dijadikan “jualan” saja.

Selain itu, sejak awal pencapresan, Jokowi mengklaim akan membentuk koalisi yang ramping dan tanpa syarat serta tanpa bagi-bagi kursi jabatan dan kekuasaan. Namun, tradisi yang ada menunjukkan, setiap koalisi tidak akan lepas dari bagi-bagi kursi dan jabatan. Akhirnya, Jokowi harus menelan ludah sendiri. Nyatanya, kesan pembagian kursi dan jabatan tetap terjadi. Lihat saja, kabinet yang akan dia bentuk, 16 di antaranya adalah jatah untuk orang-orang berlatar belakang parpol koalisinya, meski lantas dihiasi pemanis bahwa yang mengisi adalah profesional. Itulah bukti, belum memerintah saja, ternyata tak bisa memenuhi janji.

Di bidang ekonomi, sistem ekonomi liberal akan tetap diterapkan di negeri ini. Meski ada konsep Trisakti yang diusung Jokowi, hal itu tidak akan mengubah watak sistem ekonomi liberal yang diterapkan. Pasalnya, institusi-institusi ekonomi liberal sudah dipatenkan. Kekuasaan moneter ada di tangan BI. Kekuasaan keuangan ada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas jaminan sosial ada di tangan BPJS. Otoritas fiskal dalam bentuk pajak nantinya akan dipegang oleh Badan Penerimaan Negara yang akan segera didirikan. Itu artinya, kebijakan makro-ekonomi—yaitu moneter, sektor finansial dan jaminan sosial—tidak bisa dikendalikan oleh Presiden.

Sistem ekonomi liberal itu sudah dipatenkan melalui perundang-undangan neo-liberal. Semua UU itu akan membatasi dan mengatur Presiden. Di antara UU itu adalah UU BUMN No. 19 th. 2003, UU Penanaman Modal No. 25 th. 2007, UU Migas No. 22 th. 2001, UU Sumber Daya Air No. 7 th. 2004, UU Perikanan No. 31 th. 2003, UU Pelayaran No. 17 th. 2008, UU Tenaga Kerja No. 13 th. 2003, UU Sisdiknas No. 20 th. 2003, UU Sistem Budidaya Tanaman No. 12 th. 1992, UU Perlindungan Varietas Tanaman No. 29 th. 2000, UU Hutan Lindung Menjadi Pertambangan No. 19 th. 2004, UU Kelistrikan No. 20 th. 2002, UU Perkebunan No. 18 th. 2003, UU Otonomi Daerah No. 32 th. 2004, UU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang No. 17 th. 2007, UU Minerba No. 4 th. 2009, UU Pangan No. 18 th. 2012, UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan No. 2 th. 2012, UU Kesehatan No. 36 th. 2009, UU Pendidikan Tinggi No. 12 th. 2012 dan UU bercorak liberal lainnya.

Berbagai UU itu lahir sebagai hasil pendektean oleh pihak asing melalui LoI IMF, Adjusment Structural Program dan arahan-arahan dari Bank Dunia. Penyiapan dan penyusunannya di antaranya didanai dan disetir oleh asing melalui Bank Dunia, Asia Development Bank, USAID dan lembaga lainnya. Contohnya program FGSSR (Financial Governance and Social Security Reform), program Capital Market Development Programe, Strengthening Indonesia’s Capital Market dan program lainnya. Hasilnya adalah berbagai UU sektor ekonomi, keuangan, jaminan sosial dan tata kelola pemerintahan yang bercorak liberal. Semua UU bercorak liberal itu akan “memaksa” Presiden memerintah dan mengelola negeri ini dengan corak liberal. Lalu bagaimana jika penguasa sendiri secara personal memang penganut sistem liberal?

Apalagi sejak dini Jokowi-JK telah menyatakan menganut sistem neo-liberal itu. Hal itu tampak dari tekad—yang katanya sudah diputuskan—untuk mengurangi subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM. Tekad itu didukung penuh oleh Bank Dunia dan pihak asing. Padahal menurut survey, mayoritas rakyat tidak setuju dengan kenaikan harga BBM. Sejak awal, penghapusan subsidi (termasuk kenaikan harga BBM) adalah perintah IMF, Bank Dunia dan pihak asing, juga berdasarkan doktrin Washington Konsensus.

Dari semua itu, besar kemungkinan sistem liberal akan terus dilanjutkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Dengan itu, berbagai akibat buruk dari sistem itu bagi rakyat—tetapi baik bagi para pemilik modal dan pihak asing—akan terus berlanjut. Kekayaan alam pun akan tetap dalam kekuasaan asing. Tidak aneh jika Freeport optimistis bahwa pemerintah baru di bawah Jokowi-JK akan memberikan kabar baik mengenai perpanjangan kontrak Freeeport untuk mengeruk emas, perak dan tembaga di bumi Papua (lihat: Kompas.com, 14/10).

Dua Faktor Kunci

Hasil yang bisa dibayangkan dan diharapkan dari pemerintahan dan kepemimpinan seorang kepala negara dipengaruhi oleh dua hal. Pertama: sistem dan aturan yang digunakan untuk memerintah dan memimpin. Kedua: karakter dan kapasitas personal pemimpin itu.

Dalam hal pemerintahan dan kepemimpinan presiden dan wapres baru, yang bisa dipastikan terjadi hanyalah pergantian sosok pemimpin dan penguasa; dari SBY ke Jokowi. Adapun sistem dan aturannya masih tetap, tidak berubah. Padahal hasil sebuah pemerintahan itu lebih ditentukan oleh sistem dan aturannya. Pasalnya, pemimpin itu akan tetap dibatasi oleh sistem dan aturan itu. Sistem yang diterapkan sekarang ini, diakui oleh banyak pihak, adalah sistem yang buruk. Bisakah dari sistem yang buruk itu dihasilkan hasil yang baik? Rasanya sulit, bahkan mustahil. Kalaupun pribadi pemimpinnya baik (ini pun masih berupa anggapan), ketika dia menjalankan sistem yang buruk, maka maksimal dia hanya bisa mengurangi keburukan sistem itu, sementara hasilnya tetap tidak akan baik.

Hanya dengan Sistem Islam

Semua harapan dan mimpi rakyat hanya akan bisa diwujudkan melalui sistem Islam, yakni melalui penerapan syariah Islam secara total. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ﴾
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

Apa yang diserukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya adalah Islam dan syariahnya. Allah telah menjamin bahwa Islam dengan syariahnya itu akan memberikan kehidupan. Semua harapan dan mimpi rakyat di atas adalah “kehidupan” yang hanya akan bisa diwujudkan oleh Islam dan syariahnya ketika diterapkan secara total.

Dalam aspek non-fisik, penerapan Islam dan syariahnya itu akan mendatangkan kehidupan yang dihiasi dengan ketenteraman, kebaikan dan kebahagiaan. Pasalnya, penerapan Islam dan syariahnya oleh penduduk suatu negeri itu adalah perwujudan nyata dari keimanan dan ketakwaan penduduk negeri itu. Dengan itu maka keberkahan akan diturunkan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman:

﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾
Jika saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf [7]: 96)

Karena itu, jika kita memang memimpikan kehidupan yang baik—yang diliputi kemakmuran, ketenteraman, kebahagiaan dan keberkahan—maka hendaknya kita segera mewujudkan penerapan Islam dan syariahnya secara total di tengah kehidupan kita. Hal itu hanya sempurna dengan sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian sebagaimana yang telah disampaikan kabar gembiranya oleh Rasul saw.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 726, 23 Dzulhijjah 1435 H-17 Oktober 2014 M]

Posting Komentar untuk "Mewujudkan Pemimpin Harapan Rakyat"

close