Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mewujudkan Tatanan Ekonomi Dunia yang Menyejahterakan

Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada tahun 2015 nanti, menimbulkan pro dan kontra. Setidaknya inilah yang terjadi di Indonesia. Banyak kalangan yang menganggap bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 ini sebagai sebuah tantangan. Namun tidak sedikit pula yang menganggap ini sebagai sebuah ancaman.

Para pakar ekonomi nasional berkumpul di Hotel Sofyan Jakarta, Jum’at (10/10/2014), dalam Seminar Pakar Ekonomi Nasional yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia dengan tema Mewujudkan Tatanan Ekonomi Dunia yang Menyejahterakan (Telaah Kritis Terhadap Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015).

AEC/MEA 2015
Hendri Saparini, ekonom dari Core Indonesia pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa Indonesia sangat rajin mengikuti kerjasama, baik kerjasama internasional maupun bilateral. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa MEA adalah salah satu kerjasama ekonomi kawasan ASEAN. MEA juga bukan semata perdagangan bebas (free trade) barang dan jasa tetapi juga tenaga kerja. Saat ini ketika MEA belum diberlakukanpun, tenaga kerja India sudah masuk ke Indonesia. Merka bersaing dengan tenaga kerja Indonesia.

Arahan Barat

ASEAN memiliki posisi strategis dari aspek ekonomi, politik dan keamanan, hal ini yang kemudian menarik minat negara-negara Barat untuk menancapkan pengaruhnya dalam rangka meraih keuntungan yang besar. ASEAN menjadi pasar empuk bagi negara-negara maju untuk mengeruk keuntungan karena selain potensi ekonominya yang luar biasa, juga karena didukung dengan kesadaran politik penguasanya yang lemah dan cenderung mengikuti cara pandang Barat. Sehingga banyak yang tidak memahami bahwa MEA sebenarnya adalah skenario Barat untuk mengeksploitasi kekayaan alamnya.

ASEAN merupakan satu-satunya organisasi regional di kawasan ini menjadi sarana tersendiri bagi negara-negara Barat untuk mencapai kepentingannya masing-masing. AS dan negara-negara Barat lainnya terus berupaya untuk memperebutkan sepotong kue bernama ASEAN ini.

Hal ini terlihat dari beberapa forum kerjasama bilateral, regional, dan multilateral yang digagas sejak regionalisme ASEAN mulai didirikan pada tahun 1967. Keberadaan forum kerjasama ASEAN + 1 dengan negara dan kawasan mitra wicara; ASEAN + 3 (China, Jepang, Korea Selatan); ASEAN + 6 atau sekarang + 8 (East Asia Summit/EAS) yang mampu menarik minat Amerika Serikat dan Rusia untuk terlibat didalamnya; serta ASEAN Regional Forum/ARF (8 + Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Korea Utara, Mongolia, Timor Leste, Papua New Guinea, Uni Eropa, dan Kanada) yang mengusung tema kerjasama di bidang politik dan keamanan, serta berbagai macam kerjasama sub-kawasan, intra dan ekstra regional lainnya seperti misalnya Pacific Forum Island (PIF), US Lower-Mekong Initiative, South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), Shanghai Cooperation Organization (SCO), serta Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), mengindikasikan dengan kuat bahwa posisi dan peran strategis ASEAN dalam politik internasional telah dimanfaatkan oleh berbagai pihak (terutama Barat) dalam rangka mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing.

MEA dan Pasar Bebas

Tujuan yang ingin dicapai MEA, yakni menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi dengan ciri adanya aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terlatih, modal, serta aliran investasi yang lebih bebas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah Master Plan of ASEAN Connectivity (MPAC) yang menjadi acuan rencana aksi pelaksanaannya. MPAC tegak atas 3 pilar ASEAN Connectivity, yakni physical connectivity (pembangunan infrastruktur fisik), institutional connectivity (kelembagaan, mekanisme, dan proses yang efektif), dan people-to-people connectivity (penguatan antar-penduduk yang ditandai dengan peningkatan mobilitas masyarakat ASEAN)

Di Indonesia sendiri, upaya untuk menunjang ASEAN Connectivity ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Kebijakan pasar bebas memang dirancang untuk mengubah dunia menjadi pasar terbuka bagi produk barang dan jasa negara maju. Aliran barang dan jasa dari negara maju bebas keluar masuk tanpa hambatan (bea cukai, birokrasi yang rumit dll).

Akibat berbahaya dari pasar bebas adalah dampak sosial yang bermuara tidak hanya pada kehancuran keluarga namun juga kehancuran peradaban. Ketika persaingan semakin ketat, para laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga akan kesulitan mencari pekerjaan.

Alhasil, kondisi ini menyebabkan kaum perempuan akhirnya keluar dari rumah-rumah mereka untuk bekerja membantu ekonomi keluarga. Ketika kaum perempuan meninggalkan kewajiban mereka sebagai pengurus dan pengatur rumah tangga, anak-anak mereka kemudian ‘terlantar’ dari pengasuhan dan pendidikan orang tua. Anak-anak bahkan ada yang dititipkan di tempat penitipan anak (day care). Anak-anak akhirnya akan mencari perhatian dari luar yang membuat mereka menjadi anak-anak jalanan atau kalaupun tidak, mereka tidak menjadi generasi yang berkualitas.

Maka, dapat dipahami bahwa ini akan menyebabkan selain kehancuran keluarga juga akan menyebabkan kehancuran peradaban, ketika secara massif kaum perempuan dibiarkan meninggalkan kewajiban mereka untuk mencari penghasilan.

Khilafah Mewujudkan Ekonomi yang Menyejahterakan

Negara Khilafah akan menerapkan prinsip ekonomi Syariah yang akan memacu produktifitas ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran semua warga negaranya, baik muslim maupun non muslim.

Strategi negara Khilafah untuk memperkuat produktifitas dalam negeri adalah :

1. Menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk mempermudah aktivitas perekonomian di dalam negeri, mulai dari penyediaan sarana transportasi yang handal, manufaktur, telekomunikasi, gudang, serta sarana-sarana penting lainnya.
2. Memberlakukan undang-undang anti hak paten dan royalti atas penggunaan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi. Undang-undang ini dibuat untuk mempercepat terjadinya transfer teknologi dan skill di seluruh kawasan negara Khilafah sehingga akan meningkatkan kemampuan dan kualitas produksi dalam negeri.
3. Memberlakukan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk manufaktur yang mem-bahayakan manusia dan merusak lingkungan. Kaedah ushul fikih menyatakan: adh-dhararu yuzâlu (bahaya itu harus dihilangkan). Dengan sanksi ini, standar manufaktur dan produk akan selalu terkontrol dan terpelihara sehingga memiliki kualitas yang sangat tinggi.
4. Menyediakan modal dan pinjaman tanpa bunga bagi kegiatan-kegiatan perekonomian dalam negeri.
5. Menjaga mekanisme pasar di dalam negeri dengan cara menjaga pasar dari penimbunan, penipuan, riba, pungli dan lain sebagainya yang bisa mengguncang stabilitas pasar. Negara tidak akan intervensi dengan cara menetapkan harga dengan alasan untuk melindungi konsumen dan produsen.
6. Menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri Khilafah Islamiyah dengan menerapkan sanksi-sanksi keras terhadap siapa saja yang berusaha menciptakan instabilitas di dalam negeri.
7. Khilafah Islamiyah berusaha keras untuk tidak melakukan hutang dan penarikan investasi luar negeri.
8. Mengelola dan mengatur sepenuhnya aset-aset milik umum secara profesional demi kemakmuran rakyat.

Dengan strategi inilah, produsen dalam negeri akan terlindungi dan mampu menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri. Arus modal, investasi dan kekuatan SDM akan mampu mendorong Khilafah Islamiyah menjadi pemenang percaturan politik internasional. Wallahu alam bi ash-shawab. [Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang- Banten]

Posting Komentar untuk "Mewujudkan Tatanan Ekonomi Dunia yang Menyejahterakan"

close