Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jokowi: A New Hope?

Tentu bukan tanpa maksud Majalah Time mengangkat Jokowi sebagai cover. A New Hope (Harapan Baru), judul cover majalah Time bulan Oktober, menunjukkan pesan penting yang ingin diangkat. Pertanyaannya, bisakah Jokowi memberikan harapan baru untuk rakyat?

Kalau yang dimaksud Jokowi akan membawa perubahan yang mendasar untuk kebaikan rakyat, memberikan kesejahteraan untuk rakyat, jawaban kita: sangat sulit bahkan mustahil!

Jokowi
Indonesia di bawah pimpinan Jokowi dipastikan akan tetap akan tunduk pada sistem Kapitalisme-Liberal. Padahal sistem inilah yang telah membawa penderitaan rakyat. Atas nama privatisasi dan pasar bebas, kekayaan alam Indonesia dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing ataupun swasta lokal.

Kebijakan liberal seperti swastinasi dan pengurangan subsidi telah menambah derita rakyat, seperti saat BBM dan tarif listrik dinaikkan. Kecenderungan swastanisasi pendidikan terutama perguruan tinggi telah membuat biaya pendidikan mahal. Belum lagi tipu-tipu lewat BPJS yang pada prinsipnya mirip asuransi sosial; rakyat dipaksa untuk membayar. Padahal pelayanan kesehatan seharusnya sepenuhnya tanggung jawab penguasa.

Indonesia di bawah Jokowi akan tetap dicengkeram Kapitalisme. Ini bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama: Jokowi-JK sudah dikepung dengan berbagai produk UU liberal seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, UU yang mengatur pertambangan di Hutan Lindung,  UU Kesehatan, UU Pendidikan Tinggi dan seabreg UU liberal lainnya. Artinya apa? Jokowi-JK atas nama konstitusi harus tunduk pada UU liberal ini.

Kedua: institusi-institusi ekonomi liberal sudah dipatenkan. Kekuasaan moneter ada di tangan BI. Kekuasaan keuangan ada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Otoritas jaminan sosial ada di tangan BPJS. Otoritas fiskal dalam bentuk pajak nantinya akan dipegang oleh Badan Penerimaan Negara yang akan segera didirikan. Itu artinya, kebijakan makro-ekonomi tidak bisa dikendalikan oleh Presiden. Pada akhirnya, Presiden, dengan alasan tidak bisa intervensi, tidak bisa berbuat banyak.

Ketiga, kuatnya tekanan asing dari negara-negara imperialis yang mengawal Indonesia agar tetap liberal. Bank Dunia, misalnya, jauh saat sebelum Pemilu, sudah mengingatkan bahwa bagi mereka siapapun presidennya tak masalah; yang penting mau mencabut subsidi/menaikkan BBM. Hal itu diulangi lagi oleh Bank Dunia setelah Jokowi-JK dipastikan menjadi presiden. Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Axel van Trotsenburg Senin (6/10) merekomendasikan agar Indonesia mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran. Artinya, dia meminta Indonesia untuk menaikkan harga BBM.

Jokowi-JK tampaknya akan tunduk pada tekanan ini. Belum berkuasa saja, Tim Jokowi-JK sudah meminta SBY untuk menaikkan BBM yang diperkuat oleh Megawati. Diduga kuat pemerintah baru akan menaikkan BBM tidak lama setelah memerintah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung mengonfirmasi rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan dilakukan pemerintahan baru. Dia menegaskan, Jumat 17 Oktober 2014, dia telah menerima informasi kenaikan BBM bulan November.

Jokowi-JK sendiri memilih sikap ‘welcome’ terhadap negara-negara asing. Dalam debat capres ke-2 Jokowi JK menegaskan akan menghormati perjanjian kontrak karya dengan perusahaan asing yang sudah ada. Jokowi juga bertemu dengan Dubes Amerika, Vatikan, dan negara-negara lainnya beberapa saat setelah resmi dicalonkan oleh PDIP. Kelemahan Jokowi sudah tampak saat menjadi gubernur Jakarta. Jokowi telah memberi izin kepada Amerika Serikat untuk membangun kedubesnya yang terbesar ketiga di dunia yang akan memperkuat penjajahan Amerika di Indonesia.

Keempat: orang-orang seputar Jokowi-JK yang dikenal sebagai pemilik modal besar dan liberal akan mengokohkan kebijakan liberalisme ke depan. Jusuf Kalla sendiri saat menjadi wapres SBY menjadi ujung tombak Pemerintah untuk menaikkan BBM. Rini Soewandi diduga terlibat kasus BLBI pada masa Megawati yang menyebabkan kerugian negara sekitar 600 triliun. Sofjan Wanandi (pentolan CSIS dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia-Apindo), meminta dengan tegas agar Jokowi-JK menaikkan BBM. Ada pula Jacob Soetoyo yang dikenal pengusaha dan juga merupakan bagian dari CSIS; James Riady, pemilik jaringan Lippo Group; dan Rusdi Kirana Bos Lion Air .

Dugaan kembali menguatnya peran CSIS ke depan perlu kita cermati. CSIS (Central for Strategic and International Studies) dikenal sebagai lembaga pemikir pada masa orde Baru yang sangat sekular dan dikenal anti Islam. Berbagai kebijakan politik, pendidikan dan ekonomi liberal pada masa awal rezim Orde Baru banyak lahir dari lembaga ini. Beberapa tokoh pendiri dari lembaga yang didirikan tahun 1971 dikenal sangat liberal dan anti Islam seperi Ali Moertopo, Harry Tjan Silalahi dan Daoed Joesoef. LB Moerdani, mantan jenderal Katolik yang anti Islam, setelah pensiun kerap berkantor di lembaga ini.

Jokowi juga dianggap akan menjadi presiden terlemah. Seperti yang diungkap oleh pengamat politik Denny JA, Jokowi tidak mengontrol legislatif. Sebaliknya, legislatif sangat beroposisi terhadap dia, kecuali tentu ada kompromi politik. Jokowi juga tidak mengontrol satu pun partai politik. PDIP didominasi oleh Megawati, bukan Jokowi. Apalagi Jokowi pada Pilpres hanya unggul satu digit dibandingkan dengan Prabowo.

Berharap pada DPR juga jauh panggang dari api. Kentalnya pragmatisme dan dominasi pemilik modal akan membuat DPR tetap mengawal UU liberal. Belum lagi setengah dari anggota DPR, menurut lembaga Kontras, bermasalah.

Karena itu Hizbut Tahrir Indonesia kembali menegaskan seruannya agar rakyat Indonesia meninggalkan kapitalisme liberal termasuk demokrasi. Pasalnya, yang dibutuhkan Indonesia bukanlah sekadar pergantian orang, tetapi perubahan sistem secara menyeluruh. Apapun tipe pemimpinnya, baik digelari Bapak Revolusi, Bapak Pembangunan, atau Kyai Pluralis, Bapak Demokrasi, termasuk Presiden Pilihan Rakyat, tidak akan membawa perubahan, selama sistemnya masih Kapitalisme-Liberal.

Kapitalisme bukan hanya bertentangan dengan Islam, tetapi telah menjadi sumber masalah. Kembali kita tegaskan, selama Indonesia masih menerapkan sistem kufur, yaitu sistem yang tidak berdasarkan Islam, tidak akan terjadi perubahan yang berarti untuk rakyat Indonesia. Hanya penegakan Khilafah yang menerapkan syariah Islamlah yang bisa diharapkan membawa perubahan nyata untuk rakyat.[Farid Wadjdi]

Posting Komentar untuk "Jokowi: A New Hope?"

close