Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Musuh Bersama

Pada 1 Oktober lalu, MUI Pusat menyelenggarakan acara yang diberi titel Halaqah Kebangsaan: “Mewaspadai Gejala Kebangkitan Komunisme Gaya Baru di Indonesia”. Hadir sebagai pembicara dalam acara yang dihadiri oleh banyak tokoh dari berbagai ormas Islam tingkat pusat itu Dr. Salim Said (pengamat), KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PB NU), Mayjen Dr. Anton Tabah (Staf Ahli Kapolri) dan Mayjen Setyo Sularso (Kepala Staf Kostrad). Banyak indikasi yang dikemukakan oleh para pembicara tentang gejala kebangkitan Komunisme Gaya Baru (KGB). Namun, karena waktu sempit, forum itu tidak cukup untuk merumuskan secara apik apa yang dimaksud dengan KGB itu, apa pula visi dan misinya dalam usaha mereka bangkit lagi setelah sekian puluh tahun dijadikan musuh bersama oleh bangsa ini.
Jubir HTI, Ust. Ismail Yusanto

++++

Lepas dari soal apa, mengapa, bagaimana dan kemana arah (KGB) itu, kita memang memerlukan rumusan yang jelas tentang apa atau siapa sebenarnya musuh bersama (common enemy). Usaha untuk menghadapi atau melawan musuh bersama inilah yang kemudian akan dianggap sebagai persoalan utama (al-qadhiyah al-mashiriyah). Setiap bangsa dan negara, bahkan juga kelompok atau organisasi, penting merumuskan atau menetapkan apa yang disebut sebagai problem utama itu. Rumusan itu selanjutnya akan mempengaruhi visi dan misi organisasi serta apa usaha yang harus dilakukan untuk menyelesaikan problem utama itu sekaligus menentukan siapa kawan dan siapa lawan.

Saat kelompok Salafi, misalnya, menganggap problem utama umat saat ini adalah bid’ah yang merebak, maka usaha pokok dilakukan tentu adalah bagaimana menghi-langkan bid’ah dari tengah umat. Karena itu dalam pandangan mereka, lawan mereka adalah siapa saja yang disebut penyebar bid’ah atau ahlul bid’ah. Dari sini bisa dimengerti mengapa kelompok salafi keras sekali menghantam orang atau kelompok di lingkungan Islam sendiri yang dianggap sebagai ahlul bid’ah, karena mana ada ahlul bid’ah dari kalangan orang kafir. Karena itu tidak tampak mereka tampil garang menghadapi orang-orang kafir. Berbagai kerusakan dan kezaliman yang ditimbulkan oleh orang kafir bagi mereka tidak dianggap sebagai problem utama karena bid’ah diartikan semata penyimpangan dari agama (Islam).

Di level negara, kiranya Saudi Arabia bisa disebut sebagai representasi negara yang juga getol memerangi bid’ah. Begitu kerasnya bid’ah diperangi, tempat-tempat yang meski bernilai sejarah tinggi seperti tempat kelahiran Nabi Muhammad atau Saqifah bani Saidah (tempat dulu kaum Anshar dan Muhajirin berembug memilih pengganti Rasulullah saw.), digusur dengan alasan menghindari perbuatan bid’ah jamaah. Sebaliknya, bersekutu dengan AS dan negara Barat kafir lain tidak dianggap bid’ah. AS dengan segala kejahatannya juga tidak mereka anggap sebagai ahlul bid’ah.

Di era Perang Dingin, Komunisme atau tepatnya Blok Timur tentu dipandang sebagai musuh bersama Blok Barat. Begitu pun sebaliknya. Ketika era Perang Dingin berakhir, menghadirkan musuh bersama tetaplah diperlukan. Namun, Blok Barat tentu tidak akan lagi menempatkan Blok Timur sebagai musuh. Pasalnya, blok itu hakikatnya sudah menjadi bagian dari Blok Barat. Kalau begitu siapa yang menjadi musuh barunya?

Melalui apa yang disebut War on Terrorism (WOT), Barat kini menempatkan Islam sebagai musuh bersama. Islam yang dimaksud di sini tentu bukan keseluruhan umat Islam, tetapi kelompok Islam politik. Pasalnya, kelompok inilah yang mereka anggap akan mengancam hegemoni Barat setelah Komunisme tumbang seiring runtuhnya pilar utama Blok Timur, Uni Sovyet. Dalam hal ini, WOT hanyalah kedok (mask) untuk menutupi maksud sesungguhnya, yakni war on Islam (WOI). Pasalnya, bila mereka benar-benar ingin memerangi terorisme, mestinya Israel, bahkan AS sendiri, juga harus dianggap sebagai teroris. Kenyataannya tidak. Lebih dari 90 persen dari nama dan kelompok dalam daftar teroris internasional (Foreign Terrorist Oganization – FTO) yang dikeluarkan oleh PBB adalah orang atau kelompok Islam.

Singkatnya, merumuskan persoalan utama itu sangatlah penting. Macam-macamlah jadinya. Ada organisasi yang menganggap kerusakan lingkungan atau ancaman punahnya satwa langka sebagai persoalan utama. Ada lagi yang menganggap ketidakadilan jender, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai soal utama. Ada yang menganggap kristenisasi sebagai persoalan utama. Ada lagi soal jarangnya umat datang ke masjid atau ketidakmampuan umat membaca al-Quran sebagai persoalan utama umat. Demikian seterusnya. Bagaimana dengan Hizbut Tahrir?

++++

Sebagai partai politik Islam, Hizbut Tahrir telah merumuskan persoalan umat dengan cermat sebagaimana tertulis dalam Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyir. Kitab ini sesungguhnya merupakan risalah yang disampaikan dalam pertemuan gerakan-gerakan Islam se-Dunia beberapa tahun lalu. Berikut kutipannya:

Sesungguhnya problem utama yang dihadapi kaum Muslim saat ini adalah bagaimana menerapkan kembali (syariah) Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Caranya adalah dengan menegakkan Khilafah dan mengangkat khalifah yang di-bai’at oleh kaum Muslim untuk didengar dan ditaati sepanjang melaksanakan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tujuannya adalah untuk menghapus hukum dan sistem perundangan kufur serta menggantinya dengan sistem dan perundangan Islam, mengubah negeri-negeri Islam dan masyarakatnya menjadi Darul Islam dan masyarakat Islami, menyatukan negeri-negeri Muslim ke dalam Khilafah serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad (Kitab Manhaj Hizbut Tahrir fi at-Taghyir, hlm. 2).

Dengan rumusan mengenai problem utama kaum Muslim seperti tersebut di atas menjadi jelaslah tujuan, visi dan misi perjuangan para pengemban dakwah, baik yang berbentuk kutlah (kelompok dakwah), partai politik, maupun jama’ah. Juga menjadi jelas thariqah (metode) yang harus ditempuh untuk merealisasikan visi, misi dan tujuan tersebut. Menjadi jelas pula siapa kawan dan siapa lawan yang harus dianggap sebagai musuh bersama umat. Mereka adalah orang, kelompok dan negara yang tidak menghendaki Islam tegak. Bisa saja mereka berasal dari kelompok ekstrem kiri yang berideologi sosialis-komunis, bisa juga berasal dari kelompok ekstrem kanan yang berideologi kapitalis-liberal.

Topik inilah yang disampaikan kepada Pak Mayjen Setyo Sularso pada pertemuan berikutnya selepas acara Halaqah Kebangsaan tersebut. Hizbut Tahrir sependapat tentang pentingnya mewaspadi gejala KGB karena meski PKI telah lama dikubur di negeri ini, sebagai sebuah ideologi, sosialis–komunis tidak akan pernah mati. Indikasinya juga sangat nyata. Namun, kita juga mengingatkan pihak TNI bahwa selain sosialis-komunis, negeri ini sesungguhnya tengah dalam cengkeraman kekuatan Kapitalisme global dalam hampir seluruh sendi kehidupan, utamanya bidang ekonomi, politik dan budaya. Mestinya, ini juga harus ditempatkan sebagai musuh bersama.

Peringatan ini penting disampaikan karena pada saat yang sama kekuatan Kapitalisme global pimpinan AS, justru tengah mendikte kita di Indonesia, juga kaum Muslim di negeri-negeri lain, untuk mendudukkan kekuatan Islam politik itulah musuh bersama melalui apa yang disebut WOT tadi, dan kini dalam apa yang mereka sebut memerangi ISIS.

Memang, ada persoalan di seputar ISIS kita juga tidak menolak. Namun, meletakkan ISIS seolah sebagai persoalan utama hingga kita harus mengarahkan seluruh potensi kewaspadaan hanya akan mengalihkan kita dari musuh yang nyata. Padahal musuh itu bukan hanya mengancam, tetapi sudah menceng-keram erat negeri ini. Itulah Kapitalisme-liberal. Melalui berbagai instrumennya, khususnya di bidang ekonomi dengan sistem ekonomi kapitalis- liberalnya, dan bidang politik dengan demokrasinya, ideologi itu benar-benar tengah menghisap habis negeri Muslim terbesar di dunia ini. Ironinya, sebagian besar umat tidak menyadari hal ini. Mereka bahkan ikut terseret gendang orang lain, turut memusuhi Islam, yang dulu sering disebut sebagai ekstrem kanan.

Alhamdulillah, secara pribadi beliau dan stafnya sependapat. Ia bahkan menolak adanya sebutan-sebutan seperti Islam radikal dan semacamnya, yang kemudian dihadapi secara represif. Terhadap berbagai kelompok yang dicap radikal, harus dikembangkan pendekatan dialogis karena bagaimanapun mereka adalah saudara kita sesama Muslim. Mereka kawan, bukan lawan. [HM Ismail Yusanto]

Posting Komentar untuk "Musuh Bersama"

close