Agar “Toleran” Guru agama Indonesia Dapat Pelatihan di Oxford
Sebanyak 30 guru agama SD, SMP, dan SMA dari Indonesia dan 10 pegawai Kementerian Agama (Kemenag) Indonesia mengikuti pelatihan pengajaran agama Islam di Universitas Oxford, Inggris.
Mereka merupakan pilihan dari sekitar 400 guru dari seluruh Indonesia yang mencalonkan diri untuk ikut pelatihan dengan para pembimbing dari Jurusan Pendidikan Universitas Oxford.
Training Guru-Guru Agama di Oxford |
“Program ini bukan substansi terkait dengan pendidikan agama, bukan tentang Islam namun bagaimana pelatihan untuk mereka mempunyai ide-ide untuk mengajar yang lebih kreatif, membuat siswa di kelas tertarik dengan yang sedang dajarkan,” kata Revita Wahyudi, pengelola pelatihan dari Oxford Policy Management Ltd yang bekerja sama dengan Bank Pembangunan Asia, ADB, serta Analytical and Capacity Development Partnership, ACDP.
Selain mengikuti pelatihan di ruang kelas, para peserta juga berkunjung ke beberapa sekolah di kawasan Oxford dan menyaksikan sendiri proses belajar mengajar di sana.
Dan menyaksikan langsung pengajaran agama di ruang kelas merupakan salah satu hal yang amat bermanfaat, menurut Bagus Mustakim, salah seorang peserta yang sehari-harinya mengajar di SMPN 2 Karangjati, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
“Yang paling menarik ketika kami masuk ke kelas-kelas di beberapa sekolah. Banyak hal baru dengan ragam pendekatan yang luar biasa menarik bagi kami,” tutur Bagus dikutip BBC.
Para guru rencananya akan menyusun manual untuk dijadikan percontohan di beberapa sekolah di Indonesia.
“Misalnya ada beberapa tugas yang dikerjakan siswa itu tidak dikumpulkan dan tidak didokumentasi, ya tidak dipakai lagi. Tapi di balik itu ada penilaian yang berbeda, semua aspek dinilai.”
Bagus menambahkan upaya mengaktifkan siswa merupakan salah satu pendekatan yang banyak digunakan.
“Guru hanya beberapa bicara dan memberikan arahan saja kemudian murid aktif membahasnya dalam kelompok-kelompok,” tambahnya.
Moving class
Sedangkan peserta lainnya, Nur Huda Kurniawan, melihat bahwa para murid tidak perlu harus membawa buku yang berat.
“Anak-anak di sini bawanya simpel saja, tugas beberapa halaman saja. Bukan semua buku untuk pelajaran pada hari itu. Jadi di sini mereka enteng, berangkat dan pulang sekolah,” jelas Nur Huda.
Bagi Nur Huda itu tampaknya merupakan hal kecil, tapi membuat para murid jadi lebih ringan untuk berangkat sekolah sedangkan buku-buku dan bahan-bahan pembelajaran lain disediakan di kelas maupun di perpustakaan.
“Di sini moving class atau guru tetap berada di kelasnya tapi muridnya bergerak dari satu kelas ke kelas lain jika mata pelajaran berganti. Dengan demikian semua bahan-bahan belajar bisa disediakan di dalam kelas.”
Guru agama ini diajarkan metodologi, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran, demokrasi, multikultural dan deradikalisasi
Baik Bagus dan Nur Huda mengaku bersemangat untuk mencoba menerapkan yang mereka pelajari dari pelatihan selama sepekan di Oxford dan memang itulah salah satu tujuan dari program ini.
“Sebenarnya tidak semuanya merupakan guru-guru biasa namun juga ada instruktur nasional yang memberikan pelatihan ke guru-guru lain,” tambah Revita.
Oleh karena itu sepulang dari Oxford para peserta diharapkan menggelar workshop atau loka karya untuk menyusun satu manual pelatihan bagi guru untuk pembelajaran dan materi pembelajaran.
“Setelah itu kita akan coba pilotkan di sekolah di beberapa daerah untuk melihat apakah metode baru yang dipelajari bisa diaplikasikan di Indonesia atau tidak.”
Dengan demikian diharapkan program ini bisa memperkaya pendidikan agama Islam di Indonesia agar bisa menanamkan sifat saling menghormati dan toleran di kalangan masyarakat.
Sebelum ini, Amin Haedari, Direktur PAI Kemenag RI, pernah menyampaikan pada pers, program ini merupakan kerjasama Direktorat Pendidikan Agama Islam (DitPAI) Kemenag RI dengan The Educational Sector of Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP).
Dalam program “Overseas Short-term Training In Teaching Methodology For Islamic Religion Teachers” ini, para guru agama diajarkan metodologi, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran, demokrasi, multikultural dan deradikalisasi. [www.visimuslim.com]
Sumber : Hidayatullah.Com
Komentar :
Salah satu cara Barat menyesatkan kaum Muslimin adalah dengan merusak pemikiran-pemikiran yang murni datang dari Islam dengan menanamkan pemikiran-pemikiran kufur yang mereka miliki melalui ajang-ajang yang disebut 'kerja sama' dan sejenisnya. Waspadalah ! NO FREE LUNCH !
Posting Komentar untuk "Agar “Toleran” Guru agama Indonesia Dapat Pelatihan di Oxford"