Kekayaan Papua Hanya Milik Rakyat
Berdasarkan Kontrak Karya II, PT. Freeport Indonesia secara legal mendapat izin dari pemerintah Indonesia untuk mengeksploitasi tambang tembaga dan emas di Papua hingga tahun 2021. Hal ini menjadikan 67 juta ounce atau sekitar 1.899 ton (1 ounce = 28,35 gram) cadangan emas dan 33 juta ounce perak berpindah tangan dari rakyat Indonesia ke PT. Freeport Indonesia, sebagai akibat dari diperbolehkannya perusahaan asing tersebut untuk mengeruk kekayaan Papua.
Ilustrasi Tambang Emas |
Tidak tanggung-tanggung, kapasitas produksi biji perusahaan disinyalir mencapai 220.000 ton biji per hari (kontan.co.id, 25/07/2012). Namun nyatanya tidak cukup hingga 2021, bahkan seperti dilansir dalam kompas.com (24/01/2015), Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian ESDM, R Suhyar telah memberi lampu hijau bagi perusahaan dari Amerika tersebut untuk tetap dapat mengeruk kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia di tanah Papua hingga 2041 mendatang.
Padahal, dengan tetap bercokolnya Freeport di tanah Papua sesungguhnya tidak memberikan keuntungan apapun bagi Indonesia. Kita bisa melihat bahwa eksploitasi besar-besaran yang dilakukan Freeport telah membawa kerusakan serius pada alam Indonesia. Bahkan pada 2013 silam terowongan Big Gossan di Mimika, Papua ambruk dan memakan korban jiwa (microsite.metrotvnews.com, 16/05/2013).
Tidak hanya itu, anggapan bahwa keberadaan Freeport bisa menambah pendapatan negara melalui pencapaian deviden pada kenyataannya hanyalah omong kosong. Terbukti sejak 2012 silam, perusahaan tambang emas terbesar di dunia ini berhenti menyetorkan deviden kepada pemerintah yang nominalnya mencapai Rp. 1,5 triliun per tahun (merdeka.com, 24/03/2014).
Bahkan, keinginan pemerintah agar Freeport dapat membantu dalam pembangunan pabrik pemurnian mineral (smelter) di Papua nyatanya belum direalisasikan hingga saat ini. Padahal pemerintah sempat beralasan bahwa Freeport tetap dipertahankan keberadaannya di Indonesia agar dapat membantu meningkatkan industri hilir tambang dengan mengharuskan perusahaan tersebut membangun smelter di Papua.
Kendati demikian, pemerintah masih saja bersikap lunak dengan sikap pembangkangan perusahaan asal Paman Sam itu (finance.detik.com, 26/01/2014). Pertanyaannya adalah, jika tidak ada keuntungan yang bisa diraih dengan keberadaan Freeport di tanah Indonesia, mengapa pemerintah tidak bertindak tegas dengan memutus kontrak perusahaan tersebut? Bukankah dengan keberadaan Freeport justru semakin merugikan rakyat Indonesia?
Hal ini terjadi tidak lain adalah akibat dari diterapkannya sistem ekonomi liberal yang justru mengharuskan pengelolaan dan pengusahaan barang tambang diserahkan kepada swasta. Dalam sistem ekonomi semacam ini, negara harus seminimal mungkin terlibat dalam kegiatan bisnis juga dalam hal eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam.
Inilah yang menjadikan kewajiban dalam pengelolaan SDM diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta yang dimana kondisi ini dilegalkan melalui UU. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika pihak swasta dapat secara bebas menjarah kekayaan alam Indonesia.
Berbeda dengan konsep kepemilikan dalam ekonomi liberal, dimana setiap individu atau swasta diberi kebebasan untuk memiliki komoditas yang jumlahnya tak terhingga semisal barang tambang, Islam justru menetapkan komoditas semacam ini sebagai milik umum atau milik rakyat. Artinya, kepemilikan barang tambang yang jumlahnya tak terbatas tidak diperbolehkan untuk diserahkan kepada swasta, baik domestik maupun asing. Sehingga di dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengelola agar hasilnya nanti dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal diceritakan bahwa suatu saat Abyad meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW yang memang pemurah pun meluluskan permintaan itu. Namun Rasulullah segera diingatkan oleh sahabat yang lain. “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir (ma’u al-‘idda)” Berkata (perawi), “Beliau menarik kembali tambang tersebut darinya.” Hal ini menunjukkan bahwa tidak semestinya barang tambang yang kandungannya sangat banyak dikelola oleh individu atau kumpulan individu (perusahaan) karena hasilnya pasti hanya akan dinikmati oleh segelintir orang seperti yang selama ini terjadi.
Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa penyerahan barang tambang yang jumlahnya tak terhingga kepada pihak swasta, semisal Freeport, secara jelas bertentangan dengan syariat Islam dan tidak akan membawa kebaikan apapun bagi ummat. Maka dari itu, sudah seharusnya pemerintah memutus kontrak Freeport yang sejatinya hanya merugikan Indonesia, dan mengelola kekayaan alam Papua secara amanah agar hasilnya dapat dirasakan secara merata oleh rakyat. Wallahu’alam Bissawab. [Karina Fitriani Fatimah, Lulusan Master of Applied Computer Science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg Germany] [visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Kekayaan Papua Hanya Milik Rakyat"