Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai Ketaatan

Ketika manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah, maka yang diminta oleh Allah SWT adalah ketundukan dan ketaatan kita kepada-Nya. Tunduk dan taat pada perintah dan larangan-Nya. Meski terkadang akal kita tidak bisa mencerna perintah dan larangan-Nya, karena itu di luar nalar kita, namun kita harus yakin bahwa semuanya itu demi kebaikan kita.

ilustrasi
Allah menegaskan:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَميْنَ
“Aku tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.s. al-Anbiya’: 107).

“Rahmat” adalah terwujudnya kemaslahatan, dan tertolaknya kemudaratan. Maka, perintah dan larangan Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw., baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, tak lain demi kebaikan manusia, dan alam semesta.

Para sahabat di masa lalu tidak pernah bertanya, “mengapa harus begini dan begitu?” ketika mereka mendapatkan perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, sikap mereka adalah, “Sami’na wa atha’na” (Kami dengar, dan kami taat). Meski untuk itu mereka harus memberikan segalanya. Karena mereka tahu, bahwa semuanya itu demi kebaikan dunia dan akhirat mereka.

Lihatlah, bagaimana Abu Salamah dan Ummu Salamah saat hendak hijrah ke Madinah. Suami-isteri dan anaknya, Salamah, ini langkahnya harus terhenti, saat dihadang Bani al-Mughirah. Bani Abdil Asad, suku Abu Salamah, pun marah. Salamah, yang masih kecil, pun dijadikan rebutan di antara kedua suku ini. Mereka saling tarik tangan Salamah, hingga tangannya terlepas. Bani Abdil Asad pun membawa Salamah, sementara Ummu Salamah ditahan Abni Mughirah. Dalam situasi seperti ini, Abu Salamah dengan berat hati tetap berangkat ke Madinah. Meninggalkan isterinya di Bani Mughirah, dan Salamah di Bani Abdil Asad.

“Tiap pagi aku keluar, duduk di telaga. Aku terus menangis hingga setahun lamanya, atau lebih kurang setahun. Sampai ada seorang pria dari Bani pamanku, salah seorang Bani Mughirah, berpapasan denganku, dan melihatku. Dia pun iba kepadaku.” tutur Ummu Salamah. Setelah pria ini memberitahukan ihwal Ummu Salamah, Bani Mughirah pun iba, dan membiarkannya hijrah menyusul suaminya ke Madinah.

Begitulah, ketaatan Abu Salamah dan Ummu Salamah. Abu Salamah kemudian ditakdirkan wafat terlebih dahulu, meninggalkan isteri shalihah yang luar biasa, dan banyak anak. Wanita shalihah yang sudah berusia senja ini pun kemudian dinikahi Nabi. Tentu Ummu Salamah tidak menduga, tetapi inilah balasan yang Allah berikan kepadanya.

Ketika Ummu Salamah mendengarkan hadits dari Nabi, bahwa kelak isteri-isteri shalihah akan bersama suaminya yang shalih di surga, Ummu Salamah bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan wanita yang pernah dinikahi oleh lebih dari satu suami?” Pertanyaan ini merujuk pada dirinya, yang pernah dinikahi oleh Abu Salamah, dan Nabi. Nabi saw. pun menjawab pertanyaan Ummu Salamah, yang tak lain saat itu menjadi isterinya, “Dia akan bersama suami yang paling dicintainya.” Ummu Salamah pun berkata, “Aku lebih memilih-Mu ya Rasulullah.” Nabi pun tersenyum mendengar jabawannya.

Begitulah, nilai ketaatan Ummu Salamah yang dibayar dengan pengorbanan. Dia tidak pernah tahu pada akhirnya Allah mengantarkan semua yang diberikannya itu dengan kemuliaan menjadi Umm al-Mu’minin (isteri Nabi), saat di dunia, dan menjadi pendamping Nabi saw. di dalam surga-Nya.
Semoga bisa meneladaninya. [KH. Hafidz Abdurrahman] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Nilai Ketaatan"

close