Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kita dan Jaminan Halal

Kita Dan Jaminan Halal

Kita adalah umat Muslim yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Sebagai seorang muslim, keimanan menuntun kita untuk selalu berusaha terikat dengan aturan Allah, dimanapun dan kapanpun, serta dalam hal apapun. 

Ilustrasi
Salah satu perintah Allah kepada kita adalah mengkonsumsi produk halal dan thoyyib. Sebagaimana dalam firman-Nya :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. 2 : 168)

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW terdapat ancaman bagi orang yang mengkonsumsi makanan haram, 

“Daging mana saja yang tumbuh dari (makanan) yang haram, maka neraka lebih pantas baginya.” 

Namun sayang, sistem kapitalisme dan sekulerisme yang dianut negara ini (diakui atau tidak) telah menyebabkan banyak kesyubhatan produk-produk makanan/kosmetik/obat-obatan yang beredar di tengah masyarakat. Makna halal kini telah sedemikian terreduksi ‘hanya’ sekedar bukan daging babi dan alkohol. Tanpa disadari, produk turunan kedua benda yang dihindari itu sangat banyak dan mencemari produk yang kita konsumsi.

Sebagai contoh roti. Makanan yang telah akrab dalam keseharian kita itu ternyata mengandung titik kritis yang banyak. Dari mulai penggunaan margarin, pengembang, pemutih, susu, belum lagi isiannya. Harus benar-benar dipastikan semua bahan yang digunakan halal agar roti yang kita konsumsi itu diyakini kehalalannya. 

Namun siapa yang bisa menjamin itu semua? 

Jaminan Halal VS Kesadaran Masyarakat

Sementara pengetahuan akan produk halal dan kesadaran masyarakat masih cukup rendah, keengganan berpikir menyebabkan mereka menggampangkan masalah. Rasa percaya diri sebagai mayoritas menyebabkan mereka berpikir, “Karena mayoritas muslim, maka produk yang beredar pasti halal juga.” Diperparah dengan ulah oknum yang mempermainkan sertifikasi halal sehingga semakin mengikis kepercayaan masyarakat akan kredibilitas jaminan yang diberikan.

Saat ini DPR sudah menyetujui sebuah Undang-undang Jaminan Produk Halal yang diharapkan mampu memberikan rasa aman terhadap umat Islam. Kita harus bersabar menunggu karena undang-undang ini baru akan diberlakukan lima tahun lagi. Namun itupun menuai protes dari sebagian kalangan usaha, bahkan dalam situs resmi kemenperin disampaikan bahwaw UU itu harus direvisi karena dapat memberatkan dunia usaha dan mengganggu iklim investasi (htttp://kemenperin.go.id/artikel11012//UU-Jaminan-Produk-Halal-Harus-Direvisi).

Sistem Membentuk Masyarakat

Permasalahan ini membuka wawasan kita, bahwa pengaruh sistem yang berlaku dalam kehidupan sangat besar bagi individu dan masyarakat. Sistem sekuler telah membentuk individu yang tak peduli lagi akan kehalalan produk yang dia konsumsi. Bisa jadi pada awalnya dia cukup peduli, namun minimnya jaminan pemerintah serta kesadaran produsen membentuknya menjadi orang yang apatis dan rasa kepeduliannya pun terkikis.

Hal ini tentu sudah kita rasakan sekarang. Ketika sebagian dari kita berusaha menyadarkan pentingnya jaminan halal, ternyata sebagian yang lain dengan tenangnya mengatakan, “Udahlah, kita bismillah aja apa yang kita makan ini halal.” Seakan-akan mengucapkan basmalah bisa mengubah apa yang haram menjadi halal.

Belum lagi ketika sikap apatis itu muncul akibat adanya oknum yang telah memanfaatkan program sertifikasi halal untuk kepentingan pribadi. Keberadaan oknum ini juga imbas dari sistem kapitalisme yang telah menggerogoti masyarakat muslim saat ini. Kapitalisme yang menuhankan materi telah mengikis keimanan dan rasa malu, sehingga ada saja individu yang tega melakukan manipulasi meski dia tahu akibat perbuatannya sangat fatal bagi masyarakat.

Kapitalisme telah mendorong para pengusaha tak peduli lagi akan halal-haram. Dengan prinsip ekonomi liberal “Mengeluarkan modal sekecil-kecilnya demi meraih keuntungan sebesar-besarnya”, mereka lebih memikirkan keuntungan materi daripada menyediakan produk yang terjamin kehalalannya bagi konsumen.


Akan terbalik keadaannya jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam kaffah. Dengan akidah Islam sebagai azas, pemerintah berkewajiban melaksanakan syari’at Islam saja. Dengan demikian peran pemerintah sangat tegas terhadap kehalalan produk yang dibuat dan diedarkan di tengah masyarakatnya. Individu yang awalnya gemar mengkonsumsi produk haram akan merasa kesulitan sehingga lambatlaun individu itu terbiasa mengkonsumsi produk halal. Pada akhirnya masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat berbudaya halal.

Pemerintah juga berkewajiban mengedukasi rakyat dengan pengetahuan barang halal-haram hingga turunan-turunannya. Tak lupa juga mengerahkan para ilmuwan untuk menghasilkan pengganti bahan-bahan haram yang selama ini ‘terpaksa’ digunakan dalam produksi farmasi, serta mencegah masuknya impor barang haram dari negara lain.

Sistem Islam juga mampu membentuk individu yang amanah. Ketakwaan individu akan dijaga oleh kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dalam masyarakat islam. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah :

“Dari Nu'man bin Basyir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang yang melaksanakan perintah Allah dengan orang yang melanggarnya adalah seperti satu kaum yang berbagi tempat di sebuah kapal. Sebagian orang mendapat tempat di bagian atas, sedangkan sebagian yang lain mendapat tempat di lambung kapal. Orang-orang yang berada di lambung kapal, jika ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas. Mereka berkata, 'Sebaiknya kita lubangi saja lambung kapal ini (untuk mengambil air) agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas.' Jika keinginan mereka itu tidak dicegah, mereka semua akan binasa. Sebaliknya jika dicegah mereka semua akan selamat.” (HR. Bukhari, Turmudzi & Ahmad)

Budaya amar ma’ruf nahi munkar ini akan menjaga para petugas pemeriksa/auditor halal dari perbuatan curang dan khianat. Jikapun terjadi pelanggaran, sanksi hukum yang tegas dari pemerintah sudah menanti mereka.

Sikap Kita 

Sebagai muslim, keberadaan sertifikasi halal (SH MUI) saat ini serta UU Jaminan Produk Halal kelak ibarat sabuk pengaman sementara, selama belum ada Khilafah sebagai institusi pelindung ummat. Sehingga tak boleh melalaikan dari perjuangan menerapkan sistem islam secara kaffah dalam naungan negara Khilafah. 

Khilafah adalah pelindung ummat. Hanya dengan institusi itu kaum muslimin akan hidup tenang tanpa was-was akan status produk yang dia konsumsi. Lebih dari itu, menerapkan sistem islam kaffah dalam bingkai khilafah adalah wujud keimanan kepada Allah, Tuhan Yang Menciptakan manusia dan alam semesta. [Maya Dewi] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Kita dan Jaminan Halal"

close