Mengikis Geliat Feminisme dalam Pusaran Neoliberal
Pendahuluan
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) kembali mengemuka di penghujung masa kepengurusan DPR RI 2009-2014. Kemunculan RUU KKG setelah dua tahun mati suri, terkesan sangat tertutup. Bahkan tiba-tiba dikabarkan telah diloloskan oleh Baleg dengan mengedepankan asas netral agama. Di samping tertutup, penyusunan kembali draft RUU KKG ini juga cenderung hanya dikonsultasikan kepada lembaga-lembaga dan LSM perempuan yang sejalan dengan ideologi feminisme dan gender.
Ilustrasi |
Upaya untuk terus memperjuangkan RUU KKG sebagai payung hukum bagi percepatan penghapusan diskriminasi dan mengikutsertakan perempuan dalam segala aktivitas pembangunan memang terus berjalan. Pegiat gender terus melakukan berbagai langkah untuk memuluskan keinginannya. Dan sebagai negara yang turut meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), sudah tentu Indonesia dituntut untuk memberantas segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, di samping tuntutan untuk memprioritaskan tercapainya akses keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban tindak kekerasan seksual.
Langkah baleg yang meloloskan RUU KKG dengan mengedepankan asas netral agama ini perlu dicermati sebab jargon “netral agama” biasanya hanya disuarakan oleh para aktivis sekular radikal dan atheis militan. Artinya jika hal ini benar, maka feminis muslim yang berjuang di Indonesia telah menangkap umpan dari kalangan feminis radikal dengan baik.
Feminisme Dalam Pusaran Neoliberal
Kembalinya upaya untuk memperjuangkan RUU KKG tentu bukan tanpa alasan. Terpilihnya Jokowi-JK yang membuat arah pembangunan semakin neoliberal adalah alasan yang cukup untuk membuat feminis muslim ini kembali menggeliat untuk bangkit. Sebab sistem patriarki yang masih cukup kuat di Indonesia ini membuat perempuan sangat lemah aksesnya terhadap sumber daya ekonomi. Akibatnya selama ini perempuan masih sangat bergantung pada negara sebagai regulator yang dianggap berpihak pada perempuan. Sekarang, ketika negara mulai menghapus peran sosialnya (sebagai tuntutan dari sistem neoliberal) maka perempuan akan mendapatkan dampak yang cukup signifikan, lebih keras dari laki-laki.
Neoliberalisme yang sering disebut sebagai kapitalisme tanpa sarung tangan, memang jauh lebih brutal dalam menindas dan menyingkirkan massa rakyat. Hampir semua kebijakan ekonomi dan politik, umumnya didorong oleh kelompok bisnis, diputuskan tanpa melihat akibatnya bagi rakyat banyak. Esensi dari neoliberal adalah penghilangan tugas negara dalam urusan kesejahteraan sosial dan komoditifikasi barang-barang publik. Bentuknya adalah dengan privatisasi layanan publik, pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan dan investasi dan sebagainya. Dalam kacamata feminis, semua itu menyasar dan berdampak langsung pada perempuan.
Ambil contoh kebijakan penghapusan subsidi BBM. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya, maka perempuanlah yang dinggap paling bertanggung jawab atas urusan dapur. Begitu pula dengan kebijakan liberalisasi perdagangan (pasar bebas) yang diambil pemerintah. Data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan sebanyak 60% pelaku UKM di Indonesia adalah kaum perempuan. Begitu juga penggerak industri rumah tangga dan sejenisnya yang rata-rata juga perempuan. Artinya, jika sektor UKM dan industri rumah tangga ini tergilas oleh kebijakan liberalisasi perdagangan, maka perempuanlah yang paling terkena dampaknya berupa penyingkiran dari sektor produksi. Maka tak mengherankan, sebagian besar kasus bunuh diri dipicu oleh beban ekonomi rumah tangga, pendidikan, kesehatan dan lain-lain terjadi pada ibu rumah tangga (perempuan).
Neoliberalisme juga mendorong feminisasi dunia kerja. Karena tekanan ekonomi, banyak kaum perempuan yang dipaksa bekerja di luar rumah, bahkan dengan menjadi TKW. Tidak sedikit diantaranya yang bekerja dengan upah murah dan di bawah kondisi kerja yang buruk. Pada tahun 1996 jumlah pekerja migran laki-laki mencapai 44% dan perempuan mencapai 56%. Dalam satu dekake kemudian tepatnya tahun 2007 angka tersebut berubah drastis, jumlah pekerja migran perempuan meningkat menjadi 78% sedangkan laki-laki berkurang menjadi 22%. Dan dalam banyak kasus buruh migran perempuan itu menggeluti pekerjaan-pekerjaan domestik yang telah digeluti sebelumnya seperti pembantu rumah tangga, perawat anak, perawat lansia, baby sitter dan sebagainya.
Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Sepanjang tahun 2013 kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap perempuan, sepanjang tahun 2013 tercatat hampir 280 ribu kasus kekerasan yang dialami perempuan. Pada tahun 2012, tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan sejumlah 216.156 kasus. Di 2013 kasus kekerasan meningkat menjadi 279.760 kasus.
Ini menunjukkan bahwa neoliberal yang berkembang di Indonesia semakin membuat perempuan menjadi bagian yang paling tertindas. Ketika perempuan berusaha keluar dari patriarkisme tradisional yang mengikat mereka, perempuan justru semakin dihadapkan pada paradoks neoliberal yang justru tidak menguntungkan bagi mereka. Jadi perempuan hanya menjadi obyek dan komoditi untuk kepentingan kelas kapitalis.
Menggugat Feminisme Islam di Indonesia
Sebagaimana diketahui feminisme merupakan suatu kajian yang mencari akar ketertindasan perempuan sampai pada upaya penciptaan pembebasan perempuan. Wacana feminisme muncul sebagai perlawanan terhadap stuktur dan sistem yang melakukan penindasan atas nama gender. Oleh karena itu wajarlah jika pada awalnya, feminisme bisa berjalan harmonis dengan kapitalisme yang meneriakkan ide kebebasan dalam menentang Islam, yang dianggap patriarkhis. Bahkan karena ide kebebasan berpikir dan berekspresi dalam kapitalisme inilah feminisme bisa terlahir di dunia. Namun ketika kapitalisme ini telah menjelma menjadi neoliberalisme, feminisme mulai melakukan “perlawanan”. Maka kesalahan mendasar ide feminis, baik aliran feminis radikal maupun aliran post kolonial (termasuk feminis muslim), justru terletak pada penggunaan akal sebagai asas dalam berpikir dan memandang berbagai persoalan perempuan sekaligus memberikan solusi terhadap masalah perempuan.
Dalam kacamata feminis, tugas-tugas domestik seorang perempuan lebih dirasakan sebagai beban yang sangat berat dibandingkan dengan tugas laki-laki dalam mencari nafkah. Pun demikian ketika kaum feminis memandang pembagian waris, kepemimpinan dalam rumah tangga dan pemerintahan, ataupun dalam masalah yang lainnya. Perasaan nyaman tidak nyaman, menguntungkan atau tidak, enak atau tidak, berat atau ringan inilah yang mendominasi kacamata feminis. Padahal tidak semua hal bisa terjangkau oleh akal dan perasaan manusia. Demikian juga tidak semua akal dan perasaan perempuan sama. Bahkan bisa jadi pula perempuan-perempuan yang awalnya memiliki akal dan perasaan yang sama dalam rentang waktu tertentu bisa berubah, bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Dengan metode berpikir yang hanya berlandaskan pada akal dan perasaan seperti ini, maka kondisi ketertindasan yang diklaim oleh para feminis akan memiliki standar yang tidak jelas. Demikian juga dengan gambaran kebebasan perempuan yang mereka idamkan. Sama-sama tidak jelas standarnya dan kabur karena masing-masing pegiatnya akan memiliki pemikiran dan perasaan yang berbeda pula pada 2 hal diatas. Jika seperti ini yang mereka perjuangkan maka apapun sistemnya mereka akan senantiasa menggugat dan melakukan perlawanan.
Memang benar bahwa akal dan perasaan manusia bisa dijadikan sebagai standar dalam menilai sesuatu. Namun sesuatu yang dimaksud adalah menilai benda atau sifat. Bukan menilai perbuatan manusia. Ketika manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dihadapkan pada fakta miskin dan kaya, maka jelas mereka akan menilai kaya lebih baik daripada miskin. Pandai lebih baik daripada bodoh. Manis lebih baik daripada pahit. Demikian seterusnya.
Namun, akal dan perasaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, tidak akan mampu memberi penilaian terhadap hakikat perbuatan manusia. Mereka tidak mampu menilai apakah mencari nafkah lebih baik daripada melakukan pekerjaan domestik, apakah menjadi pemimpin akan lebih baik daripada dipimpin, dan sebagainya. Oleh karena itu keterbatasan dalam menilai hakikat perbuatan manusia ini harusnya menyadarkan manusia bahwa dia membutuhkan standar yang lain untuk menilainya. Dan standar itu tentu harus berasal dari pencipta perbuatan manusia, yakni Allah swt.
Oleh sebab itu Islam datang untuk memberikan tuntunan pada manusia untuk menilai suatu perbuatan. Bukan karena Islam bersifat lebih patriarkhis dan cenderung memposisikan perempuan sebagai pihak kedua, tetapi karena Islam memandang apa yang menjadi hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan adalah dua hal yang berbeda sehingga tidak bisa dibandingkan mana yang lebih baik. Masing-masing memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam kadar yang sama di mata Allah swt. Demikianlah Allah swt telah mengatur masing-masing memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda agar bisa saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu kehidupan masyarakat akan menjadi lebih harmonis.
Jika saat ini fakta tersebut tidak didapatkan, justru pangkal masalahnya terletak pada penerapan sistem kapitalisme oleh penguasa saat ini. Penerapan sistem yang mendewakan akal ini membuat masing-masing elemen dalam masyarakat menggunakan standard dan caranya sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan. Wal hasil yang didapat bukanlah keharmonisan dalam bermasyarakat namun justru kehancuran yang didapatkan. Wallahu a’lam. [Estyningtias P (Lajnah Siyasiyah MHTI)] [www.visimuslim.com]
Sumber : hizbut-tahrir.or.id
Posting Komentar untuk "Mengikis Geliat Feminisme dalam Pusaran Neoliberal"