KAA 2015: Lintas Sejarah dan Dualisme Cita-cita
Gempita KAA ke 60 begitu membahana. Sampai-sampai batu akik yang fenomenal dijadikan souvenir bagi peserta. Eskusi mati terpidana Narkoba Bali Nine pun tertunda, demi menghormati KAA. 60 tahun lalu pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya. KAA ke-60 akan dilaksanakan di 2 kota, yaitu Jakarta pada 19-23 April dan Bandung pada 24 April. Agenda KAA meliputi "Asia-Afrika Bussiness Summit" dan "Asia-Africa Carnival". Tema yang dibawa Indonesia dalam acara yang akan dihadiri 109 pemimpin negara dan 25 organisasi internasional tersebut adalah peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian (news.liputan6.com). Dipastikan beberapa kepala negara, LSM, dan tim pemantau akan hadir.
Semangat pertemuan negara dua benua ini sebagai bentuk penentagan pada setiap penjajahan. Mengingat negara-negara di Asia dan Afrika pernah dijajah oleh Eropa (Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, Italia, Belgia, Jerman, dll), Amerika Serikat, dan Rusia. Tidak hanya itu, negara di dua benua itu merupakan kaya Sumber Daya Alam. Tak ayal, penjajahan berarti ekploitasi kekayaan alam dan penindasan pada manusia. Mereka ibaratkan srigala buas dan tak berperi kemanusiaan.
Jika diamati secara cermat dan obyektif pada sejarah. Sesungguhnya wilayah Afrika dan Asia pernah berada pada satu bendera, yaitu Kekhilafahan Islam. Ketika kejayaan Khilafah Islam memudar karena rong-rongan dari internal dan penyerangan dari ekternal. Puncak keruntuhan khilafah runtuh pada tahun 1924 menjadi momentum penjajah Barat untuk memecah belah negeri-negeri muslim menjadi lebih dari 50 negara. Akhirnya kondisi ketika itu, dunia ramai dengan perang fisik, perebutan wilayah, eksploitasi kekayaan alam, dan penyebaran ideologi Komunisme dan kapitalisme.
Corak Penjajahan di Asia-Afrika
Konflik negara-negara Barat dalam penjajahannya di Afrika mengambil cara eksploitasi dan hampir-hampir penyebaran kapitalisme tidak terlihat wujudnya. Penampakan lebih pada kerakusan materi dan konflik perebutan pengaruh antara Eropa dan AS. Inggris dan sekutu-sekutu Eropanya, demikian juga AS, tidak menaruh perhatian pada apa pun di Afrika, kecuali pada keuntungan-keuntungan material.
Adapun di Dunia Islam, di Timur Tengah dan Afrika Utara, atau di Asia Tengah dan Asia Tenggara, maka negara-negara penjajah —di bawah pimpinan AS— di samping memaksakan dominasi politik, militer, dan ekonomi di Dunia Islam untuk mengeksploitasi manfaat-manfaat materialnya, juga berupaya untuk menyebarkan kapitalisme pada banyak bidang. Misalnya perhatian negara-negara penjajah terhadap konferensi-konferensi seperti “konferensi emansipasi” dan “kesetaraan gender”.
Sebelum Perang Dunia II tidak terdapat blok-blok dalam arti ideologis. Adapun setelah Perang Dunia II, dunia terbagi secara internasional menjadi dua blok: Blok Barat (tak semua berideologi kapitalisme) dan Blok Timur (berideologi komunisme). AS dianggap sebagai negara pertama dalam Blok Barat, sedang Rusia (Uni Soviet) sebagai negara pertama di Blok Timur.
Selamanya penjajahan tidak akan menguntungkan manusia. Penolakan penjajahan harus dilakukan sebagai bentuk menuju kedamaian hidup dunia. Penolakan juga disertai dengan sikap menolak ideologi batil yaitu Kapitalisme dan Komunisme. Serta kedua turunan dari ideologi dalam berbagai bentuk ide turunannya. Kedua ide itulah yang menyebabkan kerusakan di bumi.
Di Balik KAA 1955
Penjajahan Eropa di Afrika berlangsung hingga akhir perang Dunia II. Pada saat Piagam PBB disusun, di dalamnya terdapat pasalpasal yang berkaitan dengan penghentian penjajahan. Akan tetapi pasal-pasal ini dibuat sedemikian rupa sehingga penghentian penjajahan ini berlangsung secara bertahap. Maka, negara-negara adidaya tidak membicarakan penghentian penjajahan di Afrika kecuali setelah tahun 1960. Sedang sebelum itu pada sebagian negara-negara jajahan dibentuk pemerintahan perwalian/mandat, seperti jajahan-jajahan Italia sebagai pendahuluan untuk penghentian penjajahan di sana. Terdapat pula aktivitas-aktivitas politik untuk mengakhiri penjajahan.
Aktivitas politik yang terpenting waktu itu tercermin pada gagasan Netralitas Positif, Konferensi Netralitas Positif, dan Non Blok. Gagasan Netralitas Positif ini pada mulanya adalah gagasan Inggris yang diberikan oleh PM Churchil kepada salah satu agen Inggris, yaitu Nehru. Churchil meminta Nehru agar mengumumkan ide itu sebagai politik India dan menjalankannya di negara-negara di kawasan Asia.
Mengenai ide kemerdekaan, Inggris telah sejak lama menjadikannya sebagai sarana untuk mengubah cara penjajahannya. Inggris telah memberikan kemerdekaan kepada sebagian jajahannya dan menjadikannya negara-negara merdeka. Sebagiannya dibentuk Inggris menjadi apa yang disebut Negara Persemakmuran Inggris. Karena itu, Inggris tidak banyak mempedulikan ide kemerdekaan, tetapi dia mendukungnya dan mengikuti alurnya karena Inggris tahu bagaimana memanfaatkan ide ini untuk tetap mengokohkan penjajahannya. Namun Inggris khawatir terhadap dominasi AS atas negara-negara merdeka tersebut melalui cara memberikan utang luar negeri, mengirim tenaga ahli, memberi bantuan, dan sebagainya.
Inilah asal usul mengapa Inggris memunculkan gagasan Netralitas Positif dan memberikannya pada Nehru agar Nehru menjalankannya sebagai upaya menghambat AS dan Rusia (Uni Soviet). Nehru kemudian benar-benar menyebarkan gagasan ini dengan penuh semangat.
Nehru tetap menyebarkan gagasan ini dan berusaha mewujudkan gagasannya menjadi aksi yang konkret. Nehru kemudian menjalin kontak dengan Cina dan mengajaknya untuk mengadakan konferensi negara-negara nonblok. Cina dengan serta-merta menerimanya lalu dibentuklah panitia persiapan konferensi. Panitia ini lalu mengadakan kontak dengan negara-negara terjajah yang sudah merdeka dan mengajaknya untuk mengadakan konferensi non-blok.
Indonesia termasuk ke dalam panitia ini. Pada waktu itu Indonesia belum cenderung memihak kepada AS. Indonesia juga khawatir jikalau nanti konferensi itu akan berpihak pada komunis. Nampak saat itu Indonesia berusaha untuk meminta pendapat AS dan AS pun kemudian mendukung Indonesia. Waktu itu presiden Eisenhower juga menyetujui gagasan non-blok ini. Karena itulah, Indonesia menerima baik gagasan ini dan mengusulkan supaya konferensi itu diadakan di Indonesia tepatnya di Bandung. Usulan ini diterima oleh panitia dan diadakanlah konferensi ini di Bandung pada tahun 1955.
Rusia (Uni Soviet), Cina, Inggris, dan AS masing-masing berusaha memanfaatkan konferensi itu. Tetapi konferensi ini kemudian menghasilkan kesimpulan yang memuaskan Rusia (Uni Soviet), Cina dan AS, karena konferensi mengeluarkan deklarasideklarasi yang menyerukan kemerdekaan. Sementara Inggris tidak puas karena dia ingin menguasai sendiri ataupun mendominasi gagasan non-blok ini.
AS kemudian benar-benar memanfaatkan konferensi ini. Waktu itu Tito, Soekarno, dan Abdul Nasser mengadopsi dengan kuat gagasan dan konferensi non-blok ini. Mereka kemudian bergabung dengan Nehru —si agen Inggris— pemilik asli gagasan itu dan menjadikan konferensi tersebut sebagai sarana untuk menyerukan kemerdekaan dari penjajahan dan untuk menyerang negara-negara imperialis. Mereka memprioritaskan usahanya di Afrika. Pada tahun tahun 1960 gagasan non-blok tersebut telah memainkan perannya di Afrika.
Tampak begitu detail pengaturan negara yang memiliki kepentingan di negara jajahannya. Ide kemerdekaan sesungguhnya digunakan untuk menghilangkan citra penjajahan yang bengis menjadi negara yang siap memberi bantuan terbentuknya negara baru. Berakhirnya penjajahan fisik dialihkan kepada penjajahan dalam bentuk lain. Di sisi lain, kemerdekaan dijadikan pemupukan ide nasionalisme dan pemecah belahan kekuatan umat Islam yang memiliki ikatan aqidah Islam.
Menelisik Pengaruh KAA 2015
Ada tiga hal penting dari pertemuan KAA 2015, yaitu ekonomi-kesejahteraan, isu kemerdekaan, dan islam. Tiga isu itu menggambarkan bahwa negara yang tergabung dalam KAA masih jauh dari kesejahteraan, kedaulatan, dan kemandirian yan diidamkan pasca merdeka.
Terkait ekonomi-kesejahteraan, secara georafis jika dibentangkan mulai daratan Maroko hingga Merauke (Indonesia), akan tampak keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna. Kandungan kekayaan di dalam perut bumi berupa minyak, mineral, dan tambang lainnya. Ibaratkan wilayah Afrika-Asia seperti kue dan sepiring masakan enak. Orang yang melihat pun akan tergiur dan coba memakannya. Cara halus dan kasar pun ditempuh.
Fakta menunjukan di beberapa negara yang memiliki SDA berlimpah terkadang salah urus. Sehingga tidak dapat dinikmati dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebaliknya, SDA itu dikuasai asing melalui korporasi rakusnya. Di satu sisi ada dilema ketika negara yang kaya SDA, ada rakyat yang miskin dan tidak sejahtera. Di sisi lainnya, hasil SDA berlimpah hasilnya digunakan untuk hal yang tidak penting demi memuaskan pihak penguasa. Sebagaimana negara di Timur Tengah yang menanamkan saham di klub sepak bola eropa. Sementara mereka lupa, jika Palestina merana tak sedikitpun diperhatikan.
Jika pun ingin meningkatkan kerjasama ekonomi Asia-Afrika, maka negara-negara itu harus mampu melepaskan belenggu kapitalisme dan jeratan tekanan Eropa, AS, China, dan Rusia dalam perdagangan internasional. Yang harus diingat negara di dunia ini terikat dengan WTO yang dikuasai segelintir negara berpengaruh. Bahkan keterbukaan barang, jasa, dan orang akan begitu mudah masuk dan keluar dari suatu negara. Sebagaimana liberalisasi perdangan atas nama MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan sejenisnya.
Terkait isu kemerdekaan Palestina, isu itu memang hangat di dunia internasional. Baik di PBB, Parlemen Eropa, Dunia Islam, dan Parlemen Amerika. Mereka cenderung sibuk dalam urusan diplomasi dan konfrensi untuk membujuk Israel. Sementara keberadaan Israel di Palestina bukan menjadi ancaman nyata. Mereka menutup mata, bahwa penjajahan Palestina dikarenakan arogansi Israel ketika direstui PBB dan Inggris untuk mengusir penduduk Palestina. Lantas, atas dasar apa mereka menjulat lidahnya sendiri? Mereka lupa bahwa bergelimangnya mayat tak membuat mereka miris dan bersedih. Sungguh aneh?
Hingga saat ini draf dukungan Palestina merdeka masih dibahas perwakilan Indonesia di New York. Luhut di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa 31/3/2015 mengatakan, "Saya belum tahu perkembangan terakhir. Tapi itu menjadi usulan dari pemerintah Indonesia dan itu janji presiden. Kementerian Luar Negeri kita masih melobi itu. Mudah-mudahan bisa kita capai." Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia mempunyai arti penting bagi Palestina. Seperti komitmen Jokowi sejak awal menjadi presiden, pemerintah RI akan terus mendorong deklarasi ini, agar Palestina menjadi negara merdeka dan masuk anggota PBB (news.liputan6.com).
Istilah kemerdekaan Palestina merupakan bagian dari intrik politik dan kelicikan Barat. Solusi selama ini yang ditawarkan berupa keberadaan dua negara: Palestina dan Israel berdampingan. Ini sebenarnya bukan solusi, karena sama saja membiarkan Israel untuk bercokol dan merangsek untuk menguasai wilayah Palestina. Di sisi lain, Israel merupakan mitra utama AS untuk menjaga pengaruhnya di Timur Tengah.
Maka solusi tuntas bagi kemerdekaan Palestina adalah kesepakatan pemimpin negara Asia-Afrika yang memiliki aqidah Islam mengirimkan tentara untuk berjihad mengusir Israel. Karena hakikat penjajahan dan pendudukan di Palestina berupa fisik.
Isu-isu Islam begitu menarik dan menjadi perdebatan hangat. Pembicaraan Islam biasanya dikaitakan dengan radikalisme, ektrimisme, moderat, dan toleran. Tampaknya Islam yang kaffah dan mulia ini akan digeser pada pemahaman Islam moderat ala Barat. Selama ini, Barat setelah melakukan kajian mendalam pada Islam dan dunia Islam mereka pun berbicara Islam atas pandangan mereka. Barat berupaya mengakomodasikan pemikirannya agar diterima oleh Islam. Dimunculkan istilah demokratisasi, humanisme, dan moderat. Islam coba ditarik jauh dari akarnya dan kesuciannya.
Oleh karena itu, KAA 2015 tidak akan berarti apa pun, jika yang masih menjadi pengikatnya adalah nasionalisme dan perasaan terjajah. Barat pun tidak akan gentar karena KAA 2015 bukanlah agenda politik penyatuan wilayah Asia-Afrika untuk melawan mereka. Barat faham betul bahwa antek dan pemimpin negara boneka akan senantiasa menjaga kepentingannya di Asia-Afrika. Seharusnya negara yang tergabung dalam KAA menyadari bahwa ada penjajahan gaya baru (neo imprelisme) dan kebebasan baru (neo liberalisme) di negeri mereka. Mereka seharusnya dalam KAA 2015 merumuskan untuk mengusir Kapitalisme dan menyelamatkan negerinya dari neo imprelisme dan neo liberalisme.
Indonesia layak menjadi motor dan pemersatu anggota KAA yang mayoritas muslim untuk kembali bersatu di bawah satu kepemimpinan. Indonesia dengan SDM dan SDA-nya pasti mampu memimpin dan menjadi pelindung negeri lainnya. Yang dibutuhkan hanya satu, yaitu keberanian politik untuk menggabungkan negeri-negeri kaum muslim dalam bendera tauhid. Itulah esensi negara Khilafah yang akan menyatukan segala potensi untuk mengusir dominasi penjajah asing. [Hanif Kristianto (Lajanah Siyasiyah HTI Jawa Timur)] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "KAA 2015: Lintas Sejarah dan Dualisme Cita-cita"