Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Roundtable Discussion Tokoh Perempuan Asia Tenggara, Mencari Solusi Atas Penderitaan Kaum Perempuan dan Anak-Anak Rohingya


Divisi Muslimah di Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir menyelenggarakan pertemuan tokoh perempuan dari seluruh Asia Tenggara pada Sabtu (6/6/2015), pukul 15.00 waktu Malaysia (08.00 GMT) di Hotel Nouvelle, KM 8, Kuala Lumpur Seremban Highway Sungai Besi, 43300 Kuala Lumpur, Malaysia. Bentuk acara yang diselenggarakan adalah Roundtable Discussion dengan mengangkat tema “Rohingya: Tanpa Kewarganegaraan di Lautan ATAU Bagian dari Ummat Terbaik”. 

Acara yang dihadiri kaum perempuan dari kalangan tokoh, intelektual dan media ini merupakan bagian dari kampanye global yang telah diluncurkan untuk membangun perhatian internasional terhadap penindasan, kekerasan, eksploitasi, dan kebijakan pemerintah represif yang terus memburuk dan menghebohkan yang menimpa kaum perempuan dan anak-anak Rohingya Myanmar hanya karena mereka adalah Muslim. 

Acara ini diisi dengan pesan video dari Dr. Nazreen Nawaz (Direktur Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir), Opening Speech dari Muslimah Hizbut Tahrir Malaysia, tayangan video "History of Rohingya", orasi dari anggota Muslimah Hizbut Tahrir Malaysia, Indonesia, Australia, dan dunia Arab.

Acara ini juga menampilkan testimoni dari perempuan Rohingya serta Muslimah dari Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia mengenai nasib mengerikan orang-orang yang dianiaya, diabaikan, dan tanpa kewarganegaraan ini. Pertemuan ini didahului dengan konferensi pers dan ditayangkan melalui live-streaming kepada audiens internasional www.mykhilafah.com dan www.hizb-ut-tahrir.info.

Pertemuan ini membahas solusi yang harus diambil oleh pemerintahan dunia Muslim untuk menyelamatkan kaum perempuan dan anak-anak Rohingya, serta menekankan ikatan ukhuwah Islam yang mewajibkan kaum Muslim untuk memberikan perlindungan tanpa keraguan atau penundaan lagi bagi saudara-saudara mereka yang telah benar-benar membutuhkan bantuan mereka. Selain itu, para pembicara juga menjelaskan mengapa penegakkan segera negara Khilafah yang berdasarkan metode kenabian –sebuah sistem yang benar-benar mewakili kepentingan Islam dan kaum Muslim— yang akan memberikan solusi konkret dan permanen atas penindasan kaum Muslim di Myanmar dan secara global, dengan menghapus batas-batas kolonial dipaksakan antara negeri-negeri kaum Muslim serta dengan memberikan keamanan, tempat tinggal, dan kehidupan yang bermartabat bagi kaum Muslim yang teraniaya.

Iffah Ainur Rochmah, Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyampaikan materi yang mengangkat tema : "Nasionalisme: Tembok Penghalang Indonesia Selamatkan Muslimah dan Anak-anak Rohingya". Dalam pemaparannya, Iffah menuturkan bahwa krisis Rohingya tak kunjung berakhir setelah 3 tahun berlalu.  Dimana ratusan ribu muslim terus dibantai dan diburu layaknya binatang. Selain itu, ada ratusan orang Rohingya yang menjadi korban sindikat perdagangan manusia dan terdampar di perairan Aceh yang tengah menanti pembelaan dari saudara sesama muslim. 

Sementara itu, sikap pemerintah Indonesia menghadapi masalah ini nampak jelas. Pemerintah tak mau keberadaan Rohingya membebani dan menambah masalah. Namun setelah media nasional dan internasional mengangkat besar-besaran  tindakan penyelamatan yang dilakukan nelayan Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya, sikap pemerintah sedikit berubah. Desakan berbagai elemen masyarakat agar tidak menelantarkan mereka mendorong Presiden Jokowi memutuskan untuk  menampung pengungsi Rohingya hingga satu tahun ke depan. Dan kebijakan menampung setahun pengungsi Rohingya ini bisa memberi keuntungan tersendiri bagi pemerintah. Di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan baru,  kebijakan-kebijakannya yang berwatak neoliberal yang terus disorot dan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi, isu Rohingya bisa menjadi ‘sesuatu’ bagi pemerintah. Pemerintah Indonesia bisa mengambil hati publik, khususnya umat Islam. Unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat, desakan DPR dan dorongan dari berbagai ormas dijawab pemerintah secara apik. Pemerintah berjanji tidak akan mendorong ke laut perahu Rohingya yang terdampar (pushed back policy) sebagaimana dilakukan Australia.

Lebih lanjut Iffah memaparkan bahwa perhatian setengah hati terhadap muslim Rohingya terjadi akibat racun mematikan nasionalisme. Batas-batas demarkasi negara bangsa telah menghalangi perhatian dan tanggung jawab sepenuhnya terhadap sesama. Nasionalisme bukanlah sekedar cinta tanah air. Karena cinta tanah air tidak pernah dilarang oleh Islam. Nasionalisme adalah faham yang menyebabkan seorang  muslim mengorbankan tuntunan agamanya demi apa yang disebut kepentingan nasional. Right or wrong is my country. Pemerintah Indonesia yang muslim menganggap cukup hanya dengan memberikan bantuan dan penampungan sementara. Tidak ada perlindungan, status kewarganegaraan dan jaminan atas masa depan mereka. Alasannya rakyat Indonesia sendiri sudah terlampau besar jumlahnya dengan berbagai problem yang membutuhkan perhatian serius. Kepentingan nasional harus diutamakan dibanding menolong orang asing. Sesama muslim yang sedang tertindas pun dianggap orang asing. 

Pemerintahan Indonesia yang kapitalistik juga menjadi penyebab gagalnya saudara kita muslim Rohingya mendapat jaminan masa depan di negeri ini. Pemerintah kapitalis menggariskan semua kebijakan harus menghasilkann keuntungan secara materi. Pemerintah Indonesia mandul solusi atasi krisis Rohingya dan terus bersembunyi dibalik prinsip non intervensi ASEAN karena tidak menghendaki kepentingan ekonominya terhadap Myanmar dan negara-negara ASEAN terganggu. Tak akan ada kebijakan memutus hubungan atau memboikot rezim pembantai muslim, karena hal tersebut tidak memberikan keuntungan materi. Yang bisa dilakukan pemerintah hanyalah meyakinkan rezim Buddha Myanmar untuk serius menghentikan eksodus Rohingya yang merugikan negara-negara tetangga.  
Krisis Rohingya semestinya menggugah kesadaran semua pihak akan kegagalan sistem politik demokrasi dan rezim-rezim yang dihasilkannya untuk mewujudkan solusi persoalan kemanusiaan. Apalagi untuk melindungi darah dan kehormatan kaum muslim dari segala bentuk kezaliman. Umat Islam harus segera mengerahkan seluruh potensinya untuk mewujudkan kesatuan umat dan kekuatan politik yang mampu menerapkan seluruh hukum hukum Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan kekuatan politik inilah terjaga darah dan kehormatan, sekaligus terpenuhinya keadilan, kesejahteraan dan perlindungan terhadap hak hak syari kaum muslimin di seluruh dunia. Kekuatan politik itu adalah daulah khilafah Islamiyah ala minhajin nubuwwah. [Lilis Holisah] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Roundtable Discussion Tokoh Perempuan Asia Tenggara, Mencari Solusi Atas Penderitaan Kaum Perempuan dan Anak-Anak Rohingya "

close