Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suara Emas Syekh Mahmud Al Husairi

Syekh Mahmud Al Husairi
Siapa yang kenal Syekh Mahmud Al Husairi? Tidak banyak yang mengenalnya. Namanya kalah populer dengan Syekh Abdurrahman Sudais, Syekh Sa’ad Al Ghamdi, Syekh Abdullah Al Matrud dan Syekh Misari Rasyid atau nama tersohor lain dalam bidang seni membaca Al-Quran. Padahal suara Syekh Mahmud Al Husairi sampai sekarang masih mengiasi masjid-masjid yang melantunkan qiro’ah dan sholawat tarhim menjelang adzan. 

Bagi generasi tua, lantunan suaranya tidak asing, setidaknya bagi saya. Kalau saya dengar qiroaah surat Al Hujurat, Arrahman yang kemudian dilanjutkan dengan sholawat tarhim, kenangan saya melayang pada puluhan tahun lalu ketika masih kecil. 

Kala itu, masjid di Surabaya selalu mengumandangkan suara emas Syekh Mahmud Al Husairi sebelum adzan salat 5 waktu. Suara itu diperdengarkan melalui piringan hitam yang diputar oleh masjid Rahmat di Kembangkuning. Suara itu kemudian dipancarkan melalui Radio Yasmara yang berada di masjid tersebut. Karena waktu itu belum ada kaset, masjid-masjid itu memancarkan suara dari radio itu dengan pengeras suara agar bisa didengar dalam jangkauan yang luas. Saat Ramadan, suara itu justru menjadi penanda imsak, menjelang adzan subuh. Banyak yang terbantu dengan suara itu, begitu mendengar sholawat tarhim, makan sahurnya harus berhenti karena itu sudah masuk waktu imsak.

Evolusi audio tak bisa dihindarkan, kini suara Syekh Mahmud bisa dinikmati, bukan saja melalui kaset dan CD tapi juga melalui MP3 dan alat pemutar musik elektronik yang lain. Beberapa muadzin masih menggunakan gaya adzan Syekh asal Mesir tersebut, meskipun mulai banyak yang menggunakan gaya masjidil Haram Makkah dan Madinah. 

Suaranya yang khas rasanya sulit tergantikan oleh suara yang lain, mungkin karena sudah terlalu sering mendengarnya. Lantunan adzan dan Al-Quran yang disebarkan di masjid-masjid sangat bermanfaat untuk mengingatkan umat Islam, bahwa waktu salat sudah hampir tiba. Sebelum adzan, biasanya masjid mengumandangkan qiro’ah surat Al Hujarat, Ar-rahman yang dilanjutkan dengan sholawat tarhim. Selain sebagai pengingat, lantunan azan juga bisa menggerakkan hati manusia untuk menerima hidayah Allah. Seperti dialami Febri Yuniar yang memutuskan menjadi mualaf setelah sering diterpa suara adzan, seperti ditulis di koran Malang post edisi 24 Juni 2015. 

Setelah puluhan tahun, suara Syekh Mahmud masih tetap punya magnet untuk didengar, bahkan belum ada gantinya. Mungkin sudah waktunya qiro’ah dan sholawat tarhim itu didaur ulang oleh qori lokal. Saat berada di Banyuwangi awal bulan Juni kemarin, saya mendengar qiro’ah dengan surat yang sama dengan Syekh Mahmud Al Husairi, tapi suaranya kelihatan dari Indonesia. Lagunya persis, termasuk cengkoknya, tapi suaranya kelihatan lebih lantang. Awalnya agak asing, dengar sholawat tarhim dari bukan aslinya, tapi lama-lama saya rasakan enak juga, sama seperti aslinya. Suara itu dikumandangkan masjid-masjid sekitar setengah jam sebelum adzan berkumandang.

Sungguh lantunan suara itu sangat membantu untuk mengingatkan akan datangnya waktu salat. Bersyukurlah kita karena masih mendengar suara-suara ilahiah itu dari masjid yang banyak tersebar di berbagai pelosok. Bayangkan bila kita berada di Singapura, Perancis atau negara dengan jumlah Muslim yang masih Minoritas. 

Rasanya sayang kalau keindahan itu harus dihapuskan, seperti yang direncanakan Wapres Jusuf Kalla. Lantunan suara itu tidak perlu dihapus karena sangat bermanfaat, yang perlu ditertibkan adalah suara-suara dari masjid yang tidak mengenal waktu, sepanjang 24 jam misalnya. Di bulan Ramadan ini ada suara “patrol” dengan segala tetabuhan dan vokal manusia dengan tujuan untuk membangunkan orang untuk sahur. Tujuannya mungkin baik, tapi kalau suaranya terlalu keras dan dikumandangkan terlalu awal, apalagi masyarakat tengah nyentak istirahat tidur, tentu menjadi tidak baik. Perlu ada kesadaran dan tepo seliro dalam mengajak kebaikan. Pak Wapres juga perlu lebih cermat lagi dalam menjalankan rencannya ini, jangan sampai digebyah uyah, semua dilarang, seperti yang dipersepsikan masyarakat sekarang. Suara-suara pengingat ibadah itu masih diperlukan. Wallahu’allam bishowwab.. [Husnun N. Djuraid (Penulis buku “Ikatlah ilmu Dengan tulisan” (Aura pustaka, 2012))] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Suara Emas Syekh Mahmud Al Husairi"

close