Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terus Gelorakan!


Karut-marut. Barangkali tidak berlebihan bila kedua kata tersebut digunakan untuk menggambarkan kenyataan Indonesia saat ini.  Salah satunya terkait janji pemimpin.

Dalam pertemuan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) awal Juni 2015 lalu, tema janji pemimpin ini menarik perhatian.  “Para ulama sepakat bahwa bila seseorang berjanji untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama atau maksiat kepada Allah maka tidak boleh dilakukan. Haram bagi umat Islam untuk taat kepada pemimpin tersebut.  Misalnya, membuat lokalisasi pelacuran, melegalkan minuman keras, judi dsb,” tegas KH Ma’ruf Amin.

Wakil Ketua Umum MUI tersebut melanjutkan, “Janji pemimpin yang tidak bertentangan dengan Islam wajib dipenuhi (yajibu tsubûtuhu).   Bila tidak dipenuhi maka dia berdosa.”

Namun, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, “Tidak ada satu pun dalam perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.  Tidak ada konsekuensi hukum terhadap pelanggaran janji kampanye.  Kecuali bila janji itu diwujudkan dalam UU maka pelanggarannya adalah pelanggaran terhadap UU.”

Dalam kesempatan tersebut, saya berkesempatan untuk bicara.  Saya mengatakan bahwa ternyata apa pun yang dijanjikan oleh calon pemimpin baik calon kepala negara, calon kepala daerah, maupun calon anggota DPR/DPRD tidak mengikat secara hukum.  Hanya mengikat secara moral saja.  “Oleh karena itu, perlu disampaikan kepada rakyat agar jangan percaya pada janji-janji calon pemimpin baik Pilkada, Pilpres, maupun Pileg (DPR/DPRD).  Faktanya, kalaupun mereka sekedar membual maka tidak ada konsekuensi apa-apa.  Jangan tertipu!” begitu kata saya di forum para tokoh pimpinan ormas Islam pusat itu.

Ternyata ada kekhawatiran lain.  KH Adnan Harahap melontarkan pertanyaan retoris, “Apakah mungkin dari sistem demokrasi transaksional seperti sekarang ini kita mampu melahirkan pemimpin yang jujur?”

Beliau sendiri melihat bahwa berat sekali bahkan hampir tidak mungkin lahir pemimpin jujur dari sistem seperti itu.  “Ini sudah terjadi.  Yang ada bukan partai, tapi PT.  Sistem ini sudah membuat orang tidak jujur,” ujarnya geram.

Kiai Ma’ruf, begitu saya biasa menyapa beliau, menanggapi pertanyaan tersebut dengan gayanya yang khas.  “Kalau bicara mungkin, ya mungkin saja.  Tapi, perlu perubahan sistem.  Padahal dalam demokrasi, sistem itu harus diubah oleh Legislatif.  Padahal para anggota Legislatif sudah nyaman ada dalam sistem tersebut,” ujarnya.

Karena itu, wajar belaka bila banyak pihak menyatakan bahwa para legislator itu tidak mungkin mengubah sistem yang sedang mereka nikmati.  “Jadi, kita tinggal tunggu saja batas waktu atau ajalnya.  Kalau sudah saatnya datang, ajal dari suatu sistem sudah tiba, ya berakhir,” tandasnya seraya mengutip surat al-A’raf (7) ayat 34 yang maknanya, “Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.”

Jika demikian, kita kini sungguh tengah berada di dalam sistem yang membentuk lingkaran setan.  Perlu perubahan mendasar.  Lalu apa?  Mungkinkah demokrasi?  Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Ryaas Rasyid, menyampaikan kepada saya, “Demokrasi telah gagal.”

Jadi, demokrasi harus ditinggalkan, perlu jalan lain.  Jalan itu adalah Khilafah, sistem yang diwariskan oleh Rasulullah saw.

Namun, tak semua paham.  Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, “Ajaran khilafah sesuai dengan kondisi masa lalu karena batas-batas antarnegara tidak jelas. Adapun dengan konsep kebangsaan sekarang, Khilafah tidak cocok. Khilafah hanya sesuai dengan cara dan kultur di Arab, yang terdiri atas kabilah-kabilah.”

Jusuf Kalla menambahkan, “Berpikiran tentang Khilafah boleh saja, tapi jangan mengkampanyekannya. Jangan mengusahakannya hingga tegak.”

Padahal secara syar’i banyak dalil dari al-Quran, as-Sunnah, dan Ijmak Sahabat yang menegaskan kewajiban adanya Khilafah dan kewajiban menegakkan Khilafah.  Para ulama menegaskan hal ini. Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan, “Ajma’û ‘alâ annahu yajîbu ‘alâ al-Muslimîna nashbu khalifah (Para ulama) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah).”

Melarang melakukan sesuatu yang hukumnya wajib jelas merupakan kemungkaran.

Secara historis, Khilafah Islam juga pernah berkuasa selama 12 abad mencakup Asia, Afrika, bahkan Eropa.  Bukan hanya Arab.  Bahkan Spanyol (dulu Andalusia) berada di dalam naungan Khilafah Islam selama 800 tahun.  Jadi, ungkapan bahwa Khilafah hanya cocok untuk negeri Arab dulu dengan sistem kekabilahan bertentangan dengan kenyataan sejarah.   Siapa pun yang jujur akan mengakui hal ini.  Ilmuwan non-Muslim banyak yang mengakui hal ini.  Sekadar menyebut, Boom dan Balair dalam bukunya, Islam – A Thousand Years of Faith and Power, mengungkapkan, “In the Islamic lands, not only Muslims but also Christians and Jews enjoyed a good life (Di negeri-negeri Muslim, bukan hanya kaum Muslim, Kristen dan Yahudi pun menikmati kehidupan yang baik).”

Ini menegaskan bahwa Khilafah cocok untuk seluruh umat manusia, termasuk non-Muslim.

Selama ini, gagasan khilafah dipandang sebagai salah satu ajaran radikalisme.  Tentu ini sangatlah tendensius.  Berkaitan dengan hal ini, Wakil Presiden menyatakan bahwa Presiden telah menyetujui untuk mendirikan “Pusat Penelitian dan Studi Islam kelas internasional” di Indonesia. Rencana ini dia sebut terkait dengan upaya untuk melawan penyebaran ideologi radikal dengan penyebaran ideologi moderat.  “Kita bangun pusat Islam moderat.  Berapapun biayanya, sampai 10 triliun kita adakan,” tambahnya (8/6/2015).

Gagasan Islam Nusantara, Islam Indonesia, terus didengungkan.  Jangan heran kalau nanti akan muncul istilah Islam Bogor, misalnya.  Namun, semua upaya memecah-belah Islam itu akan gagal.  Sebaliknya, dengan sikap seperti itu, dukungan terhadap penegakan syariah Islam dan penyatuan umat di bawah naungan Khilafah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah semakin meningkat.  Seorang kiai terhormat di Jawa Timur saat ditanya sikapnya terhadap penegakan Khilafah, beliau hanya mengatakan, “Harus terus digelorakan!”

Jadi, di tengah kebobrokan sistem demokrasi, di saat penghadangan segelintir orang terhadap penegakkan syariah dan Khilafah, sikap yang harus diambil adalah: “Terus gelorakan!”[Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Terus Gelorakan!"

close