Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemerdekaan Semu Dibawah Bayang-Bayang Neoliberalisme dan Neoimperialisme


"Sekali Merdeka Tetap Merdeka!" Salam penyemangat diera sejarah pergerakan Indonesia berjibaku melawan penjajah Belanda. Indonesia atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah nusantara kala itu adalah negeri yang sangat elok. Negeri jamrud katulistiwa mengundang nafsu negara-negara imperialis. Satu-satu persatu mereka ekspansi ke nusantara membawa misi Gold, Glory and Gospel. Dalam waktu cepat nusantara telah dikuasai dan dieksploitasi. Tak sejengkal tanah pun di nusantara luput dari penguasaan mereka. Tiga setengah abad lamanya bangsa ini menderita dibawah cengkraman penjajahan Belanda.

Namun rakyat Indonesia tidak begitu saja rela bertekuk lutut kepada penjajah. Diberbagai daerah muncul geliat para pejuang yang ingin segera mepepaskan diri dari jeruji penjajahan. Sebagian mereka adalah umat islam yang tersulut api jihad didadanya. Khusunya ulama dan santri tidak tinggal diam. Mereka bersatu padu berjuang sampai titik penghabisan. Semangat juang itu mereka wariskan dari generasi kegenerasi. Selalu ada generasi pelanjut estafet perjuangan. Mereka rata-rata kebanyakan para generasi muda bahu membahu tak kenal lelah. Penjajah cukup kewalahan menghadapi gelombang perlawanan. Berbagai cara busuk dipakai meredam gelombang para pejuang pribumi.

Penjajah acap kali menggunakan strategi busuk. Politik devide et impera pun dimainkan. Yaitu politik pecah belah atau politik adu domba dengan mengkombinasikan strategi politik, militer, dan ekonomi bertujuan mendapatkan kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah ditaklukan. Mereka juga mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Penjajah tak segan-segan melalui antek-antek penguasa pribumi berkolaborasi ikut mencekik rakyat.

Setelah melalui jalan yang panjang dalam perjuangan turun temurun, akhirnya bangsa Ini memproklamirkan kemerdekaan pada hari Jumat, 9 Ramadlan 1436 H bertepatan dengan tanggal 17 Agustust 1945M. Soekarno dan Hatta didaulat membacakan naskah kekerdekaan. Degan media mengandalkan media komunikasi seadanya saat itu terutama melalui Radio yang dibuat oleh Jepang bangsa Indonesia mengumumkan kemerdekaannya keseluruh dunia.

Menarik dan tidak boleh dilupakan sejarah, bahwasannya perjuangan mengusir bangsa kolonial dipelopori oleh ulama yang pada awalnya diusung oleh para wali songo. Merekalah pendahulu nusantara yang telah banyak melakukan pergolakan dengan kolonial. Tercatat dalam buku sejarah, salah satu diantaranya Kesultanan Banten yang dijadikan contoh oleh Wali Sunan Gunung Jati atau Sjarif Hidayatullah. Beliau membangun kekuasaann politik Islam di Jawa Barat, Banten, Jayakarta dan Cirebon.  Dikisahkan pula bahwa Sultan Baabullah dari kesultanan Ternate, memiliki garis keturunan dari Sjarif Hifdayatullah.

Selain itu, dituturkan pula bahwa bersama Fatahillah sebagai pembangunan Jayakarta, 22 Juni 1572 M atau 22 Ramadlan 933H. Nama Jayakarta diangkat dari Al-Qur’an Surat Al-Fath (48) : 1, Inna Fatahna laka Fathan Mubina. Makna Fathan Mubina  adalah Kemenangan Paripurna atau Jayakarta. Kemudian dikenal dengan sebutan Jakarta

Nama Jayakarta, melambangkan rasa syukur kepada Allah, atas kemenangannya dalam menggagalkan usaha penjajahn Kerajaan Katolik Portugis di Pelabuhan kalapa atau soenda Kalapa. Kedatangannya sebagai pelaksana Testatemen Imperialisme Paus Alexander VI dalam Perjanjian Tordetilas 1494 M. Kisah Heroik Wali Sanga  memelopori penjajahan Kerajaan Katolik Portugis, terlupakan. Lebih banyak dikenang Wali Sanga dengan kisah dongengnya. (Lihat Api Sejarah Jilid 1, Ahmad Mansur Surya Negara)

Pergantian nama seperti diatas seperti peristiwa sejarah tanpa makna, hanya mengubah nama Pelabuhan Kalapa menjadi Fathan Mubina  atau Jayakarta, atau Jakarta , 22 Juni 1572 M atau 22 Ramadlan 933 H. Namun empat ratus tahun kemudian, bangkit kembali , Fathan Mubina-Jayakarta-Jakarta, dan menjadi nama Ibu Kota Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya menjadi nama Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, Jumat Kliwon, 11 Rajab 1364 H serta dikukuhkan pula sebagai nama Ibu Kota NKRI , 17 Agustus 1950, Kamis pahing, 2 Dzulhijjah 1369 H.

Sudahkah Merdeka?

Selama 70 tahun Indonesia memperingati HUT kemerdekaannya. Gegap gempita perayaan mewarnai setiap sudut perkampungan. Sayangnya, selama 70 tahun memperingati kemerdekaan, menyimpan segudang beban persoalan  dan terus memproduksi tumpukan persoalan. Patut dipertanyakan apakah potret negeri yang merdeka itu seperti ini? Benarkah Indonesia sudah merdeka?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merdeka dimaknai sebagai bebas (dari penghambaan, penjajahan dsb); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat; tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Dengan demikian merdeka berarti lepas dari berbagai bentuk penjajahan dan penghambaan manusia terhadap manusia lainnya, baik penjajahan secara fisik maupun penjajahan dalam bentuk ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Jika mencermati pengertian kemerdekaan tersebut, kok rasa-rasanya pekik kemerdekaan yang selama diteriakkan membuat gusar dan tidak percaya diri, meyandang predikat sebagai bangsa yang merdeka. Benar, sudah 70 tahun bangsa ini terlepas dari penjajahan fisik kolonial. Bangsa Indonesia kenyang dengan penjajahan model klasik ini. Keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Setelah lepas dari belanda kembali Indonesia dijajah Jepang (1942-1945). Walau tidak selama penjajahan Belanda, Jepang sangat bengis menindas rakyat. Jepang memaksa rakyat Indonesia sebagai romusha untuk mengerjakan proyek-proyek besar.

Segenap putra-putri bangsa Indonesia yang dipelopori umat islam (terutama ulama dan santri) bergeliat melawan penjajahan. Dari generasi kegenerasi silih berganti berjuang melakukan perlawanan. Dengan rahmat Allah swt bangsa Indonesia mampu melewati masa-masa sulit diera penjajahan.

Tipologi Penjajahan

Tujuh puluh tahun sudah negeri ini lepas dari dominasi penjajahan militer. Namun bagaimana dengan penjajahan gaya baru (neoimperilisme)? Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani mendefiniskan penjajahan (isti’mar) sebagai berikut;

فرص السيطرة السياسية، والعسكرية، والثقافية، ولإقتصادية، على الشعوب المغلوبة لاستغلالها
Penjajahan (Isti’mar) adalah pemaksaan penguasaan (dominasi) politik, militer, budaya dan ekonomi terhadap bangsa-bangsa yang terjajah untuk dieksploitasi

Dari pengertian penjajahan diatas, dapat dibagi kedalam 2 tipologi  penjajahan, yaitu penjajahan langsung (mubasyirah) dalam bentuk invasi militer dan penjajahan tidak langsung (ghoiru mubasyirah)dalam bentuk penjajahan sistemik (neoimperialisme) seperti budaya, ekonomi. Kedua tipologi penjajahan tersebut sama-sama membawa dampak berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertanyaannya kenapa harus ada penjajahan dimuka bumi? Apakah manusia sudah kehilangan kewarasannya sampai tega menjajah negara lain? Dan bagaimana dengan peradaban islam? Untuk menjawab sederetan pertanyaan tersebut perlu dijelaskan filosofi arah politik luar negeri suatu negara. Dalam kitab Mafaahim Siyasiyyah Ii Hizb at-Tahrir Tahrir dijelaskan cukup panjang tentang filosofi politik luar negeri negara-negara didunia. Telah jelas diketahui bahwa politik (as-siyasah) didefiniskan sebagai;

السياسة هي رعاية الشؤن الأمّة داخليا وخارجيا
“Mengurusi urusan umat dalam negeri maupun luar negeri”

Perhatian kita perlu ditujukan pada pola gerak politik luar negeri suatu bangsa. Negara-negara didunia dapat dikategorikan kedalam  dua kelompok besar yaitu negara ideologis (ad-daulah al-mabda’i) dan negara tidak ideologis (ad-daulah ghoiru al-mabda’i). Negara ideologis adalah negara yang aktivitas politik luar negeri didorong penuh demi kepentingan ekspansi dan penetrasi ideologi yang diembannya ke negara lain didunia. Negara ini sangat aktif tidak bisa diam sebelum negara lain mengemban ideologinya.  Contoh seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis sebagai para pengemban Kapitalisme; Uni Soviet (dulu) dengan Sosialismenya; atau Khilafah Islamiyah yang mengemban ideologi Islam. Sedangkan negara tidak ideologis sangat nampak tidak memiliki kepentingan ideologi ketika melakukan hubungan politik luar negeri. Negara ini cenderung statis defensif hanya memikirkan kepentingan internal negaranya. Contoh seperti Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya. Realitasnya negara yang tidak ideologis menjadi objek penetrasi ideologi negara ideologis. Pola-pola semacam ini merupakan suatu yang berjalan secara alami terjadi dalam konstelasi internasional.

Kerangka Politik Luar Negeri

Untuk dapat memahami politik luar negeri secara komprehensif, setidaknya ada beberapa unsur dasar politik luar negeri yang harus diketahui, yaitu fikrah (ide dasar) , thariqah (metode operasional), khittah siyasiyah (garis/strategi politik) dan uslub siyasi (taktik politik). Semua ini merupakan unsur yang harus diketahui agar kita dapat memahami kerangka politik luar negeri dari suatu negara, khususnya negara pembawa ideologi.

Memahami politik luar negeri (as-siyasah al-kharijiyyah), merupakan satu kewajiban penting atas kaum Muslim. Dan perlu kaum muslim perlu memahami konstelasi politik di Dunia Islam dan sekaligus konstelasi politik internasional (al-mawqif ad-duwali). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan kerangka konstelasi politik luar negeri ini dalam kitabnya Mafahim Siyasiyyah Ii Hizb at-Tahrir.

Pertama kali hendaklah dipahami pengertian fikrah (ide) dan thariqah (metode)—dalam konteks pembahasan politik luar negeri; juga pengertian khiththah siyâsiyah (rancangan politik) dan uslub siyâsi (strategi politik) berikut karakternya masing - masing.

 Fikrah politik luar negeri adalah ide dasar yang menjadi asas suatu negara dalam membangun interaksinya dengan negara lain. Thariqah politik luar negeri adalah metode operasional yang ditempuh oleh suatu negara untuk menerapkan fikrah-nya dalam politik luar negeri. Khiththah siyasiyah (rancangan politik) adalah suatu strategi umum (siyâsah ‘ammah) yang dirancang untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dituntut oleh fikrah atau thariqah . Uslub siyasi (strategi politik) adalah suatu strategi khusus (siyasah khâshah) mengenai satu bagian dan suatu strategi umum yang akan membantu mewujudkan atau memantapkan rancangan politik (khiththah siyasiyah).

 Fikrah dan thariqah bersifat tetap dan tak berubah walaupun terjadi perubahan atau pergantian para pemimpin politik yang memimpin suatu negara. Sebaliknya, khiththah siyasiyah dan uslub siyasi bersifat tidak tetap dan dapat berubah sesuai tuntutan kebutuhan dan keadaan. Namun demikian, khiththah siyasiyah relatif lebih tetap dibandingkan dengan uslub siyasi. Dengan kata lain, walaupun keduanya dapat berubah, perubahan khiththah siyâsiyah lebih jarang terjadi daripada uslub siyâsi.

Pembahasan fikrah dan thariqah politik luar negeri hanya berlaku untuk negara-negara yang menganut ideologis. Sedangkan negara yang tidak ideologis seperti Indonesia, dianggap tidak mempunyai fikrah dan thariqah dalam politik luar negerinya. Negara-negara ini hanya perlu dipahami aspek khiththah siyasiyah dan uslub siyasi-nya saja.

Apa yang menjadi fikrah dan thariqah dan masing-masing negara pengemban ideologi Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam? Fikrah dari negara penganut Sosialisme adalah menyebarkan sosialisme ke seluruh dunia. Fikrah ini bersifat tetap dan tidak berubah meskipun terjadi pergantian pucuk pimpinan di negara-negara sosialis. Sedangkan thariqah untuk mewujudkan fikrah tersebut adalah dengan mewujudkan berbagai konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, thariqah Sosialisme adalah mewujudkan perjuangan kelas, yang terjadi antara golongan-golongan dalam masyarakat, sebagai jalan untuk melahirkan masyarakat sosialis. Fikrah negara penganut Kapitalisme adalah menyebarkan Kapitalisme yang berpangkal pada ide pemisahan agama dan kehidupan (sekularisme) ke seluruh dunia. Thariqah-nya adalah melakukan penjajahan (imperialisme), yaitu pemaksaan dominasi militer, politik, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi.     Fikrah negara pengemban ideologi Islam (Khilafah Islamiyah) adalah menyebarkan ideologi Islam atau, dengan kata lain, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Sedangkan thariqah-nya adalah dengan jihad fi sabilillah.

Fikrah dan thariqah dalam politik luar negeri seperti telah diuraikan selintas di atas, secara konkret terwujud dalam bentuk khiththah siyâsiyah dan uslub siyasi. Khiththah siyasiyah, sebagaimana telah diterangkan maksudnya, merupakan suatu rancangan politik yang bersifat umum untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dituntut oleh fikrah atau thariqah dalam politik luar negeri. Sedangkan uslub siyasi merupakan strategi yang bersifat khusus yang menjadi bagian dari suatu rancangan politik yang bersifat umum, yang akan membantu mewujudkan atau memantapkan rancangan politik tersebut. Berikut beberapa contohnya yang pernah terjadi dalam sejarah.

Ancaman Neoliberalisme dan Neo imperialisme

Berbekal pemahaman tentang tipologi penjajahan serta kerangka politik luar negeri diatas. Indonesia ternyata masih termasuk sebagai negara yang belum kaffah disebut merdeka. Betul, negera-negara Barat kapitalis tidak lagi menjajah secara militer tetapi metode penjajahannya bermertamorfosa dalam bentuk penjajahan gaya baru (neoimperialisme) sebagai implikasi bentuk khiththah siyâsiyah dan uslub siyasi.  Dampak bahayanya sama-sama sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Selama 70 tahun Indonesia merdeka ancaman penjajahan gaya baru yaitu Neoliberalisme dan Neoimperialisme semakin menguat hegemoninya. Kondisi ini diperparah oleh pemimpin yang juga sangat tunduk kepada kepentingan negara kapitalis. Era Presiden SBY kran liberalisasi sudah dibuka lebar-lebar. Kedekatan hubungan Amerika sebagai negara kapitalis dengan Indonesia memuluskan intrik neoliberalisme dan neoimperialisme. Bagaimana dengan era Jokowi? Nampaknya, indikasi ancaman itu lebih parah lagi .

Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor publik, seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu,  negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Sehingga keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.

Ancaman neoliberalisme akan semakin besar dengan diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai tahun 2015 ini. MEA, sebagaimana blok pasar bebas lain, merupakan strategi kekuatan kapitalis global untuk meluaskan hegemoninya, khususnya di kawasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam pasar bebas, dihapus semua hambatan masuk (barrier to entry) baik tarif maupun non tarif seperti regulasi, penetapan kuota, subsidi, dan lainnya yang selama ini memang dibuat untuk melindungi produk dalam negeri. Jadi, MEA tak lain adalah pasar bebas yang akan membuka pasar negara-negara di kawasan ASEAN yang berpenduduk sekitar 600 juta bagi produk dan penanaman modal negara-negara kapitalis besar.

Keputusan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM misalnya,adalah  bukti kebijakan yang sangat sarat kepentingan asing. Meskipun kemudian diturunkan, namun tidak bisa menutupi maksud sesungguhnya dari kebijakan itu, yakni pemberlakuan liberalisasi migas secara total. Rezim Jokowi-JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang dimaui oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tapi dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun.

Sementara di lapangan legislatif, intervensi asing juga sangat nyata. Menurut penuturan seorang anggota DPR, ada lebih dari 76 UU yang draft-nya dilakukan pihak asing, seperti UU Migas, UU PM, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia. Dari fakta-fakta inilah kita menyebut bahwa negeri ini juga tengah dalam ancaman neoimperialisme.

Neoimperialisme adalah penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misionasi Kristiani). Meski mungkin kepentingan yang ketiga (gospel) kini tidak begitu menonjol, tapi kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan.

Neoliberalisme dan neoimperialisme tentu saja berdampak sangat buruk buat kita semua. Diantaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2014 mencapai 27, 73 juta orang atau 10,96 persen. Angka ini disinyalir akan bertambah 30 Juta orang ditahun 2015 ini terutama dampak kenaikan harga BBM. Bayangkan juga setiap bayi yang lahir harus menanggung beban hutang negara sebesar 15,2 Juta. Posisi hutang luar negeri per Mei 2015 pada angka 3.929 Trilyun.  Catatan Human Development Index (HDI) tahun 2014 dari 187 negara Indonesia menempati ranking 108, suatu angka yang sangat memalukan untuk negara sebesar Indonesia. Belum lagi mirisnya dunia pendidikan dengan maraknya kerusakan moral. Satu-persatu pejabat dan publik figur terseret dipusaran korupsi yang makin menjadi-jadi. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi SDA di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya sehingga membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh korporasi domestik maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan politik, seperti kenaikan harga BBM, elpiji, tarif listrik, dan lain-lain. Rasa aman semakin tercabut dari urat nadi masyarakat dengan kriminalitas yang kian merajalela.

Sementara itu, demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Rakyat hanya diperhatikan di saat kampanye atau sebelum pemilihan. Setelah terpilih, anggota legislatif, kepala daerah, dan bahkan presiden, lebih memperhatikan para penyokongnya. Lahirnya UU-UU liberal, dan lembeknya pemerintah di hadapan perusahaan asing seperti Freeport, adalah bukti nyata diabaikannya aspirasi rakyat serta ketundukan pemerintah pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat; yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal. Ibaratnya,  kalau ada pulau yang besar dan banyak sedang dijual itulah Indonesia. Seperti ungkapan bait syair arab yang ma’tsur:

“كالعيس بالبيداء يقتلها الظماء ، والماء فوق ظهورها محمول”
“Seperti onta yang masti kehausan padahal airnya ada diatas punuknya”

Ancaman Neoliberalisme dan Neoimperialisme yang gamblang didepan mata memudarkan jargon kemerdekaan yang selama 70 tahun ini diperingati. Bangsa ini perlu jujur pada bangsanya. Aparat TNI/Polri jangan hanya mengejar formalisai keliling sosialisasi menanamkan nasionalisme kepada masyarakat sementara para pemimpin negeri ini sibuk menyerahkan kehormatan dan harga dirinya kenegara penjajah. Kepekaan dan kesadaran politik perlu diasah  dan keberanian perlu ditunjukkan. Pemerintah harus terlebih dahulu berbenah sebelum sibuk membenahi rakyatnya. Memaksa rakyatnya untuk memeriahkan kemerdekaan untuk mengelabuhi kejahatan yang mereka lakukan terhadap negaranya.

Pangkal penjajahan Indonesia akibat semakin eratnya sekulerisme masuk kesemua lini kehidupan. Akibatnya negeri muslim terbesar ini meminggirkan syariah islam. Bukankah dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia dapat diraih atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa? Lantas mengapa sekarang setelah “merdeka” syariah islam dicampakkan?

Memerdekakan Umat Islam

Pertanyaan besar telah terjawab. Suka tidak suka, Indonesia belum dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka. Persyaratan sebagai negara merdeka belum terpenuhi. Begitu pula, sebagai umat islam yang diikat oleh aqidah islam sudah lama terjajah. Pasalnya pasca runtuhnya khilafah islamiyyah pada tanggal 3 Maret 1924 payung permersatu umat islam telah diruntuhkan melalui agen Inggris Mustafa Kamal Atarturk. Sejak itulah seluruh negeri islam terjajah dibawah dominasi negara kapitalisme. Umat terbesar tak berdaya dibawah ketiak negara penjajah yang rakus. Darah dan kehormatan negeri islam tercecer bagai barang taka berguna. Kekayaan alamnya dirampas tak belas kasihan. Emas hitam (minyak) di sedot kenegeri penjajah.  Bayangkan, khilafah islamiyyah merupakan benteng pertahanan terakhir umat islam. Bagaikan sebuah bendungan besar yang jebol, maka air bah besar melululantahkan seluruh bangunan porak poranda. Gambaran ini persis dengan apa yang diprediksikan oleh Rasulullah Saw 14 abad silam:

« يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ « بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ »

Hampir tiba dimana umat-umat saling memanggil untuk melawan kalian sebagaimana orang-orang saling memanggil untuk menyantap hidangannya. Salah seorang bertanya: apakah karena sedikitnya kami ketika itu? Rasul menjwab: bahkan kalian pada hari itu banyak akan tetapi kalian laksana buih dilautan dan sungguh Allah mencabut ketakutan dan kegentaran terhadap kalian dari dada musuh kalian dan Allah tanamkan di hati kalian al-wahn. Salah seorang bertanya: apakah al-wahn itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: cinta dunia dan membenci kematian (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Umat islam hanya mampu teriak tidak bisa membela dengan pembelaan yang memadai. Tubuhnya telah terapasung dalam penjara negara nasionalisme. Beginilah ketika umat islam terpisah dari khilafah islamiyyah. Oleh sebab itu kemerdekaan hakiki hanya dapat diraih sebagai berikut;

Pertama, makna kemerdekaan hakiki tersirat dari kisah dialog Ruba’i bin Amir utusan Sa’ad bin Abi Waqqash dalam perang Al-Qadhisiyah kepada Panglima Rustum di Persia. Saat berhadapan dengan pasukan Persia Ruba’i menyampaikan kepada Panglima Rustum,”Allah  Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada kami untuk membebaskan manusia dari penghambaan diri dari selain Allah dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas dan dari agama  yang sesat menuju keadilan Islam”. Inilah visi utama kemerdekaan islam, yaitu mentauhidkan. Islam datang untuk menghilangkan penghambaan manusia kepada manusia atau segala sesuatu yang sifatnya materiil. Era sekarang dengan dominasi demokrasi sekuler telah memalingkan manusia untuk menyembah kepada tuhannya manusia (Allah swt). Selama demokrasi masih bercokol berarti telah mendudukkan manusia sebagai tuhan-tuhan yang disembah dalam bentuk membuat hukum.

Kedua, Kemerdekaan hakiki hanya dapat direngkuh ketika umat yang besar ini bebas dan berdaulat mengatur kehidupannya sendiri dibawah payung negara khilafah. Umat islam yang berserakan dalam rantai nasionalisme harus disatukan kembali kedalam pangkuan khilafah serta diberlakukan syariah islam secara menyeluruh dibawah kepeminpian seorang kholifah. Imam atau khalifah akan mempertahankan setiap jengkal negeri islam dari penjajahan. Sebagaimana hadist beliau;

‏إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ ‏ ‏يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
Sesungguhnya Imam/Khalifah itu adalah benteng, tempat umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. Jika ia memerintahkan ketakwaam kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya pahala. Jika ia memerintahkan selainnya, ia celaka. (HR Muslim)

Dengan demikian umat islam terbebas dari bentuk penjajahan militer dan penjajahan sistemik neoliberalisme dan neoimperealisme. Kemerdekaan umat islam akan membawa kemerdekaan –kemerdekaan besar lainnya dimuka bumi. Satu-satu persatu negeri yang masih dijajah oleh negara penjajah akan di bebaskan dan disejahterakan. Akhirnya kebebasan sebenarnya dimuka bumi ini hanya akan terwujud bila islam berkuasa kembali sebagai negara adidaya. Sublimasi islam keseluruh penjuru dunia membawa dunia pada kemerdekaan yang sesungguhnya. [Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik di Al Amri Institute)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Kemerdekaan Semu Dibawah Bayang-Bayang Neoliberalisme dan Neoimperialisme"

close