Kiat Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan
Tak hanya bidang peternakan, dunia pertanian pun tak luput dari krisis. Beberapa waktu yang lalu harga buah tomat anjlok sehingga merugikan petani. Untuk melampiaskan kekesalannya, banyak petani yang membuang tomat-tomat di jalanan. Akibat gagal panen, petani cabe juga mengalami kerugian. Sementara itu, konsumen banyak mengeluh karena harga cabe melambung tinggi.
Krisis pangan yang menerpa Indonesia sudah berulang kali terjadi. Negara agraris yang mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam dan memiliki lahan pertanian luas justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan. Pakar pertanian menyebutkan bahwa masalah komoditi pangan utama masyarakat Indonesia adalah karena kelangkaan beras atau nasi.
Tentu saja krisis pangan ini berimbas dengan kondisi gizi rakyat Indonesia. Baru-baru ini diketahui ada ribuan balita di NTT yang mengalami gizi buruk. Puluhan balita bahkan meninggal. Mahalnya harga beras membuat kebanyakan masyarakat miskin hanya bisa makan nasi aking. Bisa kita bayangkan berapa juta jiwa orang yang mengalami keadaan seperti itu jika data BPS tahun 2010 jumlah kemiskinan bertambah. Padahal Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam, bahkan batang saja jika di tanam akan tumbuh. Lalu ada apa di Indonesia ?
Di dalam UU No.18 tahun 2012 tentang pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau. Dan disebutkan pula dalam UU tersebut, ketahanan pangan akan ada dengan mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan keamanan pangan.
Walaupun UU tersebut menjamin ketahanan pangan Indonesia, ternyata kondisi pangan Indonesia masih diliputi berbagai persoalan. Diantaranya adalah iklim/cuaca seperti kemarau panjang yang membuat para petani gagal panen. Di sejumlah daerah, lahan pertanian mulai digantikan oleh perumahan dan gedung. Disinyalir 52 % irigasi pertanian di Indonesia rusak parah. Distribusi pangan yang kurang lancar akibat sarana prasarana yang terbatas dan mahal ditambah lagi penimbunan barang yang dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyaknya pangan impor yang masuk ke Indonesia khususnya setelah Indonesia memberlakukan politik pintu terbuka yang ditandai dengan hadirnya MEA (Masyarakat Ekonomi Eropa). Ini adalah bentuk liberalisasi pangan yang memperparah krisis pangan Indonesia. Apalagi kebijakan liberalisasi pangan di dukung oleh sejumlah UU pro kapitalis seperti UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 tentang perkebunan. Indikasi ini sudah cukup membuktikan bahwa negara sudah tidak serius bahkan abai dalam memenuhi kewajibannya terhadap rakyat atas hak pangan.
Sementara dalam Islam, negara dalam hal ini negara Khilafah punya kewajiban dan tanggung jawab besar untuk menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Negara Khilafah memberlakukan politik pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi. Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain. Dengan demikian, kebijakan pangan Khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Oleh karenanya perhatian khilafah pun akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Negara Khilafah memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, sebagai hibah (hadiah) bukan sebagai hutang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Maal (kas negara) kepada para petani di Irak, untuk membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa imbalan apapun. Di samping itu, Negara harus melindungi air sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karenanya, air beserta sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi. Islam telah memberikan contoh, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan. Inilah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.
Itu hanyalah beberapa contoh politik pertanian yang pernah diterapkan oleh negara Khilafah. Masih banyak kebijakan pertanian Islam yang mumpuni sehingga di masa itu tak pernah kedengaran ada berita rakyatnya kelaparan atau kurang gizi. Tak heran, selama berabad-abad lamanya negara ini menjadi negara adidaya yang tangguh dan rakyatnya hidup sejahtera. Oleh karena itu kami yakin hanya sistem politik pertanian yang dijalankan Khilafah yang mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis pangan dan menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan terdepan. [Indah Kartika Sari, SP
(Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Provinsi Bengkulu) [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Kiat Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan"